”Seandainya anak Adam memiliki satu lembah emas, niscaya ingin memiliki lembah emas kedua. Seandainya memiliki lembah emas kedua, ia ingin lembah emas yang ketiga. Baru puas nafsu anak Adam kalau sudah masuk tanah. Dan Allah akan menerima taubat orang yang mau kembali kepada-Nya.” (HR Bukhori Muslim).
Pernyataan dalam hadis di atas pada dasarnya menegaskan bahwa keserakahan tiada batasnya. Dan hal ini sudah menjadi fitrah manusia yang selalu tidak puas dengan harta-benda. Selalu mencari dan menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya, padahal ketika badan sudah terbujur kaku, tak ada emas permata yang dibawa ke liang lahat. Hanya kain kafan dan kapas semata.
Sebab itu, Islam sudah memberikan rambu-rambu bagi kaum Muslimin bagaimana menjalani kehidupan dunia yang penuh perdaya ini. Kuncinya adalah dengan hidup sederhana, banyak bersyukur atas nikmat, dan rela berbagi dengan sesama.
Hidup sederhana adalah niat hidup untuk sukses. Dengan kesuksesannya itulah manusia dituntut bisa hidup sederhana atau tidak. Sederhana disini bukan berarti pelit, tapi kerelaan untuk berbagi kesuksesan. Sungguh-sunguhlah berusaha untuk sukses demi menciptakan hidup sederhana. Islam mengajarkan agar hidup sukses.
Bagaimana bisa mengeluarkan zakat dan shadakoh, menunaikan ibadah haji, atau sederhananya mengenakan pakaian yang layak untuk salat jika tidak sukses dalam hidup, meski ukuran sukses bukan semata-mata dari banyaknya materi?
Dalam Al-Quran banyak menyinggung anjuran untuk hidup dalam kesederhanaan dan mau berempati terhadap orang lain. Bahkan Allah SWT memperlihatkan kekuasaannya dengan menampilkan sosok Nabi Muhammad SAW sebagai teladan utama bagi umat manusia. Kehidupan nabi angung ini sangat bersaja. Semua yang ada dalam diri Rasulullah adalah cerminan dari Islam. Nabi menjadi teladan untuk melihat kesederhanaan itu seperti apa.
Untuk membiasakan hidup dalam kesederhanaan membutuhkan waktu dan proses panjang. Namun intinya harus hidup sederhana atau konaah ini dibuktikan dengan konsisten dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu media untuk melatih hidup sederhana adalah saat menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Tapi kebanyakan saat puasa malah orang jadi boros, memborong barang-barang. Ini yang tidak benar. Puasa justru melatih untuk tidak berlebihan, mau membagi rezeki dengan orang lain. Seorang Muslim harus senantiasa mengutamakan aspek kehalalan dari apa yang diusahakan dan dimakannya.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah menanamkan nilai-nilai hidup sederhana ini kepada anak sejak dini mungkin. Para orangtua harus mengajarkan anak-anaknya untuk tidak boros, selalu menghargai sesuai dengan adil dan mau berbagi dengan yang lainnya. Juga dibenamkan pemahaman untuk saling tolong menolong dan berempati pada penderitaan orang lain, sehingga mereka tidak cuek.
Dalam konteks kepemimpinan, sikap kesederhanaan juga semestinya ditunjukan oleh para elit atau petinggi negara, pemerintahan, pejabat swasta atau organisasi. Kita ambil contoh dari sosok Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Adil, jujur, sederhana dan bijaksana itulah ciri khas kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Tak salah bila sejarah Islam menempatkannya sebagai ‘khalifah kelima’ yang bergelar Amirul Mukminin, setelah Khulafa Ar-Rasyidin.
Khalifah pilihan itu begitu mencintai dan memperhatikan nasib rakyat yang dipimpinnya. Ia beserta seluruh keluarganya rela hidup sederhana dan menyerahkan harta kekayaannya ke baitulmal (kas negara), begitu diangkat menjadi khalifah. Khalifah Umar II pun dengan gagah berani serta tanpa pandang bulu memberantas segala bentuk praktik korupsi.
Tanpa ragu, Umar membersihkan harta kekayaan para pejabat dan keluarga Bani Umayyah yang diperoleh secara tak wajar dan menyerahkannya ke kas negara. Semua pejabat korup dipecat. Langkah itu dilakukan khalifah demi menyejahterakan dan memakmurkan rakyatnya. Baginya, jabatan bukanlah alat untuk meraup kekayaan, melainkan amanah dan beban yang harus ditunaikan secara benar.
