Sekolah di Garut Darurat Pungli

Bapak, ibu silakan mampir ke Garut! Settt, tunggu dulu. Judul di atas bukan maksud saya menawarkan dodol-makanan khas asal Garut, juga bukan promosi voucher menginap dan makan di Kampung Sampiruen, atau paket jalan-jalan ke Kawah Kamojang plus Gunung Papandayan. Ajakan di atas bukan tanpa maksud. Tapi tak lain memohon kepada siapa saja yang peduli terutama Anda yang memiliki akses terhadap kebijakan untuk melihat kondisi di Garut. Ceritanya begini. Kemarin, saya baru pulang dari Garut setelah mendadak dapat kabar duka. Ibunda tercinta dipanggil untuk selamanya oleh Yang Maha Kuasa. Ya, duka mendalam karena harus kehilangan sosok orang yang paling berjasa dalam membesarkan saya hingga saat ini. Dalam suanana belasungkawa, tentunya saya dapat bertemu dengan keluarga besar dan kerabat lainnya. Singkat kata, prosesi pemakaman pun usai dilaksanakan. Beberapa hari saya tinggal di Garut. Namun jarum jam sepertinya lambat berputar sehingga waktu terasa lama yang saya rasakan saat itu. Ini berbeda dengan rutinitas di Jakarta yang selalu bergelut dengan tumpukan perkerjaan kantor. Nah, untuk menghilangkan sedikit kejenuhan, saya bersilaturahmi dengan anggota keluarga besar yang memang jarang bertemu, karena kesibukan masing-masing di luar kota. Kecuali saat mudik Lebaran atau momen momen tertentu, seperti ada pernikahan atau ada anggota keluarga yang wafat, kami baru bisa bercengkerama. Obrolan ngaler-ngidul pun pecah. Dari sekedar basa-basi, urusan rumah tangga, pekerjaan, politik hingga masalah sekolahan anak-anak. Banyak terungkap cerita yang membuat saya sedikit geleng-geleng kepala. Dari perbincangan tersebut justru memuncul kankegelisahan plus keprihatinan dalam diri saya. Semuanya berkecamuk, tidak karuan. Ihwalnya, mendengar cerita dari saudara yang anaknya baru masuk sekolah, diterima di SMA Negeri 3 Garut. Lho, ada apa ini? Benar, Anda sudah bisa menebak apa yang saya pikirkan. Bermula dari laporan penerimaan siswa baru (PSB) di SMA Negeri 3 Garut tahun 2010-2011, banyak dikeluhkan para orangtua. Intinya, biaya masuk yang sangat memberatkan wali murid. Saya tertarik membicarakan SMA Negeri 3 Garut ini, karena saya salah satu alumnusnya. Dulu masih bernama SMA Negeri I Cibatu. Sekolah ini memang salah satu yang favorit karena banyak lulusannya yang jebol di univeritas negeri terkemuka di Tanah Air. Dalam PSB tahun ini, orangtua diwajibkan membayar uang masuk yang jumlahnya kurang lebih Rp2 juta-an. Rinciannya, sebesar Rp1750.000 untuk DSP (dana sumbangan pendidikan) tahunan, Rp150.000 untuk SPP bulan Juli-Agustus dan Rp20.000 untuk pembuatan sertifikat komputer. Buat selembar sertifikat mahal juga yah. Belum lagi pungutan lainnya saat orientasi siswa baru. Lucunya, seluruh murid baru yang berjumlah kurang lebih 250 orang diwajibkan membeli kartu perdana telepon seharga Rp10.000. Untuk apa lagi nih, nggak jelas. Selain itu, tidak ada perincian lebih lanjut untuk dana DSP, alokasinya untuk apa saja. Pihak sekolah hanya memberikan tenggat waktu beberapa hari untuk melunasi uang masuk tersebut. Jika tidak bisa bayar sampai batas waktu yang ditentukan, siap-siap dicoret dari daftar. Dalih masih banyak peserta lainnya yang antre masuk. Waduh, nggak ada toleransinya, kasian orantua yang tompes pusing hadapi bisnis tahun ajaran baru di sekolah. Padahal sesuai aturan, besaran DSP harus dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan orangtua murid setelah diterima masuk. Jadi kalau begini orangtua murid baru langsung ditodong sekolah dengan harga