KECERIAN terpancar dari seribuan anak saat bernyanyi bersama pada perayaan Hari Anak Nasional, sekaligus deklarasi penghapusan kekerasan pada anak. Itulah kesan yang saya tangkap pada awal Agustus 2008 lalu, saat menghadiri kegiatan tersebut yang digagas Komisi Nasional Perlindungan Anak di Yayasan Bina Insan Mandiri, areal Terminal Depok.
Ya, siapa yang tak kenal dengan Sekolah Masjid Terminal (Master) Depok. Sekolah sekaligus tempat berlindung anak-anak "kucing garong" yang kebayakan ayahnya "Bang Thoyib". Kok demikian? Ihwaknya, di komunitas Master ini umumnya anak-anak yang terpinggirkan. Mereka adalah anak jalanan, pengamen, tukang rokok, tukang semir sepatu dan loper koran.
Keberadaan sekolah terminal sudah dikenal luas berkat kegigihan seorang yang bernama Nurrohim. Usai acara itu, saya pun menyempatkan berbincang-bincang dengan beliau karena tertarik dengan aktivitas yang terbilang jarang dilakukan kebayakan orang saat ini.
Ternyata, orang yang berada di balik ide-ide mulia yang terlihat bersahaja itu menyimpan pemikiran luar biasa atas nasib anak bangsa. Juga peka akan kepeduliannya terhadap lingkungan sekitar, khususnya anak-anak jalanan. Obrolan pun terus berlanjut hingga saya memahami apa yang menjadi visi dan misi di balik tekad agungnya. "Awalnya hanya fokus ke pendidikan gratis bagi anak-anak terminal, tapi kemudian berkembang ke bidang kesehatan, wirausaha, dan lainnya,” kata pria kelahiran 3 Juni 1971 membuka pembicaraan.
Sekitar tahun 1990-an, tergugah niatnya oleh pemandangan sehari hari di rumah makan dan warungnya yang selalu dijadikan tempat mangkal para pengamen. Mereka sering menitip gitar dan peralatan ngamen lainnya di warung miliknya. Nurohim yang saat itu pengurus Ikatan Pemuda dan Remaja Masjid Al Mutaqien, tertarik untuk mengadakan pesantren kilat bagi anak-anak jalanan.
Pada waktu itu ada sebanyak 700 orang, terdiri dari anak-anak maupun dewasa yang mengikuti pesantren kilat. Berawal dari pesantren kilat itulah, Nurrohim mendirikan lembaga pendidikan gratis buat anak-anak jalanan, serta anak-anak dari keluarga miskin di wilayah Depok dan sekitarnya. Hingga saat ini, pendidikan masih menjadi perhatian utama. Anak-anak usia TK, sekolah dasar, menengah sampai atas, setiap hari memenuhi salah satu bagian samping kiri masjid, yang diubah sebagai ruangan kelas. Bahkan sekarang ruang kelas bertambah sejalan dengan meningkatnya jumlah peserta didik.
Tidak seperti sekolah formal pada umumnya, anak-anak yang belajar ini tidak berseragam dan duduk di lantai. Proses belajar-mengajar fleksibel. Ada sejumlah meja kecil untuk meletakkan buku, dan papan tulis. Meski demikian, semua serius mengikuti proses belajar mengajar.
Pada tahun 2000, kegiatan pengajaran buat anak miskin itu dilembagakan dengan nama Lembaga Pendidikan Bina Insan Mandiri (Yabim). Kerja kerasnya kini mulai membuahkan hasil. Yabim kini mengelola sekolah formal dan nonformal mulai TK Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebanyak 200 anak, SD sebanyak 400 anak, SMP sebanyak 600 anak, dan SMA sebanyak 800 anak. Jumlahnya terus bertambah apalagi Yabim berlokasi di tengah terminal yang jauh dari ekslusif, tidak formal dan jauh dari birokrasi sehingga membuat anak-anak nyaman.
Selain anak-anak, di sekolah gratis ini untuk kelas malam giliran mereka yang telah dewasa. Dari mulai pembantu rumah tangga, tukang sapu, pelayan toko, pengasong, dan sebagainya. Selain calistung, materi pengajaran ditambah life skill, seperti komputer, otomotif atau sablon. Sementara untuk klinik, dalam sebulan mampu membantu pengobatan gratis kepada 600-700 orang miskin. Semua biaya operasional pendidikan dan klinik ditutupi bantuan sejumlah donatur.
Dari waktu ke waktu peminat Yabim meningkat tajam. Kemampuan ekonomi masyarakat yang masih terpuruk, biaya masuk sekolah formal yang terbilang mahal di Depok menjadi pemicunya. Tak ayal, sekolah gratis jadi pilihan. Namun, Nurrohim mengakui Sekolah Master kerap kali menghadapi kesulitan dalam menjalankan pendidikan gratis itu. "Kami memiliki dana yang terbatas sekali, sehingga kerap kali kami kesulitan untuk membiayai kebutuhan operasional. Selama ini, Sekolah Master hanya mengandalkan donasi dari berbagai pihak. Dan bantuan dari para dermawan selama ini sangat terbatas dan jauh dari mencukupi," ungkap Nurrohim.
Lebih lanjut dijelaskan, membina anak-anak ini yang berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda-beda bukanlah hal yang mudah. Terlebih bagi yang telah terbiasa hidup bebas di jalanan mencari nafkah. Tak sedikit anak yang ditampungnya ingin bersekolah tapi tidak biaya biaya, sampai anak dari keluarga broken home yang meninggalkan rumah dan turun ke jalanan.
“Mereka butuh perhatian. Tapi kadang memang sulit untuk mengajaknya belajar kalau sudah ngerti uang, ingin bebas dan merasa senang hidup di jalanan, jadi perlu pendekatan dulu agar mereka mau sekolah,” papar Nurrohim. Menurutnya, kunci untuk mengarahkan anak-anak agar mau belajar adalah ikhlas dan kesabaran. Juga harus telaten dalam membimbingnya dengan penuh kasih sayang. “Anak-anak di sini sama seperti anak lainnya, tapi karena lingkunganglah mereka jadi seperti itu,” imbhunya.
Oleh sebab itu, Yabim memberikan pendidikan tidak sebatas akademik saja, tapi keterampilan hidiup dan pendidikan moral. Hal ini sangat berguna bagi masa depan anak-anak sehingga mampu hidup mandiri dan tidak tinggal di jalanan. Persoalan pendidikan bagi anak jalanan memang bukan perkara mudah, apalagi masalah ekonomi memang sangat erat melilit sebagian besar masyarakat di Indonesia. Karenanya, keseriusan pemerintah memperbaiki kondisi ekonomi bangsa serta ketegasan pemerintah menangani eksploitasi anak untuk kegiatan ekonomi sangat dinantikan agar anak-anak negeri ini tidak terus menerus menjadi korban.
kalau mau jadi sukarelawan, bisa menghubungi siapa ya ?
ReplyDeletepunya no. contact nya pak nurrohim ?
boleh di sms no contact pak nurrohim ke +6221 98020983
terima kasih.