Pesan Terakhir Seorang Ibu


Dalam hitungan hari lagi, umat Islam se-dunia akan menyabut bulan Ramadan. Bulan penuh berkah dan ampunan dengan berlipat ganda pahala selama beribadah di bulan suci ini. Marhaban ya Ramadan. Dari lubuk hati yang paling dalam saya haturkan beribu maaf atas dosa dan kekhilafan. Amin.

Namun, dalam puasa kali ini bagi saya sendiri pastinya ada sesuatu yang berbeda. Ada yang kurang, ya tanpa kehadiran seyum bunda tercinta. Tidak bisa lagi mencicipi masakan enak buatan ibu saat berbuka mapun sahur. Ibunda telah dipanggil oleh Allah SWT, pada akhir Juli lalu. Saya sekeluarga sangat kehilangan atas sosok ibu yang luar biasa ini. Bagaimana tidak, ibulah yang membesarkan kami sembilan bersaudara penuh dengan kasih sayang dan motivasi agar hidup penuh makna.

Sebelum wafat, beliau sempat sakit koflikasi yang cukup lama. Dalam ujian sakit berat ini, dijalani dengan penuh kesabaran dan keiklasan hingga akhir khayatnya. Saya sendiri yang tinggal tak begitu jauh sangat menyesal karena tidak sempat menemami saat-saat kritisnya. Tiga hari menjelang wafatnya, saya sempat berkomunikasi via telepon. Ibu menanyakan kabar saya, istri juga tak lupa cucunya yang saat ini sudah fasih sebut nenek-kakek dari bibir mungilnya.

Beliau juga menanyakan kapan saya pulang ke Garut, karena karena ingin cepat-cepat ketemu, apalahi penasaran ingin melihat cucunya yang sudah bisa berjalan dan lagi lucu-lucunya belajar ngomong. “Geura balik, mamah hayang papanggih (cepat pulang ibu ingin ketemu)” ucap beliau dari ujung telepon kala itu. Jawab saya, “Enya mah, ke awal bulan sateuacan puasa pulang (Iya, awal bulan sebelum puasa pulang).” “Kalilaan atuh, mun bisa mah ayena-ayena wae tong ditunda-tunda da jang balik mah moal meaken ongkos gaji (Ah kelamaan, kalau bisa secepatnya sekarang aja, jangan ditunda-tunda lagian buat pulang tidak akan menghabiskan uang satu kali gaji,” sambung beliau dengan sedikit nada kecewa. Saya bilang lagi, “Iya, iya, iya.”

Sayang, keinginan beliau tak sempat saya penuhi gara-gara kesibukan kerja di Jakarta. Percakapan tadi untuk terakhir kalinya saya mendengar suara ibu. Mungkin beliau sudah punya firasat tidak akan lama lagi tinggal di dunia yang fana ini. Sayangnya, saya sendiri tidak peka dengan isyarat itu sehingga kini hanya tersisa penyesalan yang tiada arti. Apagunanya menyelas, toh semuanya sudah terjadi. Sebagai anak, saya egois hanya memikirkan pekerjaan dan pekerjaan tanpa empati dengan kondisi orangtua. Ibu, maafkan anakmu yang durhaka ini. Ampunilah hambamu yang berdosa ini, ya Allah. Mudah-mudahan Allah SWT menerima amal-ibadah beliau dan diampuni dari segala dosa serta kehilapan selama hidupnya, amien.

Setengah sebelas Minggu malam, saya menerima kabar duk tersebut. Kala itu, saya kebetulan sedang piket malam di kantor. Di tengah persaan yang berkecamuk, bersama beberapa saudara meluncur pulang. Setiba di rumah, di hadapan terbujur kaku, sosok yang selama ini membesarkan dan membimbing agar saya tetap hidup sederhana, jujur, dan rela berbagi.

Di hadapannya, saya hanya memandangi wajah beliau yang tampak putih bersinar dan sedikit tersenyum. Tanpa terasa, saya menciumi dan mengelus mukanya yang seakan memancarkan kedamaian. Saat itu adalah puncak kesedihan dalam hidup saya. Saking sedihnya, tak ada setetes pun air mata yang keluar. Air mata ini mendadak kering kerontang seperti habis dilanda musim kemarau lima tahun. Hanya gemuruh dalam hati yang berkecamuk, antara rasa bersalah, penyesalan, dan kesedihan.

Saya teringat pesan beliau ketika sebelum wafat. Keinginannya hanya satu kepada semua anak-anaknya, setelah meninggal nanti, beliau hanya minta dikirimi doa selepas salat. Tak ada yang lain, hanya doa dari anak-anaknya. Cukup doa saja.

Cerita ini saya tulis bukan semata-mata ingin mengobral kesedihan dan penyelasan. Tapi sedidaknya menjadi bahan introspeksi dan renungan bersama menjelang bulan Ramadhan. Orangtua, terurama ibu adalah orang yang paling berjasa. Ibulah yang telah mengandung kita selama sembilan bulan, melahirkan, membesarkan, mendidik kita hingga sebesar ini. Kasih-sayang dan pengorbanannya tidak mungkin terbalas.

Namun terkadang setelah kita besar, sukses dan hidup mandiri lupa akan pengorbanan dan jasa-jasa mereka. Orangtua menjadi urusan ke sekian karena kita lebih mengutamakan istri, anak, atau pekerjaan kantor. Padahal, orangtua apalagi ibu tidak akan berpikir dua kali, mempertaruhkan segalanya demi kebaikan anaknya. Tapi sang anak, tak jarang mikir dua kali sekadar memenuhi keinginan orangtua yang tak seberapa. Diminta pulang karena orangtua ingin ketemu, kita kerap mengabaikanya dengan berbagai alasan.

Baru setelah orangtua sudah tiada, kita merasa sangat kehilangan dan merasa bersalah. Tapi jarum jam kehidupan tidak bisa diputar balik, kematian adalah hak mutlak bagi setiap insan yang waktunya telah ditentukan oleh Allah SWT. Jadi perlakukanlah sebaik-baiknya orangtua kita selagi masih hidup. Penuhilah hak-haknya selagi kita bisa menunaikannya, dan jangan ditunda-tunda lagi. Bahagiakanlah mereka selagi masih hidup. Karena akan percuma saja kita memberikan apapun ketika mereka sudah tiada. Mintalah selalu doanya untuk kebaikan hidup kita. Dan jangan lupa, selalu doakan mereka siang dan malam sebagai ganti kelalai kita dalam memenuhi hak-haknya semasa hidup keduanya.

Dalam HR Thabrani disebutkan ada empat perkara yang mengalir pahalanya setelah pelakunya meninggal dunia, yaitu, orang yang meninggal ketika menjaga sempadan negara Islam dalam perjuangan di jalan Allah (murabith), orang yang mengajarkan ilmunya, senantiasa mengalir pahala baginya, orang yang memberikan sedekah akan mengalir pahala sedekahnya di mana saja sedekah itu berada dan orang yang meninggalkan anak yang soleh dan anak tersebut selalu berdoa untuk kebahagiaannya.

Comments