mati. Awalnya, saudara saya sempat kebingungan dari mana uang untuk membayar biaya masuk sebesar itu. Sebab, dalam waktu bersamaan harus melunasi biaya kuliah anaknya yang lain. Anda bisa merasakan bagaimana pusingnya orangtua yang berpenghasilan pas-pasan, jika dalam waktu berberangan harus membayar sekaligus biaya anaknya masuk ke SD atau SMP, dan melunasi biaya kuliah. Sama halnya dengan kebingungan orangtua saudara saya saat ini yang hanya pensiunan guru. Lagian separuh gajinya dipotong untuk mencicil pimjaman untuk renovasi rumah yang mau ambruk itu sepuluh tahun lalu. Namun sedikit lega saat uang bonus atau gaji ke-13 cair yang setidaknya mengurangi beban tesebut. Tingginya uang masuk di sekolah-sekolah negeri di Garut sudah lama dikeluhkan masyarakat, khususnya para orantua. Namun sampai saat ini tidak ada renpons dari intansi terkait. Keluhan masyarakat hanya angin lalu. Saya sendiri tak habis pikir. Janji pemerintah untuk meringankan biaya pendidikan sepertinya tidak berlaku di Garut. Mana anggaran pendidikan 20% seperti yang dijanjikan itu? Sekolah-sekolah berplat merah ini di Garut malah berlomba-lomba mengeruk sumbangan sebanyak-banyak dari orangtua murid dengan dalih untuk biaya pengembangan pendidikan. Lalu ke mana ngocornya dana pemerintah setiap tahun, semisal bantuan operasional sekolah (BOS) dana block grant rintisan sekolah bertaraf nasional dan internasional, anggaran ruang kelas baru (RKB) atau bantuan fasilitas praktikum, beasiswa, dan buku ajar? Tak pelak yang terjadi saat ini adalah komersialisasi pendidikan. Biaya sekolah menjadi mahal, dan orangtua pun kian menjerit. Orantua murid dijadikan sapi perahan pengelola sekolah dan pengurus komite sekolah dengan mengeluarkan keputusan untuk melegalkan segala pungutan agar tidak dianggap liar atau pungli. Orantgtua yang anaknya masuk ke sekolah itu, tidak biasa berbuat banyak. Komplain sedikit, sang anak jadi sasaran kekesalah sekolah, kena cibiran. Tak heran ada anak yang menangis kerena disindir kepala sekolah akibat orangtuanya kritis. Sementara komite sekolah yang sejatinya menjadi kepanjangan kepentingan orangtua, alih-alih memperjuangkan aspirasi justru menjadi "tukang stempel" kebijakan sepihak kepala sekolah. Di Garut, mungkin daerah lainnya, kepala sekolah ibarat raja kecil yang titahnya tak bisa dibantah. Yang jadi persoalan, penilik atau pengawas sekolah dan Dinas Pendidikan ngapain aja? Pura-pura tak tahu lantaran rutin kebagian setoran dari para kepala sekolah seperti diduga banyak pihak. Saya bukan menuding atau menjelek-jelekan sekolah di mana tempat dulu saya menimba ilmu. Justru karena peduli, saya membuat tulisan ini. Saya tidak ingin sekolah yang saya cintai ini dikotori oleh tabiat pungli yang dilegalkan. Ini sama saja degan korupsi oleh para pengelolanya. Lembaga pendidikan yang mencetak generasi masa depan harusnya terbebas dari prilaku "tikus" tersebut. Apa jadinya jika anak-anak ini didik dalam kulutur yang korup? Sebab itu, dari Jakarta, saya hanya bisa menulis. Saya akui, saya tidak bisa berbuat banyak untuk Garut, tempat kelahiran saya. Dengan tulisan ini, saya berharap ada pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengambil tindakan yang mengevaluasi pungutan di sekolah negeri khususnya di Garut. Saya kadang bertanya-tanya, di mana wartawan, di mana LSM penggiat antikorupsi, di mana polisi dan kejaksaan? Ke mana aja anggota dewan terhormat yang ada di Garut? Ini loh ada pungli merajalela yang tak bisa dibiarkan. Sekali lagi, saya tidak iri atau beritikad buruk terhadap "penguasa