Beberapa hari lagi, umat Islam se-dunia akan menyambut datangnya bulan suci Ramadan. Bulan ujian yang sarat dengan ampunan dan pahala berlipat ganda bagi mereka yang menjalankannya dengan khusyuk, ikhlas, dan berserah diri.
Nuansa Ramadan sudah mulai terasa. Umat Islam mulai berbenah diri. Pun dengan pusat perbelanjaan hingga tanyangan hiburan di media massa, hadir dengan sajian spesial Ramadhan.
Terlepas dari semua itu, ada sesuatu yang sedikit mengusik saya. Ini tidak terlepas dari maraknya gelandangan, anak jalanan, dan pengemis (gepeng) menjelang bulan puasa ini. Selain gepeng, saya juga kerap melihat sekelompok orang yang tinggal di jalanan dan tidur di gerobak. Orang lazim menyebutnya manusia gerobak.
Di beberapa jalan protokol di Depok, misalnya, manusia gerobak ini banyak berkeliaran. Begitu juga di bebera sudut di Ibu Kota. Bahkan dalam satu gerobak ini memuat satu anggota keluarga. Pasalnya, orangtua mereka mengajak anak-anaknya turut beroperasi mengais rezeki di jalanan dengan memungut barang-barang bekas.
Saya kadang miris melihatnya. Seorang bocah perempuan dengan baju lusuh dan rambut kusut terlelap tidur ditumpukan kardus dalam gerobak yang didorong orangtuanya.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, manuasi gerobak ini memanfaatkan momen bulan puasa untuk mengumpulkan barang bekas sambil menunggu belas kasihan dari warga yang menyisihkan sedekah. Memang di bulan puasa ini ada peningkatan ibadah dari kaum muslimin dibandingkan waktu-waktu biasanya.
Ibadah di bulan puasa lebih istimewa, karena Allah SWT menjanjikan pahala yang berlibat bagi siapa saja yang menjalaninya. Dan seyogianya, pasca puasa sebulan penuh keimanan dan ketaqwaan harus lebih baik lagi, sehingga layak disebut ada peningkatan.
Mungkin karena di bulan puasa banyak orang yang berlomba-lomba dalam bersedekah memancing manusia gerobak ini rela jauh-jauh datang ke kota-kota besar. Pasalnya, mereka ini justru marak saat bulan puasa atau tahun baru. Ya, wajar bila ada pihak yang tendensius memandang kehadiran manusia gerobak ini lantaran munculnya musiman.
Pemerintah Pemprov DKI Jakarta malah sudah mewanti-wanti akan merazia para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Operasi ini ditujukan agar Ibu Kota tidak kebanjiran gepeng dan manusia gerobak yang memanfaatkan momen Ramadan tersebut.
Jika ditilik lebih jauh, fenomena manusia gerobak ini bukan hanya disebabkan kemiskinan secara ekonomi, namun sosial dan budaya, dan kecendrungan mereka untuk lepas dari dominasi kekuasaan pihak lain.
Saya melihat munculnya manusia gerobak tidak semata-mata karena kemiskinan, tetapi imbas dari struktur sosial yang memandang pekerjaan memulung sebagai sebuah keterpaksaan karena tidak adanya pilihan lain.
Di saat ketidakadilan melanda kaum yang lemah, si kuat mencekik si lemah maka kelompok ini mencari jalan “kreatif” sebagai respons terhadap tekanan hidup sekaligus cara dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dari sini lahirkan atribut kehidupan kemiskinan yang divisualisasikan dengan komunitas manusia gerobak. Kalau sudah begini apa yang harus dilakukan? Kembalikah kepada negara yang berkewajiban menjamin kehidupan fakir-miskin dan anak yatim dan telantar? Atau ada solusi lainnya?
Comments
Post a Comment