Potret Buram HAM Indonesia Sepanjang 2010


Isu seputar hak asasi manusia (HAM) memang cukup sensitif dalam pembicaraan publik. Sebab, urusan HAM menyangkut banyak pihak, aspek, dan kepentingan yang melatarinya. Dalam beberapa kasus, justru negara manjadi aktornya dalam pelanggaran HAM terhadap rakyat sipil.

Dalam perjalanan sepanjang tahun 2010, potret HAM di Tanah Air masih memilukan. Masih diwarnai dengan pembunuhan, pelanggaran hukum, tindakan kekerasan, atau penghilangan secara paksa, hingga penindasan atas nama hukum bagi kaum lemah.

Wartawan Dibunuh
Di antara kasus pembunuhan yang paling menyita publik adalah tewasnya awak jurnalis saat meliput. Kematian wartawan SUN TV Ridwan Salamun saat meliput bentrokan warga di Tual, Maluku Tenggara, 21 Agustus lalu, misalnya.

Pada 17 September, Arsep Pajario (43), wartawan Sriwijaya Post (Sripo) ditemukan tewas dalam kondisi tubuh telah membusuk di rumahnya, Jalan Sukabangun II Lrg. S Parman, Kompleks Citra Dago Blok D Rt 29 Nomor 9, Kelurahan Sukajaya, Kecamatan Sukarami. Belakang diketahui, Arsep dibunuh dengan cara dicekik.

Nasib serupa menimpa Ardiansyah, wartawan yang sempat bertugas di tabloid Jubi dan Merauke TV ditemukan meninggal dalam kondisi terapung di Sungai Gudang Arang. Mantan kontributor ANTV itu sempat dinyatakan hilang sejak Rabu 28 Juli 2010. Baru baru ini, Pemimpin Redaksi Mingguan Pelangi Alfret Mirulewan (28) juga ditemukan tewas, Jumat 17 Desember 2010 sekira pukul 03.00 WIT. Tubuh korban ditemukan mengambang di sekitar Pelabuhan Pantai Nama, Kisar, Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku.

Ridwan, Arsep, Ardiansyah, dan Alfret adalah contoh korban masih rendahnya erlindungan terhadap wartawan dari tindakan kekerasan hingga pembunuhan.
Sekadar gambaran, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) terdapat 40 kasus sepanjang Agustus 2009 hingga Agustus 2010. Jumlah ini meningkat dibanding tahun lalu. Menurut AJI, kekerasan yang dialami jurnalis bermacam-macam mulai dari pengeroyokan, intimidasi, teror sampai pembunuhan.

Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Imam Wahyudi mengatakan, pembunuhan jurnalis TV di Tual, pelemparan bom molotov ke kantor Majalah Tempo, penganiayaan jurnalis Global TV dan Indosiar di Tangerang, dan teror wartawan di Papua mengindikasikan hal sama.

Yakni, teror dan intimidasi terhadap jurnalis dan media. "Teror dan intimidasi ini hampir dipastikan ditujukan untuk mengganggu dan menghambat kerja jurnalis dan media dalam menjalankan tugas jurnalistiknya," papar Imam.

Menurut dia, tugas jurnalis mempunyai misi mulia yakni mengumpulkan, mengolah dan menyebarkan informasi yang dibutuhkan publik. Berkat kerja jurnalis dan media yang profesional, publik bisa mengetahui hal yang tersembunyi atau disembunyikan, juga hal-hal yang tidak bersuara ataupun sengaja tidak disuarakan.

Kadiv Riset dan Pendidikan, Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Arief Ariyanto mencermati kasus pembunuhan membuktikan perlindungan terhadap jurnalis masih lemah. Hal ini preseden buruk bagi kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia. Pengungkapan penyebab tewasnya pekerja pers sangat penting agar tidak ada lagi kasus semacam ini menimpa jurnalis di Indonesia.

