Antara Harapan, Konflik & Korupsi

Ricuh dan rusuh. Itulah salah satu gambaran yang terlintas dalam ingatan kita ketika berbicara soal pemilihan kepala daerah (pilkada) di berbagai wilayah di Tanah Air. Bentrokan massa pendukung yang berujung perusakan fasilitas publik, bahkan sampai menelan korban jiwa adalah harga yang harus dibeli dari pilkada di samping besarnya angaran yang dihabiskan.

Kerusuhan biasanya dipicu tindakan kandidat yang tidak legowo menerima kekalahan lantaran menuding rivalnya berlaku curang seperti money politics, penggelembungan atau penggembosan jumlah pemilih atau black campaign. Gambaran pesta demokrasi daerah yang rusuh dan berujung di meja hijau setidaknya terwakili dari catatan perjalanan Pilkada Walikota Depok atau Pilgub Jawa Timur.

Harga sebuah demokrasi memang mahal. Namun yang mejadi pertanyaan apakah mahalnya biaya demokrasi dari, oleh, dan untuk rakyat ini sepadan dengan hasilnya? Apakah dengan pemilihan langsung akan melahirkan figur pemimpin yang benar-benar pilihan nurani rakyat? Yakni, seorang pemimpin yang peka terhadap penderitaan rakyat. Pemimpin yang mampu meniupkan angin perubahan dan menggerakan roda kehidupan ke arah yang lebih baik.

Sayangnya, ternyata tidak ada garansi 100 persen, bupati/walikota dan gubernur atau anggota dewan yang dipilih langsung bebas dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Justru realita yang kita hadapi saat ini adalah imbas dari cost politics yang tinggi dari pilkada mendorong kepala daerah terjebak pada praktik korupsi APBD.

Walhasil, ongkos politik yang mahal ujung-ujungnya menuntut balik modal. Itulah yang membuat kaum politisi yang terpilih menjadi pejabat publik, akhirnya bekerja untuk pribadi atau kelompoknya, bukannya atas nama rakyat seperti rayuan pada saat kampanye agar mendapat banyak dukungan.

Kenapa ongkos pilkada menjadi begitu mahal? Mengutip temuan Deputi Bidang Informasi dan Data Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) Syamsa Ardi Sasmita, biaya yang harus dikeluarkan seorang calon kepala daerah untuk kampanye bisa mencapai Rp2,8 miliar. Bahkan, di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, untuk kampanye, sang calon harus mengeluarkan dana Rp16 miliar. Besaran tersebut belum termasuk biaya proses pencalonan “ticket buying” kepada partai politik pengusung.

Kendati demikian, pemerintah pada tahun 2010 ini tetap melaksanakan pilkada di sejumlah wilayah. Tercatat ada 246 pilkada, terdiri tujuh pemilihan gubernur, 204 bupati dan sisanya walikota. Anggaran pilkada 2010 bervariasi, antara Rp6 miliar (tingkat kabupaten/kota) hingga Rp300 miliar di tingkat provinsi.

Sebagai gambaran, Pemerintah Kota Depok menyiapkan anggaran untuk Pilkada 2010 hingga Rp33 miliar. Anggaran pilkada tersebut sudah disiapkan untuk dua putaran pemilihan yang sudah disepakati antara Pemerintah Kota dan KPU Kota Depok. Sebab itu, banyaknya pemilihan kepala daerah tersebut harus dikawal karena dikhawatirkan akan terjadi korupsi.

Prediksi pilkada akan marak dengan peyimpangan anggaran karena dari pengalaman selama ini belum pernah ada pemilihan yang benar-benar bersih dari politik uang. Selain itu, setiap pilkada selalu ada ‘campur tangan’ kapitalisasi uang dari pemodal maupun dari APBD.

Hasil kajian Partnership, sebanyak 60-70 persen dana APBD masuk ke Sekretariat Daerah yang digunakan untuk pelaksanaan proyek-proyek dan biaya pemerintahan, hanya 30 persen yang benar-benar untuk kepentingan masyarakat. Berdasarkan hasil audit BPK tahun 2008, dari 490 lebih daerah di Indonesia hanya 8 daerah yang laporan keuangannya wajar tanpa pengecualian. Lainnya, mendapatkan catatan atau masih disclaimer.

Sementara itu peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Abdullah Dahlan mengatakan, pelaporan dana kampanye pilkada akan rawan dana siluman yang bersumber dari kejahatan. Pelaporan dana kampanye pilkada itu hanya syarat formalitas. Kalau regulasinya seperti sekarang ini, maka akan sulit mengungkap pelanggaran dana kampanye atau dana yang bersumber dari kejahatan.

Selain potensi korupsi, diprediksi konflik dalam Pilkada 2010 kian meningkat. Kekhawitan ini bermula masih adanya keraguan terhadap Kementerian Dalam Negeri, KPU mampu menjadi wasit yang adil bagi pemilihan yang demokratis.

Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow mengatakan ada beberapa persoalan yang dihadapi dalam pilkada 2010. Yakni, masalah daftar pemilih, kesediaan anggaran, panitia pengawas pilkada yang tidak legitimate, teknis pemberian tanda dan terkait kartu pemilih, regulasi yang tidak sinkron, penyelenggara yang tidak profesional, dukungan pemerintah daerah yang tak sepenuhnya, dan masalah dana kampanye.

Suasana pilkada 2005 berbeda dengan 2010. Pada 2005 daftar pemilih itu tidak banyak dipersoalkan, tapi untuk 2010 nanti daftar pemilih diperkirakan akan banyak dipersoalkan. Proses pendataan pemilih yang dimulai dari daftar penduduk pemilih potensial (DP4), berlanjut dengan daftar pemilih sementara (DPS), hingga pemutakhiran ke dalam daftar pemilih tetap (DPT), juga akan menjadi target empuk bagi pihak-pihak yang tidak ingin pilkada berjalan mulus.

Mahkamah Konstitusi juga memprediksi sengketa perselisihan hasil Pilkada 2010 mencapai 30-50% atau 73 hingga 122 perkara dari 246 daerah yang akan melaksanakan pilkada. Karena itu, MK harus melakukan penyempurnaan case management system secara khusus untuk mengantisipasi beban perkara tersebut.

Comments