Menggratiskan pendidikan adalah sesuatu yang sangat patut diacungi jempol, terlebih jika digratiskan hingga perguruan tinggi. Pendidikan adalah investasi jangka panjang bagi kemajuan suatu bangsa. Pendidikan adalah landasan suatu bangsa untuk terbang pada kemajuan. Apabila tingkat pendidikannya baik, maka kualitas sumber daya manusia sebagai satu bangsa akan meningkat sehingga memiliki derajat tinggi.
Tentunya masyarakat berharap, sekolah gratis ini atau yang lebih tepat mungkin sekolah murah ini bisa benar-benar dirasakan bukan hanya iklan semata. Komitmen pemerintah dengan ujung tombaknya Depdiknas memiliki tanggung jawab materil maupun moral dalam mewujudkan sekolah gratis ini.
Bila dilihat di skala yang lebih kecil lagi, misalnya dalam lingkup Kota Depok, sebenarnya wacana sekolah murah atau terjangkau sudah didengung-dengungkan oleh Pemerintahan Walikota Nur Mahmudi Ismail beberapa tahun lalu. Bisa dikatakan lebih awal dari kampanye pemerintah pusat saat ini.
Tentunya masyarakat menyambut baik komitmen Pemerintah Kota Depok mewujudkan sekolah murah tapi tetap mengedepankan mutu.
Murah maksudnya biaya terjangkau oleh semua kalangan terutama bagi masyarakat kurang mampu. Sesuai dengan amanat konstitusi, di mana negara menjamin warga negaranya memperoleh pendidikan, minimal pendidikan dasar 12 tahun.
Dengan sekolah murah ini, masyarakat tidak lagi dihadapkan dengan banyak pungutan atau sumbangan ini dan itu yang selama ini dikeluhnya. Semua kebutuhan pendidikan dari mulai pengadaan sarana dan prasaran hingga biaya operasional, serta lainnya dipenuhi oleh angaran pemerintah.
Sementara pembelajaran yang berkualitas ujungnya menyangkut output yang dihasilkan yang banyak dipengaruhi faktor. Selain dukungan sarana dan prasarana pendidikan yang memenuh standar, guru memiliki posisi kunci dalam menunjang peningkatan kualitas pendidikan. Sebanyak 60% -70% kualitas pendidikan berada di tangan guru. Guru yang berkualitas dapat menghasilkan siswa berkualitas pula.
Lalu seperti apa guru dapat dikatakan berkualitas?. Setidaknya guru yang layak diberi predikat berkualitas jika memenuhi empat kriteria. Yakni, kompetensi pribadi, profesionalisme, sosial dan pedagogis. Jika guru tersebut bisa memenuhi empat kompetensi itu, maka pembelajaraan akan berkualitas dan melahirkan prestasi bagi peserta didiknya.
Bagaimana dengan mutu guru di Depok? Mengenai masalah ini tidak bisa dipukul rata bagus atau buruk, karena ada indikator yang harus diukur. Kemudian dari hasil survei itu, dibuatkan satu pemetaaan sebagai acuan dalam rencana aksi dari program yang akan dijalankan sehingga sesuai dengan kebutuhan.
Meski demikian, sebagai bahan perbandingan bisa dilihat dari berapa jumlah guru di Depok yang telah lolos sertifikasi. Namun, penilaian dari aspek sertifikasi ini tidak serta merta dapat dijadikan dasar untuk mengukur mutu pendidikan di Depok secara global. Pasalnya, diakui proses sertifikasi tidak mudah dilakukan bari guru terlebih yang telah berusia dan pendidikannya belum menuhi kriteria sertifikasi.
Bagi guru, syarat portopolio misalnya, juga tidak gampang karena banyak aspek yang harus dilihat. Oleh sebab itu, leading sektor perlu mengadakan pelatihan-pelatihan sertifikasi bagi para guru sehingga bisa melaksanakan kebijakan ini dengan baik sesuai tuntutan undang-undang yang berlaku.
Diharapkan dengan terpenuhinya kualifkasi guru, kegiatan pembelajaran bisa berlangsung lebih efektif dan berkembang. Masih banyak guru yang masih menerapkan pola pembalajaraan konvensional padahal saat ini dibutuhkan metode belajar yang moderen dan berbasis teknologi informasi, terutama di sekolah-sekolah negeri. kedepannya harus dikembangkan sistem pembelajaran seperti kuantum learning atau multiple intelengence.
