1. Arti dari istilah Sunda
a. Arti “Sunda” dalam Bahasa Sansakerta
Menurut Bahasa Sansekerta yang merupakan induk bahasa-bahasa Austronesia, terdapat 6 (enam) arti kata Sunda, yaitu sebagai berikut:
· Sunda dari akar kata “Sund” artinya bercahaya, terang benderang;
· Sunda adalah nama lain dari Dewa Wisnu sebagai pemelihara alam;
· Sunda adalah nama Daitya, yaitu satria bertenaga besar dalam cerita Ni Sunda dan Upa Sunda;
· Sunda adalah satria wanara yang terampil dalam kisah Ramayana;
· Sunda dari kata cuddha artinya yang bermakna putih bersih;
· Sunda adalah nama gunung dahulu di sebelah utara kota Bandung sekarang (Prof.Berg, juga R.P Koesoemadinata, 1959).
b. Arti “Sunda” dalam Bahasa Kawi
Dalam Bahasa Kawi terdapat 4 (empat) makna kata “Sunda”, yaitu:
· Sunda berarti “air”, daerah yang banyak air;
· Sunda berarti “tumpukan” bermakna subur;
· Sunda berarti “pangkat” bermakna berkualitas;
· Sunda berarti ”waspada” bermakna hati-hati.
c. Dalam Bahasa Jawa:
Dalam Bahasa Jawa arti kata “Sunda” adalah sebagai berikut:
· Sunda berarti “tersusun “ maknanya tertib;
· Sunda berarti “bersatu” ( dua menjadi satu) maknanya hidup rukun;
· Sunda berarti “angka dua” (cangdrasangkala), bermakna seimbang;
· Sunda, dari kata “unda” atau “naik”, bermakna kualitas hidupnya selalu naik;
· Sunda berasal dari kata “unda” yang berarti terbang, melambung, maknanya disini adalah semakin berkualitas.
d. Arti kata “Sunda” dalam Bahasa Sunda
Orang Sunda juga memiliki beberapa arti tentang kata “Sunda” itu sendiri, yaitu:
· Sunda, dari kata “saunda”, berarti lumbung, bermakna subur makmur;
· Sunda, dari kata “sonda”, berarti bagus;
· Sunda, dari kata “sonda”, berarti unggul;
· Sunda, dari kata “sonda”, berarti senang;
· Sunda, dari kata “sonda” berarti bahagia;
· Sunda, dari kata “sonda”, berarti sesuai dengan keinginan hati;
· Sunda, dari kata “sundara”, berarti lelaki yang tampan;
· Sunda, dari kata “sundari”, berarti wanita yang cantik;
· Sunda, dari kata “sundara” nama Dewa Kamajaya: penuh rasa cinta kasih;
· Sunda berarti indah.
2. Purnawarman dan Istilah Sunda
Maharaja Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang ketiga (395-434 M). Ia membangun ibukota kerajaan baru pada tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai. Dinamainya kota itu Sundapura, pertama kalinya nama “Sunda” digunakan. Pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
Kalau kita pahami dan mencerna lebih mendalam tentang arti-arti kata “Sunda” yangdiberikan oleh Purnawarman di atas nampaknya kita tidak menemukan sebuah arti jelek atau kurang baik. Selama ini banyak orang yang mengatakan apa arti sebuah nama?, namun ada juga orang yang mengatakan bahwa nama merupakan sebuah do’a. terlepas dari semuanya itu, yang pasti manusia secara mendasar tidak menginginkan sesuatu itu jelek atau buruk, mereka selalu mengharapkan kebaikan, keindahan atau kesempurnaan. Maka untuk itu Purnawarman yang memberikan nama istilah “Sunda”, tentunya menghendaki adanya kebaikan terhadap apa yang diberinya nama.
3. Hubungan nama dan pandangan hidupnya.
Tujuan dan harapan dari kata “Sunda” tetunya mengharapkan kebaikan dalam berbagai aspek di masyarakat. Hanya sebuah nama tentunya tidak akan berarti apabila tidak diiringi dengan pandangan hidup masyarakatnya yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mendukung dari nama yang baik itu tentunya masyarakat harus menciptakan norma-norma kemasyarakatan, agar tujuan dari pemberian nama tersebut dapat berhasil.
Norma-norma tersebut merupakan salah satu aspek dari pandangan hidup yang sudah barang tentu dimiliki oleh setiap kelompok masyarakat bahkan semua bangsa di muka bumi ini. Masalah pandangan hidup suatu bangsa merupakan persoalan yang sangat asasi bagi kekokohan dan kelestarian suatu bangsa. Karena, dalam pandangan hidup ini terkandung konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan oleh sesuatu bangsa, terkandung pikiran-pikiran terdalam dan gagasan suatu bangsa mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Pandangan hidup suatu bangsa merupakan suatu kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa itu sendiri, yang diyakini kebenarannya dan menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkannya.
Masyarakat Sunda sebagai kelompok masyarakat budaya yang sudah tua dan mampu bertahan hingga kini kiranya memiliki pandangan hidupnya sendiri dan dapat hidup dalam kemandiriannya di tengah-tengah masyarakat dan budaya lainnya. Pandangan hidup itu mencakup unsur-unsur tentang manusia sebagai pribadi, hubungan manusia dengan lingkungan masyarakatnya, hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan Tuhan, dan tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasaan batiniah.