Sipil Ditindas
Selain kekerasan yang menimpa terhadap pekerja media, pelanggaran HAM pun menimpa warga sipil. Mirisnya, pelaku didominasi aparat penegak hukum. Hal ini terlihat dari laporan akhir tahun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), di mana Polri tercatat sebagai institusi yang paling banyak melakukan pelanggaran HAM di tahun ini.

Jika dibandingkan tahun lalu, 2010 mengalami peningkatan yang cukup siginifikan. Kors Bhayangkara ini tercatat puluhan kali melakukan pelanggaran HAM, setidaknya 30 kasus penyiksaan dalam penyidikan, 32 kasus penganiayaan, dan 16 kasus kekerasan saat polisi bertugas maupun di luar dinas.Operasi massif Detasemen Khusus Anti Teror 88 sejak Februari hingga akhir tahun ini berkontribusi melonjaknya kasus pelanggaran HAM.
Ini belum termasuk tindakan penghilangan secara paksa yang dilakukan oknum TNI. Di antaranya yang paling banyak mendapat sorotan adalah kasus penganiayaan oknum TNI di Papua.

Sayangnya, program legislasi nasional (Prolegnas) justru tidak mencantumkan RUU Perubahan Undang-Undang Peradilan Militer dan Rencana Ratifikasi Konvensi Pencegahan Penghilangan Orang Secara Paksa. Menurut Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar, ada pihak-pihak tertentu justru diuntungkan, yaitu militer. Sebab itu, peraturan soal HAM juga harus dinaturalisasi. "Jangan hanya pemain bola saja yang dinaturalisasi," ujarnya.

Catatan kisah pilu anak bangsa yang tertindas ketidakadilan hukum semakin panjang. Kali ini menimpa Rasminah binti Rawan (60). Nenek yang hanya pembantu rumah tangga itu diseret ke meja hijau lantaran dituduh mencuri enam piring, setengah kilo daging sapi, dan pakaian bekas milik majikannya. Siti Aisyah Margarose Soekarno Putri, sang majikan mengadukannya ke polisi.

Sebelum menjalani tiga kali persidangan di Pengadilan Negeri Tangerang tanpa didampingi penasihat hukum, Rasminah sempat mendekam dua bulan di balik jeruji Lapas Wanita Tangerang dan dua bulan tiga hari di tahanan Polsek Metro Ciputat.

Juga masih berbekas dalam ingatan kita, gara-gara himpitan ekonomi warga lemah berurusan dengan polisi. Empat terdakwa kasus pengambilan sisa buah kapuk di Perkebunan Sigayung, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, dihukum 24 hari penjara dipotong masa tahanan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Batang. Ketimpangan hukum pun dirasakan Nenek Minah. Warga Banyumas ini divonis 1,5 bulan kurungan dengan masa percobaan 3 bulan akibat mencuri tiga buah kakao seharga Rp2.100.

Adapun kisah Basar Suyanto dan Kholil, warga Kediri, Jawa Timur, Basar Suyanto dan Kholil, keduanya harus berurusan dengan polisi karena kedapatan mencuri sebuah semangka. Sempat pula merasakan pengapnya tahanan, sebelum akhirnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Kediri. Bahkan, keluarganya mengaku sempat ditipu oknum polisi agar membayar Rp1 juta supaya kasusnya dihentikan.Sementara kasus-kasus kakap yang melibatkan petinggi negara tak jelas juntrungannya. Buktinya, megaskandal BLBI atau bailout Bank Century senilai Rp6,7 triliun.

Hukum begitu keras terhadap warga lemah. Berbeda terhadap koruptor yang beberapa kali melakukan tindakan kejahatan selama menjabat posisi penting. Mereka dapat leluasa mengatur keinginannya dan bermain mata dengan aparat penegak hukum untuk memperingan sanksi.

Distorsi ini jelas menjadi sebuah ironi karena Indonesia menganut negara hukum. Negara yang menyatakan sebagai rezim taat pada hukum. Sayang, dalam prakteknya banyak terjadi ketimpangan pelaksanaan hukum yang menyolok mata tanpa ada koreksi.