Dinas Pendidikan harus memetakan sekolah-sekolah yang sudah terakreditasi dan yang belum. Misalnya, bagi sekolah yang sudah mengantongi tipe A, bisa dikembangkan menjadi sekolah rintisan bertaraf nasional dan internasional. Namun dalam hal ini diperlukan manajerial yang matang dalam mempersiapkan sejumlah program termasuk pendanaan guna mendukung rintisan tersebut.
Sementara itu berbicara soal kualitas pendidikan, pakar pendidikan Dr Arief Rahman mengungkapkan sistem pendidikan Indonesia secara umum harus dibenahi agar menghasilkan sumber daya manusia yang mumpuni. Pasalnya, dunia pendidikan di tanah air saat ini kerap diwarnai dengan tindakan kekerasan, pelecehan seks dan penggunaan narkoba hingga aksi bunuh diri.
“Pendidikan di Indonesia harus dilihat secara umum apa yang diunggulkan. Apakah hanya mengunggulkan jumlah nilai, angka kelulusan atau banyaknya sarjana yang dicetak, tapi tidak mengedepankan moral, tatak rama dan agama? "Jangan heran ada yang sampai bunuh diri, berbuat pelecehan seksual, atau narkoba," paparnya.
Untuk itulah, penyelenggara pendidikan atau sekolah harus mengedepankan pendidikan spiritualitas, sehingga anak tumbuh baik. Kemudian komponen pendidikan lainnya juga ditanamkan secara berkesinambungan.
Menurut Arief, lima komponen pendidikan itu pertama spirutual, yakni kenyakian terhadap ajaran agama. Kedua, emosional yang berperan dalam mengembangkan kepribadian yang stabil dan terkendali. Ketiga, perkembangan intelektual untuk dapat berpikir secara rasional berdasarkan ilmu pengetahuan.
Keempat, perkembangan sosial yang menentukan kemampuan dalam membangun interaksi dan kerja sama dengan lingkungannya. Kelima, perkembangan jasmani yang ditandai dengan pertumbuhan fisik yang sehat.
Arief Rahman mengkhawatirkan sekolah malah terjebak pada mengejar kelulusan tinggi, padahal yang paling penting adalah melaksanakan ujian secara bertanggung jawab dan jujur. “UN harus dihadapi dengan persiapan yang cukup, bukan dengan kecurangan atau mendongkrak nilai agar siswa lulus semua,” ujarnya .
Meski demikian, Arief mengakui dampak dari dinaikkannya standar UN akan mendorong sekolah, siswa, guru dan orangtua memerhatikan kegiatan belajar mengajar. Namun karena yang diujikan hanya beberapa mata pelajaran, maka kegiatan belajar hanya terfokus pada pelajaran tersebut, sedangkan yang lainya terabaikan.
Menurut dia, konsekuensi dari kenaikan standar UN 2009, akan meningkatkan jumlah ketidaklulusan bagi sekolah tertentu yang tidak siap dengan kebijakan tersebut. “Jadi kenaikan standar UN bagi sekolah tertentu tidak serta merta meningkatkan mutu pendidikan karena tidak siap,” ungkap Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO.
Pada akhirnya mengelola pendidikan apalagi menyangkut eksistensi satu bangsa adalah gampang-gampang susah. Butuh komitmen dan kemauan politik terutama dari pemanggku kebijakan yang harus menempatkan pendidikan sebagai ivestasi masa depan demi menciptakan generasi yang unggul dan berkemampuan kompetitif di era persaingan global.
Tidak hanya hebat dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi moderen, akan tetapi lahir generasi berkarakter dengan kearifan lokal sebagai bangsa besar yang bermoral dan beradab.
Tentunya, salah satunya bermula dari pembelajaran di lembaga pendidikan, dalam mencetak dan mempersiapkan insan khamil. Untuk menghasilan sumber daya yang berkualitas, tidak harus dengan sekolah yang mahal dan mewah, namun dari ruang kelas yang sederhana namun sarat dengan semangat belajar juga dapat melahirkan laskar pelangi yang membawa terang masa depan Indonesia.
Anak bangsa yang hidup di bawah bayang-bayang garis kemiskinan juga berhak mendapatkan pendidikan demi perbaikan masa depannya. Jika bukan kebijakan yang pro terhadap kaum miskin, tentunya mereka selamanya berada dalam kemiskinan dan kebodohan akibat kedzaliman sistem yang membuat mereka tak berdaya dalam cengkraman kapitalisme pendidikan.
Semua berharap dengan semangat mewujudkan sekolah murah di Depok ini membuat anak-anak terseyum dan nyaman menimba ilmu sebanyak-banyaknya untuk bekal meraih masa depan yang cemerlang.
Comments
Post a Comment