Tak seperti penguasa kebanyakan yang begitu ambisi mengincar kursi kekuasaan, Umar justru menangis ketika tahta dianugerahkan kepadanya. Meski Umar bukan berasal dari trah Bani Umayyah, keadilan dan kearifannya selama menjabat gubernur telah membuat Khalifah Sulaiman terkesan. Maka di akhir hayatnya, Sulaiman dalam surat wasiatnya memilih Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya.
Apa yang ditampilkan oleh sosok Umar bin Abdul Aziz tak lain adalah ketakwaan dan keimanan yang tinggi terhadap ajaran yang dibawa oleh manusia mulia, Nabi Muhammad SAW. Materi dan jabatan bukan segalanya bagi Umar bin Abdul Aziz, melainkan amanah berat, sekaligus ujian dari Allah SWT. Bagaimana dengan para pemimpin negeri ini?
Mudah mudahan Allah SWT masih mendengar doa-doa dari insan sholeh yang bermohon diturunkannya pemipimpin yang amanah, istikomah, konaah, dan cinta pada rakyatnya.
Sebagai penuntut dari tulisan ini, satu kisah dalam HR Muslim sebagai bahan renungan bersama untuk menyambut Ramadhan tahun ini. Suatu ketika Khalifah Umar bin Khatab ra berkisah:
“Aku masuk menemui Rasulullah SAW. yang sedang berbaring di tas sebuah tikar. aku duduk di dekat Beliau, laul beliau menurunkan kain sarungnya dan tidak ada yang menutupi beliau selain kain itu. terlihatlah tikar telah meninggalkan bekas di tubuh beliau. kemudian aku melayangkan pandang ke sekitar kamar beliau. tiba-tiba aku melihat segenggam gandum kira -kira seberat satu shaĆ¢ dan daun penyamak kulit di salah satu sudut kamar serta sehelai kulit binatang yang samakannya tidak sempurna. seketika dua mataku meneteskan air mata tanpa dapat ku tahan melihat kesederhanaan beliau. Rasululah bertanya: Apakah yang membuatmu menagis wahai putra Khathab? Aku menjawab: Wahai Rasullulah, bagaimana aku tidak menangis tikar itu telah membekas di pinggangmu dan tempat ini aku tidak melihat yang lain dari apa yang telah aku lihat. Sementara raja Romawi dan Persia bergelimang buah-buahan dan harta, sedangkan engkau adalah utusan Allah dan hamba pilihan-Nya hanya berada dalam sebuah kamar pengasingan seperti ini. Rasulullah SAW lalu bersabda: Wahai putra Khatab, apakah kamu tidak rela, jika akhirat menjadi bagian kita dan dunia menjadi bagian mereka?
Pernyataan dalam hadis di atas pada dasarnya menegaskan bahwa keserakahan tiada batasnya. Dan hal ini sudah menjadi fitrah manusia yang selalu tidak puas dengan harta-benda. Selalu mencari dan menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya, padahal ketika badan sudah terbujur kaku, tak ada emas permata yang dibawa ke liang lahat. Hanya kain kafan dan kapas semata.
Sebab itu, Islam sudah memberikan rambu-rambu bagi kaum Muslimin bagaimana menjalani kehidupan dunia yang penuh perdaya ini. Kuncinya adalah dengan hidup sederhana, banyak bersyukur atas nikmat, dan rela berbagi dengan sesama.
Hidup sederhana adalah niat hidup untuk sukses. Dengan kesuksesannya itulah manusia dituntut bisa hidup sederhana atau tidak. Sederhana disini bukan berarti pelit, tapi kerelaan untuk berbagi kesuksesan. Sungguh-sunguhlah berusaha untuk sukses demi menciptakan hidup sederhana. Islam mengajarkan agar hidup sukses.
Bagaimana bisa mengeluarkan zakat dan shadakoh, menunaikan ibadah haji, atau sederhananya mengenakan pakaian yang layak untuk salat jika tidak sukses dalam hidup, meski ukuran sukses bukan semata-mata dari banyaknya materi?
Dalam Al-Quran banyak menyinggung anjuran untuk hidup dalam kesederhanaan dan mau berempati terhadap orang lain. Bahkan Allah SWT memperlihatkan kekuasaannya dengan menampilkan sosok Nabi Muhammad SAW sebagai teladan utama bagi umat manusia. Kehidupan nabi angung ini sangat bersaja. Semua yang ada dalam diri Rasulullah adalah cerminan dari Islam. Nabi menjadi teladan untuk melihat kesederhanaan itu seperti apa.
