Gerilya Lawan Korupsi Masih Terjal


Pada 17 Agustus nanti, bangsa Indonesia genap menghirup udara kemerdekaan 65 tahun. Lepas dari belenggu penjajahan bangsa asing dan lahir menjadi negara berdaulat.

Dalam rentang waktu setengah abad lebih itu sudah banyak kemajuan dan prestasi yang dicetak anak negeri. Sehingga, dalam beberapa bidang Indonesia dapat berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan negara lainnya.

Namun di balik prestasi itu masih banyak persoalan krusial dan mendasar yang membelenggu negeri ini. Tak lain adalah kejahatan korupsi. Bahkan sekarang bisa dibilang menghawatirkan, meski sudah merdeka 65 tahun.

Situasi negara yang korup ini jauh sebelumnya ditorehkan secara dalam oleh sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer dalam romannya. “Rupa-rupanya sekali telah melangkahkan kaki di gelanggang korupsi, orang tak ada melihat jalan kembali. (Pramoedya Ananta Toer, Korupsi, 108-9).

Kalimat di atas merupakan ide dan pikiran seorang Pram, demikian disapa kala itu untuk menggambarkan kondisi sosial Indonesia pascamerdeka. Nyatanya, sampai saat ini apa yang dikemukakan Pram masih relevan dan tidak jauh berbeda.

Di era reformasi ini, prakrtek korupsi, kolusi, dan nepotiseme justru menjadi-jadi. Modus perampokan uang negara semakin rapi dan luas, karena hinggap di semua kelas kehidupan masyarakat.

Ironisnya, dalam beberapa kasus justru melibatkan aparat penegak hukum, seperti kasus Gayus Tambunan dan skandal bailout Bank Century sebesar Rp6,7 triliun.

Dari beberapa catatan hukum, modus korupsi ini banyak didominasi oleh anggota DPR dan pejabat negara dengan jaringan mafia hukum dalam menjalankan aksinya.

Dalam laporan teranyar Asian Development Bank (ADB), menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia. Indeks Presepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2009 sempat mengalami peningkatan ke arah positif, yaitu naik dari 2,6 pada tahun 2008, namun kembali menjadi 2,8 pada tahun ini. Tak pelak, Indonesia menempati posisi 111 dari 180 negara di dunia.

Menurut ADB, hasil survei iklim investasi mengindentifikasikan korupsi di Indonesia menjadi penghambat utama investasi di tingkat pusat hingga daerah.

Sementara itu kemarin, Kejaksaan Agung melaporkan selama kurun waktu Januari sampai Juni 2010, terdapat 81 kasus korupsi yang disidik. Sebanyak 75 persen di antaranya melibatkan pejabat negara dan anggota dewan.

Bahkan Kapuspenkum Kejagung Babul Khoir Harahap memprediksi, berdasarkan data hinga Juni lalu diperkirakan hingga Agustus ini bisa melebihi 100 kasus yang disidik.

Perkara korupsi ini bukan hanya marak di pusat. Di daerah juga tak kalah mencemaskan. Indonesian Coruption Watch (ICW) melansir data kasus korupsi pada semester satu tahun 2010 yang sudah ditindak oleh aparat penegak hukum sebanyak 176 kasus.

Dari 176 kasus tersebut, 38 kasus tercatat di sektor keuangan daerah dengan total kerugian sebesar Rp596 miliar. Data korupsi keuangan daerah juga merupakan ladang terpopuler di korupsi pada semester tahun 2009, dengan jumlah 23 kasus.

Adapun data Kementerian Dalam Negeri menyebutkan bahwa sebelum tahun 2008 pejabat di daerah yang tersandung kasus korupsi adalah tujuh gubernur, tiga wakil gubernur, 62 bupati/walikota dan 327 anggota DPRD.

Tentunya praktek korupsi ini tidak boleh dibiarkan terus merusak tatanan negera. Tidak ada cara lain untuk memberantas korupsi adalah satu kata, zero tolerance to corruption. Artinya, korupsi harus ditangani dengan sistematis dan proposional. Tidak ada istilah ampun bagi koruptor.

Dalam hal ini, masyarakat sangat berharap akan keberanian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut kasus kakap yang melibatkan penyelenggara negara sampai level tertinggi. Masyarakat pun berharap ketua KPK yang saat ini masih dalam proses seleksi tidak hanya antikorupsi jadi berani mati untuk memberangus korupsi tanpa tebang pilih.

Comments