Menuntut “Kemerdekaan Hukum” Wong Cilik


Semarak peryaan HUT ke-65 Kemerdekaan RI masih lekat. Tapi, kisah pilu anak bangsa yang tertindas ketidakadilah hukum masih terjadi. Rakyat kecil belum merdeka dari perlakuan diskriminatif.

Kali ini, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Temanggung menjatuhkan vonis satu bulan penjara kepada empat orang pengemis.
Seperti ditulis Antara hari ini, Ketua Majelis Hakim Galih Dewi Kinanti yang menjatuhkan vonis tidak meminta mereka menjalani hukuman tersebut, tetapi memberikan hukuman percobaan selama dua bulan.

Mereka dinilai telah melanggar pasal 505 KUHP ayat (1) yang menyebutkan barangsiapa bergelandangan tanpa mempunyai mata pencaharian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.
Keempat pengemis tersebut adalah Maemunah (75), Suminah (74), keduanya warga Kampung Waluhan, Kelurahan Kertosari, Muntamah (35) warga Krincing, Secang, Magelang, dan Yuliati (30) warga Desa Lambang, Kecamatan Grabag, Magelang.

Mereka terjaring razia yang digelar Polres Temanggung. dari pengakuannya terungkap, terpaksa mengemis karena kondisi ekonomi. Maemunah dan Suminah merupakan janda tua, sedangkan Muntamah dan Yuliati harus menghidupi kelima anaknya sendirian.
Masih berbekas dalam ingatan kita, gara-gara himpitan ekonomi pula warga lemah berurusan dengan hukum. Empat terdakwa kasus pengambilan sisa buah kapuk di Perkebunan Sigayung, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, dihukum 24 hari penjara dipotong masa tahanan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Batang.

Ketua Majelis Hakim Tirolan Nainggolan didampingi Hakim Anggota M Iqbal dan Made Utami memutuskan, kedua terdakwa Manisih (40) dan Sri Suratmi (19), dihukum 24 hari penjara, karena secara sah terbukti mencuri buah kapuk seberat 14 kilogram atau senilai Rp 12 ribu. Kedua terdakwa lainnya, yaitu Rusnoto (14) dan Juwono (16), juga diputus 24 hari penjara oleh hakim tunggal Tirolan Nainggolan, karena terbukti mengambil sisa buah kapuk bersama terdakwa lainnya.

Nasib seupa juga menimpa warga level bawah lainnya. Ketidakadilan hukum di negeri ini setidaknya telah dirasakan Nenek Minah, warga Banyumas, yang divonis 1,5 bulan kurungan dengan masa percobaan 3 bulan akibat mencuri tiga buah kakao seharga Rp2.100.
Atau kisah Basar Suyanto dan Kholil, warga Kediri, Jawa Timur, Basar Suyanto dan Kholil. Keduanya harus berurusan dengan polisi karena kedapatan mencuri sebuah semangka. Bahkan, keduanya sempat mendekam di tahanan, sebelum akhirnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Kediri.

Ironisnya, keluarganya mengaku sempat ditipu oknum polisi agar membayar Rp1 juta suapya kasusnya dihentikan. Sementara kasus kasus kakap yang melibatkan petinggi negara banyak yang tak jelas juntrungannya. Buktinya, mega skandal BLBI atau yang baru-baru hangat di media masa kasus bailout Bank Century senilai Rp6,7 triliun.
Perjuangan warga biasa dalam menuntut kedadilan di muka hukum yang paling banyak menyita perharian publik adalah kasus yang menimpa Prita Mulyasari yang dimejahijaukan oleh RS Ommi Internasional gara-gara mengeluhkan layanan di rumah sakit itu melalui internet.

Sebelum dibebaskan dari semua tuntutan, ibu dua anak itu oleh Pengadilan Tinggi Banten diputus bersalah dan wajib membayar denda sebesar Rp204 juta. Prita, hanya sebagian kecil orang yang mampu berontak dari ketidakadilan hukum. Prita bisa dibilang beruntung karena mendapatkan simpati publik luar biasa. Sehingga dukungan moral hingga koin pun mengalir dari berbagai sudut daerah.

Tapia apa dikata bagi pengemis tua, Maemunah hanya bisa pasrah dijaring razia dan dijebloskan ketahanan, kemudian divonis hakim lantaran kerap meminta-minta di jalanan. Bagi Maemunah, mengemis mungkin hanya satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Di masa tuanya, untuk mendapatkan sesuap nasi pun harus turun ke jalan menimba belas kasihan. Padahal, konstitusi mengamanatkan, “Fakir miskin dan anak telantar dipelihara negara.” Tapi paktanya, “Fakir-miskin dan anak telantar malah dipenjara negara. Adilkah?

Terlepas dari alasan pemerintah setempat yang kesal karena mereka berulang kali ditangkap dan masih menggelandang, Maemunah adalah potret buram kehidupan kelas bawah di negeri ini. Pun dalam wajah hukum Indonesia, vonis bagi pengemis sungguh kontras dengan hukuman ringan yang dibebankan kepada para koruptor. Pelaku koruptor nyata-nyata merampok duit rakyat. Akibatnya, tidak hanya negara yang dirugikan, tapi tatanan kehidupan bangsa pun rusak.

Saya sendiri sepandangan dengan Majelis Ulama Indonesia yang mengusulkan hukuman berat bahkan bila perlu hukuman mati bagi koruptor untuk memberikan efek jera. Karena, tidak cukup dengan sanksi sosial seperti usulan kiai NU agar jenazahnya haram disalatkan.

Memang Indonesia sudah merdeka setengah abab lebih, tapi perjuangan bangsa ini benar-benar masih panjang. Kita dihadapkan dengan penjajahan model baru. Yakni, penjajahan oleh bangsa sendiri, salah satunya ketimpangan dalam hukum dan hak-hak ekonomi.
Di momen hari kemerdekaan dan semangat menuaikan puasa Ramadan, tentunya masing-masing pribadi dipacu untuk menghadirkan jati diri sebagai insan mulia yang dicontohkan para nabi. Manusia mungkin saja bisa lolos dari jerat hukum di dunia, tapi jangan lupa masih ada pengadilan Tuhan. Salam Pembebasan.

Comments