Apa yang menimpa si pencuri piring, pencuri kapuk atau pencuri kakao menjadi bukti jika hukum telah disalahgunakan menjadi sekadar alat. Bukan lagi menjadi fondasi mendirikan norma dan sistem hukum dalam tatanan negara. Hukum telah dibajak dan senjata dalam barter kepentingan ekonomi, politik, dan kekuasaan. Jadi sampai kapan hukum ini hanya “galak” terhadap rakyat kecil.

Konflik Agama
Catatan pelanggaran HAM 2010 juga menyisakan kasus lama yang hingga kini masih berlangsung. Yakni, kekerasan terhadap anggota Jamaah Ahmadiyah yang masih terus berlangsung di sejumlah daerah. Misalnya terjadi di Manislor Kuningan, Cisalad Bogor, Lombok NTB dan penyerangan Masjid Ahmadiyah di Kebayoran Lama Jakarta Selatan.

Kasus penyerangan jemaat HKBP Ciketing, Bekasi, juga menambah panjang lembaran kasus HAM bernuansa konflik agama. Warga sekitar menolak pendirian tempat ibadah di lingkungannya sehingga berujung penusukan terhadap salah satu jemaat HKBP. ekerasan dalam konstek agama erat kaitanya dengan fungsi penegakan hukum. Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan, polisi sebagai garda terdepan dalam penegakkan hukum semestinya bertindak tegas dalam masalah kekerasan.

Untuk kasus di daerah lebih dikarenakan ketidakmauan dari aparat hukum setempat atau pemda dalam menuntaskan kasus kekerasan atas nama agama. Selanjutnya, aparat penegak hukum jangan bergantung pada pengaruh politik. Namun harus bekerja sesuai dengan tindakan hukum.
Sementara peneliti Setara Institute Ismail Hasani mengingatkan pentingnya deradikalisasi dengan membentuk kanal politik dan kanal ekonomi. "Kanal politik untuk para tokoh organisasi tersebut dan kanal ekonomi untuk anggotanya yang kebanyakan adalah pengangguran dan mantan preman," ungkapnya.

Sebenarnya, konflik agama yang berujung pada pelanggaran hukum nyatanya berakar dari ketidakadilan dalam masyarakat. Hal ini sempat diungkapkan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Menurutnya, akar permasalahan konflik agama berada pada ketidakadilan, baik secara sosial, ekonomi dan politik, contohnya konflik agama di Poso beberapa tahun silam yang disebutnya akibat ketidakadilan politik. Demokrasi liberal di Indonesia, juga bisa berujung pada sentimen agama, karena terjadi perubahan secara mendadak pada sistem politik. "Jika melihat kondisi masyarakat saat ini, ketidakadilan secara ekonomi menjadi faktor terbesar terjadinya konflik agama," tuturnya.

Pada akhirnya, masih tingginya kasus pelanggaran HAM tidak lepas dari kebijakan hukum dan HAM dari yang semakin jauh dari penghormatan HAM itu sendiri. Hal ini tercermin dari sikap dan kebijakan pemerintah yang mengancam kebebasan fundamental, seperti beragama dan berkeyakinan, kebebasan berekspresi, dan kebebasan pers. Di samping, pemberian sanksi yang lemah terhadap pelanggar HAM menjadikan kasus yang sama kembali terulang.

Sepanjang tahun ini, Komnas HAM menerima lebih dari 2.500 aduan. Dari jumlah itu terbanyak menyangkut pemenuhan hak atas rasa aman. Tindak lanjut dari pelanggaran tersebut, Komnas HAM telah menerbitkan sedikitnya 1.000 rekomendasi. Namun nyatanya, apa yang dilakukan pemerintah masih jauh api dari panggang. Hanya kemauan politik dari para pemangku negara ini, rakyat kecil akan mendaparkan hak-hak dasarnya sebagai manusia yang utuh.

Comments

  1. Hai saya mahasiswa dari Universitas Islam Indonesia artikel yang sangat menarik ..
    terimakasih ya infonya :)

    ReplyDelete

Post a Comment