sekolah" di Garut atau siapapun dengan tulisan ini. Juga bukan menuding adanya prilaku yang tidak halal dari oknum kepala sekolah, karena mendadak bergaya hidup mewah. Dari cerita-cerita warga dan anak-anak sekolah, saya mendengar ada kepala sekolah yang berganti mobil bahkan membeli mobil baru, membangun rumah besar padahal sebelumnya biasa-biasa saja. Ini sudah menjadi rahasia umum. Hanya beberapa tahun menjabat sebagai kepala sekolah, statusnya terdongkrak. Pun demikian dengan guru yang menjadi kepercayaan sang menejer sekolah, turut kecipratan rezeki. Tak pelak, di sekolah yang asal mulanya didirikan untuk membantu pendidikan rakyat ini berseliweran mobil mewah. Tak ada lagi kesederhanaan di lembaga pendidikan. Semuanya seakan ingin berlomba menunjukan status sosial keduniawiaan. Kok sampai bisa begitu yah? Sekadar berbagi informasi dan wawasan, mungkin pengalaman saya bisa menjawab keheranan sebagian besar masyarakat di Garut akan fakta ini. Ketika saya masih bertugas meliput di Depok, saya banyak mendapatkan temuan-temuan yang cukup mencengangkan. Banyak modus di balik apa yang dinamakan sumbangan atau iuran pendidikan. Kalau namanya sumbangan, tentunya kita bisa memberikan sesuai dengan apa yang kita mampu. Dalam arti kata, seikhlasnya atau semampunya. Tapi ternyata sumbangan di sekolah kamusnya lain. Hanya namanya saja. Toh, jumlahnya sudah dipatok dan menjadi harga mati yang tak bisa digugat. Contonya, DSP tadi. Sekolah berargumen nominal DSP sudah dimusyawrakan terlebih dahulu dengan orangtua murid melalui perwakilan komite sekolah. Yang jadi pertanyaan, orangtua atau komite sekolah yang mana? Selain itu, dengan "rekayasa" sedemikian rupa antara kepala sekolah dan jajarannya, menyodorkan apa yang dinamakan rancangan anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS). RAPBS ini dapat dikatakan setengah jadi, karena sumuanya telah ditentukan dan dihitung dengan perkiraan yang acuannya tidak jelas, semaunya kepala sekolah. Sementara komite sekolah hanya mengamini saja, lalu mengetok palu mensyahkan RAPBS menjadi APBS. Di dalam APBS ini, terdapat kolom pendapatan atau pemasukan sekolah. Salah satunya dari SPP dan DSP. Kemudian, ada kolom belanja yakni alokasi penggunaan anggaran. Sepintas memang tidak ada masalah dengan APBS. Sayangnya, tidak semua orangtua menerima APBS ini sehingga tak bisa mengkritisi. Padahal dalam ketentuan, semua orangtua harus dilibatkan dalam penyusunan dan menerima laporan pertanggungjawabannya sebagai bentuk transparansi anggaran. Namun jika diteliti dalam APBS ini banyak penggelembungan biaya, selain tak sedikit muncul pos anggaran dobel bahkan siluman yang tak jelas juntrungannya. Ini menjadi modus umum di sekolah-sekolah, tak cuma di Garut. Namun ada juga pendapat yang tidak dimasukan ke dalam APBS, umumnya berupa pungutan-pungutan berjalan di tahun ajaran. Sebagai contoh, ditemukan pungutan untuk pengadaan kursi. Masuknya siswa baru sebagai modusnya. Sekolah memungut ke orangtua untuk kursi ini per orang Rp100.000, dari kelas satu hingga kelas tiga. Alasannya, anggaran dari pemerintah belum turun. Coba Rp100.000 dikalikan jumlah murid 600 orang misalnya, jumlahknya cukup besar sebesar Rp60 juta. Ini baru satu pungutan, banyak yang lainnya seperti modus penjualan buku. Sementara sekolah pun mengajukkan anggaran pengadaan kursi ini ke Dinas Pendidikan. Alhasil, sekolah memperoleh dua pemasukan dalam rentang waktu berbeda. Tentu dana dari dinas wajib dibuat laporannya, karena menyangkut uang negara yang bersumber dari APBN/APBD. Sedangkan uang kolekan