Imbas dari krisis ekonomi global masih terasa, tidak hanya merontokan sistem perbankan Amerika Serikat dan sejumlahnegara lainnya, namun Indonesia juga kena dampaknya. Hal itu bisa terlihat dari sejumlah perusahaan yang terpaksa harus tutup usaha, karena permintaan dari pasar dunia melemah, terutama di bisnis garmen atau tekstil.
Perusahaan yang paling banyak menyerap lowongan kerja ini akhirnya mengambil kebijakan pemutusan hubungan kerja atau PHK, karena tidak bisa lagi menutupi biaya produksi yang terus membengkak, sedangkan hasil produksi menumpuk sebab tidak bisa dipasarkan.
PHK menjadi pil pahit yang harus ditelan perusahaan terutama karyawan. Akibatnya, jumlah pengangguran pun terus bertambah. Meningkatknya jumlah pengangguran, akibat PHK massal menjadikan daya beli masyarakat kian terpuruk ke titik nadir.
Kebangkrutan industri nasional bukan gara-gara krisis global semata. Akan tetapi, sudah jauh hari diprediksikan akan terjadi seperti ini. Hanya tinggal tunggu waktu, sebab menjadi bom waktu yang setiap saat meledak. Kekhawatiran ini sekarang jadi kenyataan, dunia menderita karena krisis.
Bagi Indonesia ini pukulan yang terus bertubi-tubi. Belum pulih dari krisis moneter yang memicu krisis ekonomi pada 1997, kini dihadapkan pada krisis baru. Kemampuan industri dalam negeri menjadi tak berdaya saat membanjirnya produk-produk asing terutama dari negeri Tirai Bambu. Pengusaha lokal dibuat sempoyongan dan kalang kabut, karena kalah bersaing baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Tantangan ke depan sudah barang tentu akan semakin berat jika tidak bisa menyikapi dan menarik pengalaman berharga dari kenyataan ini. Keadaan semakin diperburuk dengan sikap sebagian putra bangsa ini yang hanya mau jadi pengekor, bukannya jadi inisiator atau kreator dalam melahirkan produk unggulan padaha punya kesempatan. Bukannya menjadi pemimpin pasar di rumah sendiri, malah menjadi marketing produk asing dan hanya sekadar cari untung semata.
Sayangnya budaya akan cinta produksi dalam negeri juga masih menjadi barang langka dan mahal di masyarakat kita. Nasionalisme pada produk lokal bisa dibilang memprihatinkan. Lebih bergengsi dengan produk impor daripada berlebel hasil karya anak negeri. Padahal jika dilihat dari segi kualitas maupun kreatifitas tidak kalah juga. Masalahnya, sebagain masyarakat kita yang belum percaya diri menjadi bagian dari jati dirinya.
Sekarang yang menjadi pertanyaannya, sampai kapan kita harus tergantung pada negara luar, sedangkan di negera sendiri banyak aset berharga yang diabaikan, padahal oleh pihak luar dicari-cari? Maka cinta dan bangga menggunakan produk tanah air adalah jawabannya. Dengan membeli dan menggunakan produk dalam negeri berarti ikut dalam memajukkan produk dalam negeri, artinya ikut memajukan perekonomian bangsa. Ujungnya akan mengurangi ketergantungan pada pasar luar, sehingga menjadi bangsa yang mendiri.
Perekonomian Indonesia khas dengan koperasi yang berdiri pada sistem gotong-royong. Gotong royongmembuat yang tak mungkin diwujudkan menjadi dapat diwujudkan. Gotong royong membuat semua pihak diuntungkan. Kunci dari gotong royong tersebut adalah kepercayaan serta kebersamaan antarsesama. Dengan ikut memakai produk tanah air adalah salah satu bentuk gotong royong yang selalu menjadi karakter khas Indonesia dari dulu, sekarang dan mudah-mudahan kedepannya.
Apabila produk Indonesia dapat diterima oleh masyarakat, maka perkembangan terhadap produk tanah air ada di depan mata. Selanjutnya, akan sangat mempengaruhi beragam aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi usaha kecil dan menengah, diterimanya hasil produksi mereka, akan sangat mempengaruhi bagi perkembangan usaha mereka. Jadi ingin perkuat ekonomi bangsa, ya cintailah made in Indonesia tentunya dengan membelinya agar roda ekonomi terus berputar.
Comments
Post a Comment