Sindikat Dijerat, si Gepeng “Dipeluk” Erat


Sejak 14 Juli lalu, Pemprov DKI akan merazia pihak-pihak yang dituding telah mengambil mafaat atau mengeksploitasi gelandangan, pengemis, dan anak jalanan (gepeng).

Mereka yang diistilahkan pemerintah sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) kembali menjadi target operasi. Saya sendiri kurang sreg dengan penaman PMKS ini karena cenderung menggap dari mereka sebagai problem padahal itu kewajiban buat pemerintah. Mereka terjun ke jalanan ini bukan cita-citanya hidup model seperti ini, bukan atas kehendaknya. Mereka terpaksa demikian lantaran “terpinggirkan” secara sistematis.

Dalam konstitusi sudah terang benderang jika fakir-miskin, anak yatim, dan anak telantar diurus negara. Jadi kalau negara ini benar-benar serius mengurus, tentunya mereka ini tidak akan meluber ke jalanan di kota-kota besar. Nenteng kecrekan lalu nyanyi alakadarnya agar dikasihani.

Parahnya lagi, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula, anak-anak kurang beruntung ini malah menjadi objek eksploitasi sekelompok orang yang meneguk untung dari penderitaan mereka. Secara ekonomi maupun seksual, dan psikologis, anak jalanan diperlakukan semena-mena.

Masih ingatkan dulu ribut-ribut soal razia dubur anjal. Saya sempat dibuat tergelitik dengan respons Polres Bekasi yang merazia anjal, lalu satu per satu didata serta dicek bokongnya apakah menjadi korban sodomi. Polda Metro Jaya juga sejatinya akan melakukan tindakan serupa. Lantaran mendapat penentangan dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), razia bokong ini urung dilakukan. Komnas PA beralasan tindakan tersebut tidak manusiawai dan melanggar HAM.

Memang menangkapi lantas mengecek satu per satu bokong anak jalanan bisa dibilang sia-sia yang justru dapat melecehkan hak si anak itu sendiri, terlepas dalih untuk mengendus jejak si tukang sodomi. Hal ini tidak menjadi solusi bijak, sebab pendekatan model demikian adalah cerminan sikap reaktif yang tidak menyentuh akar masalah dari anak jalanan.

Persoalan anak jalanan tidak sesederhana urusan bokongnya saja. Mungkin bagi para petinggi negeri ini, anak jalanan adalah masalah kecil yang dianggap sudah menjadi pemandangan lumrah sehari-hari. Lebih penting dari urusan sinetron pengadilan “para pembesar” yang terancam hukuman mati. Tidak lebih berharga dari angenda penyelamatan kelompok Istana gara-gara skandal dana talangan Bank Indonesia untuk Bank Century sebesar Rp6,7 triliun.

Dua masalah yang kini banyak menyita perhatian publik dan media massa itu, sama sakali tidak ada sangkut-pautnya dengan wong cilik dan anak jalanan. Sebab, mereka masih berkutat dengan urusan perut. Kelompok pinggiran ini sekoyong-koyong tidak akan mengerti akan “perang buku putih” demi mengembalikan citra baik.

Anak jalanan adalah fenomena gunung es yang hanya terlihat di permukaan. Departemen Sosial mencatat di seluruh wilayah Indonesia sedikitnya ada 232.000 anak jalanan. Namun data Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB) melaporkan 3,3 juta anak Indonesia saat ini telantar. Dari jumlah tersebut, 160 ribu di antaranya menjadi anak jalanan. Sebanyak 60 persen dari jumlah itu harus putus sekolah di tingkat SD.

Data yang dilaporkan YCAB di atas adalah data terakhir hingga tahun 2008. Sebagian besarnya berkeliaran di kota-kota besar, terutama Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Diperkirakan saat ini jumlahnya membengkak akibat kondisi krisis ekonomi yang belum pulih.

Keberadaan anak di jalanan semestinya menjadi fokus perhatian petinggi pemerintahan dan elit politik. Bukan hanya kerjaan penggiat sosial atau LSM kemanusiaan. Mereka adalah generasi penerus bangsa yang hak-haknya terampas dan teranianya akibat kemiskinan.

Selain harus kehilangan masa kanak-kanaknya, mereka juga rentan diekplotasi secara ekonomi, fisik-seksual, dan psikis. Mereka rawan terhadap kriminalisasi, pelecehan seksual, dan penyalahgunaan obat-obat haram serta tertular penyakit berbahaya.

Yang mereka butuhkan adalah kepedulian, perlindungan, dan pendampingan. Bukan sekadar uang recehan atas belas kasihan. Anak jalanan butuh perhatian dan kasih sayang. Mereka perlu ruang belajar dan penyaluran aspirasi sesuai dengan perkembangan anak pada umumnya.

Apakah kita tidak miris dengan nasib tragis salah satu anak jalanan, Ardiansyah yang disodomi Bayquni alias Babeh lalu dimulitasi. Kejadian memilukan ini hanyalah torehan kecil fakta pedih nasib anak jalanan.

Mudah-mudahan para pemangku kekuasaan dan pemutus kebijakan di negeri ini terketuk hatinya untuk melakukan tindakan konkret, tidak sebatas retorika manis saat kampanye pemilu. Sekali lagi, UUD 1945 mengamanatkan fakir miskin dan anak telantar diurus negara. Sebab itu, negara berkewajiban memberikan hak-hak mereka agar bisa terseyum dan menikmati indahnya alam Indonesia.Terkait rencananya Pemprov DKI Jakarta merazia sindikat yang menggerakan anak jalanan, tentunya upaya ini dapat benar-benar bermanfaat untuk memutus mata rantai kejahatan sosial-kemanusiann ini.

Sementara anjal, gelandangan dan pengemis diberikan difasilitasi dan diberi kapasitas sehingga mereka memiliki bekal untuk meretas hidup mandiri. Sediakan rumah sehat untuk belajar bagi mereka agar menjadi manusia yang beradab. Sehingga tidak dianggap sebagai penyakit, beban kota, atau parasit bagi kehidupan masyarakat. Bagaimanapun juha mereka adalah manusia, anak bangsa seperti kita. Meraka pada dasarnya punya harapan dan cita-cita untuk hidup wajar, selayaknya manusia.

Comments