Untuk membiasakan hidup dalam kesederhanaan membutuhkan waktu dan proses panjang. Namun intinya harus hidup sederhana atau konaah ini dibuktikan dengan konsisten dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu media untuk melatih hidup sederhana adalah saat menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Tapi kebanyakan saat puasa malah orang jadi boros, memborong barang-barang. Ini yang tidak benar. Puasa justru melatih untuk tidak berlebihan, mau membagi rezeki dengan orang lain. Seorang Muslim harus senantiasa mengutamakan aspek kehalalan dari apa yang diusahakan dan dimakannya.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah menanamkan nilai-nilai hidup sederhana ini kepada anak sejak dini mungkin. Para orangtua harus mengajarkan anak-anaknya untuk tidak boros, selalu menghargai sesuai dengan adil dan mau berbagi dengan yang lainnya. Juga dibenamkan pemahaman untuk saling tolong menolong dan berempati pada penderitaan orang lain, sehingga mereka tidak cuek.
Dalam konteks kepemimpinan, sikap kesederhanaan juga semestinya ditunjukan oleh para elit atau petinggi negara, pemerintahan, pejabat swasta atau organisasi. Kita ambil contoh dari sosok Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Adil, jujur, sederhana dan bijaksana itulah ciri khas kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Tak salah bila sejarah Islam menempatkannya sebagai ‘khalifah kelima’ yang bergelar Amirul Mukminin, setelah Khulafa Ar-Rasyidin.
Khalifah pilihan itu begitu mencintai dan memperhatikan nasib rakyat yang dipimpinnya. Ia beserta seluruh keluarganya rela hidup sederhana dan menyerahkan harta kekayaannya ke baitulmal (kas negara), begitu diangkat menjadi khalifah. Khalifah Umar II pun dengan gagah berani serta tanpa pandang bulu memberantas segala bentuk praktik korupsi.
Tanpa ragu, Umar membersihkan harta kekayaan para pejabat dan keluarga Bani Umayyah yang diperoleh secara tak wajar dan menyerahkannya ke kas negara. Semua pejabat korup dipecat. Langkah itu dilakukan khalifah demi menyejahterakan dan memakmurkan rakyatnya. Baginya, jabatan bukanlah alat untuk meraup kekayaan, melainkan amanah dan beban yang harus ditunaikan secara benar.
Tak seperti penguasa kebanyakan yang begitu ambisi mengincar kursi kekuasaan, Umar justru menangis ketika tahta dianugerahkan kepadanya. Meski Umar bukan berasal dari trah Bani Umayyah, keadilan dan kearifannya selama menjabat gubernur telah membuat Khalifah Sulaiman terkesan. Maka di akhir hayatnya, Sulaiman dalam surat wasiatnya memilih Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya.
Apa yang ditampilkan oleh sosok Umar bin Abdul Aziz tak lain adalah ketakwaan dan keimanan yang tinggi terhadap ajaran yang dibawa oleh manusia mulia, Nabi Muhammad SAW. Materi dan jabatan bukan segalanya bagi Umar bin Abdul Aziz, melainkan amanah berat, sekaligus ujian dari Allah SWT. Bagaimana dengan para pemimpin negeri ini?
Mudah mudahan Allah SWT masih mendengar doa-doa dari insan sholeh yang bermohon diturunkannya pemipimpin yang amanah, istikomah, konaah, dan cinta pada rakyatnya.
Sebagai penuntut dari tulisan ini, satu kisah dalam HR Muslim sebagai bahan renungan bersama untuk menyambut Ramadhan tahun ini. Suatu ketika Khalifah Umar bin Khatab ra berkisah:
“Aku masuk menemui Rasulullah SAW. yang sedang berbaring di tas sebuah tikar. aku duduk di dekat Beliau, laul beliau menurunkan kain sarungnya dan tidak ada yang menutupi beliau selain kain itu. terlihatlah tikar telah meninggalkan bekas di tubuh beliau. kemudian aku melayangkan pandang ke sekitar kamar beliau. tiba-tiba aku melihat segenggam gandum kira -kira seberat satu shaĆ¢ dan daun penyamak kulit di salah satu sudut kamar serta sehelai kulit binatang yang samakannya tidak sempurna. seketika dua mataku meneteskan air mata tanpa dapat ku tahan melihat kesederhanaan beliau. Rasululah bertanya: Apakah yang membuatmu menagis wahai putra Khathab? Aku menjawab: Wahai Rasullulah, bagaimana aku tidak menangis tikar itu telah membekas di pinggangmu dan tempat ini aku tidak melihat yang lain dari apa yang telah aku lihat. Sementara raja Romawi dan Persia bergelimang buah-buahan dan harta, sedangkan engkau adalah utusan Allah dan hamba pilihan-Nya hanya berada dalam sebuah kamar pengasingan seperti ini. Rasulullah SAW lalu bersabda: Wahai putra Khatab, apakah kamu tidak rela, jika akhirat menjadi bagian kita dan dunia menjadi bagian mereka?
Comments
Post a Comment