dari orangtua murid, apakah dilaporkan ke orangtua? Saya berani bertaruh, sekolah jarang memberitahukannya. Saya juga menemukan modus di mana sekolah membuat dua versi APBS, yang rinciannya jelas berbeda. APBS yang dilaporkan ke orangtua/diketahui komite sekolah berbeda dengan APBS yang disusun untuk keperluan pelaporan keuangan ke Dinas Pendidikan. Dari sinilah kuatnya indikasi rekayasa APBS, sehingga wajar menjadi pintu masuk untuk praktek korupsi. Dari beberapa pengakuan guru ketika dulu saya menginvetigasi kasus ini di Depok, hanya kepala sekolah, sekretaris, bendara, dan beberapa pengurus komite sekolah yang memiliki akses terhadap penggunaan APBS ini. Bagi guru dan orangtua apalagi pihak luar, APBS seperti dokumen rahasia negara. Kondisi demikian menjadikan kepala sekolah dengan leluasa menggunakan uang tersebut untuk kepentingan yang diduga kuat menyimpang. Apakah ini ada korelasinya dengan "kenaikkan" status kepala sekolah? Jujur saja, saya tidak berani menuduh karena akan menjadi fitnah. Tapi secara logika, layak diuji. Kecuali sebelum menjabat sebagai kepala sekolah ada kewajiban untuk melaporkan jumlah kekayaannya seperti berlaku bagi pejabat negara. Ironinya, uang-uang siluman ini hanya dinikmati segelintir orang, sementara guru kadang menjadi kambing hitam. Seorang guru di Depok yang saya kenal lurus, tidak neko-neko, ia sama sekali tidak tahu sama sekali urusan APBS. Tugasnya hanya mengajar dengan gaji rutin dari pemerintah. Kadang ia mendapat sedikit uang bonus dari sekolah karena kelebihan jam mengajar. Lainnya, kebagian jatah saat ada kegiatan sekolah, itu pun jumlahnya tak sebera. Soal DSP yang jumlahnya ratusan juta itu, ia awam. Dari sinilah muculnya kesenjangan sosial yang lebar antara kepala sekolah dan guru atau guru senior yang sama-sama berpangkat sederajat. Tapi lantaran kedudukannya yang "basah" kepala sekolah dan guru biasa ibarat raja dengan prajurit. Hal ini sejalan dengan riset ICW di sepuluh kabupaten/kota di Indonesia, menyebutkan selain tidak mengetahui tentang komite sekolah, sebanyak 78,4 persen orang tua murid tidak mengetahui mekanisme penentuan APBS. Ketidaktahuan itu, memicu pejabat sekolah mempunyai kekuasaan berlebih untuk memberlakukan pungutan yang tidak wajar, meski sekolah tersebut sudah mendapat BOS. Riset tersebut dilakukan terhadap sejumlah Sekolah Dasar Negeri di kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Kota Bau-bau, Kota Makasar, Kota Manado, Kota Banjarmasin, Kota Padang, Kota Jakarta, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Tangerang. Saya juga menemukan, pihak sekolah tidak transparan dalam pertanggungajawaban alokasi penggunaan dana sumbangan sekolah, padahal dalam APBS sudah apa perinciannya. APBS ini hanya alat bagi kepala sekolah untuk "menipu" orangtua murid yang awam. Maraknya pungli di sekolah di Garut ini sungguh mencemaskan. Belum lagi kasus koruspi di berbagai bidang seakan tidak pernah habis. Wajar, Polda Jabar sempat menyatakan Garut sebagai peringkat pertama di Jabar dalam kasus korupsi. Tentunya, kondisi seprti ini tidak bisa dibiarkan. Pungli atau dugaan korupsi di sekolah harus diusut tuntas, dan pelakunya ditindak tegas. Jangan sampai lembaga sekolah yang mencetak generasi masa depan malah menjadi lumbung korupsi. Kita berharap semua pihak tidak hanya yang di Garut, pemerintah provinsi dan pusat, kepolisian, kejaksaan, LSM penggiat antikorupsi dan wartawan turun ke Garut. Dan melalui blog sehat-Kompasiana ini menjadi ruang untuk berbagi informasi demi percerahan dan perbaikan.

Comments