Munculnya pandangan hidup ini tentunya sebuah harapan agar terciptanya sebuah kesinambungan antara nama dengan tingkah laku masyarakatnya. Nama sunda yang sudah baik, tidak akan terlaksana baik apa bila masyarakatnya tidak memiliki pandangan hidup yang baik, padangan hidup ini harus menjadi sebuah norma sehingga masyarakatnya benar-benar mentaatinya dan tujuan akhirnya adalah tercipta kebaikan dalam masyarakatnya seperti apa yang tersirat dalam arti nama sunda.
4. Bagimana pandangan hidup orang Sunda mengatur hubungan antara manusia dengan sesama manusia, agar tujuan dari arti nama “Sunda” itu dapat tercapai?
1) Kawas gula jeung peueut
“seperti gula dengan nira yang matang”
artinya : hidup rukun sayang menyayangi, tidak pernah berselisih.
2) Ulah kawas seuneu jeung injuk
“jangan sepert api dengan ijuk”
Artinya: jangan mudah berselisih.agar pandai mengendalikan napsu-napsu negatif yang merusak hubungan dengan orang lain.
3) Ulah nyieun pucuk ti girang
“jangan merusak tunas dari hulu”
Artinya: jangan mencari bibit permusuhan
4) Ulah neundeun piheuleut ulah nunda picela
“jangan menyimpan jarak jangan menyimpan cela”
Artinya: jangan mengajak orang lain untuk melakukan kejelekan dan permusuhan.
5) Bisi aya ti geusan mandi
“kalau-kalau ada dari tempat mandi”
Artinya: segala sesuatu harus dipertimbangkan agar pihak lain tidak tersinggung.
6) Henteu asa jeung jiga
“tidak merasa sangsi dan ragu”
Artinya: sudah merasa seperti saudara, bersahabat
7) Yén ana perkara ajang dhéng buka (Jawa-Cirebon)
“jika ada perkara jangan dibuka”
Artinya: jika kita mengetahui sesuatu kejelekan orang lain, hal itu Janganlah disebarluaskan.
Kita melakukan suatu kebajikan ataupun kebaikan terhadap orang lain atau seseorang harus merupakan kesadaran dari diri kita sendiri, jangan sekedar terbawa bawa saja, seperti tampak dalam contoh berikut ini:
8) Ulah rubuh-rubuh gedang
“jangan rebah seperti papaya”
Artinya: janganlah mengerjakan pekerjaan tanpa mengetahui apa maksud dan tujuannya, hanya karena orang lain melakukannya.
Penampilan tingkah laku orang Sunda dalam pergaulan hendaknya saling mencintai, saling menghargai, sopan-santun, saling setia dan jujur disertai kerelaan, sesuai ‘folkways’ yang mencakup aturan hidup/kehidupan sosial, sopan-santun, dan kesusilaan. Sebagaimana tampak dalam ungkapan berikut ini:
9) Ngadeudeul ku congo rambut
“memberi bantuan dengan ujung rambut”
Artinya: memberi sumbangan atau bantuan kecil, tetapi disertai kerelaan atau dengan ikhlas hati.
10) Pondok jodo panjang baraya
“pendek jodoh panjang persaudaraan”
Artinya: meskipun sebagai suami istri sudah berpisah, hendaknya persaudaraan tetap dilanjutkan/dipertahankan.
(ditambah ungkapan nomor 2)
Masyarakat Sunda sering menghindari hal-hal perselisihan, menghindari menghasut dan melibatkan orang lain ke dalam perselisihan, sebagaimana tampak dalam ungkapan Nomor 2,3, dan Selain itu, ada juga ungkapan sebagaimana berikut ini.
11) Ulah marebutkeun balung tanpa eusi
“jangan memperebutkan tulang tanpa isi”
Artinya: jangan memperebutkan perkara yang tidak ada gunanya’
12)Ulah ngadu-ngadu raja wisuna
“jangan membangkitkan amarah”
Artinya: jangan membangkitkan bibit kemarahan antara dua orang agar pecah persahabatannya/berpisah bersahabat.
Hidup rukun dan damai akan tercapai apabila dalam kehidupan bermasyarakat kita saling sayang-menyayangi, saling hormat-menghormati, dan tidak memancing keresahan dan kemarahan orang lain, seperti tampak pada ungkapan nomor 3 dan 7 di samping ungkapan berikut ini:
13) Ulah ngaliarkeun taleus ateul
“jangan menyebarkan talas gatal”
Artinya: jangan menyebarkan perkara yang dapat menimbulkan keburukan/keresahan.
Selain itu, di dalam proses interaksi sosial antara individu yang satu dengan individu lainnya, dalam masyarakat Sunda tidak boleh menyinggung perasaan orang lain yang akan mengakibatkan perpecahan di antara anggota masyarakat itu sendiri. Seperti terungkap dalam data nomor 5 dan ungkapan berikut ini:
14) Ulah nyolok mata buncelik
“jangan mencolok mata yang melotot”
Artinya: jangan berbuat sesuatu di hadapan orang lain, dengan maksud mempermalukan orang lain.
15) Ulah biwir nyiru rombengeun
“bibir jangan seperti niru yang rusak dan sobek-sobek”
Artinya: janganlah membicarakan sesuatu yang tidak pantas
terdengar oleh orang lain, senantiasa mengendalikan diri dalam bertutur kata.
Sesuai dengan sosial solidaritas, bahwa dalam berkehidupan bermasyarakat kita tidak boleh mementingkan diri sendiri tetapi harus mendahulukan kepentingan masyarakat dan keputusan pribadi yang tidak menguntungkan, sesuai dengan sikap yang dikehendaki oleh masyarakat Sunda yang tidak boleh mementingkan diri sendiri, sebagaimana tampak dalam ungkapan berikut ini:
16) Buruk-buruk papan jati
“betapa pun lapuknya kayu jati itu kuat”
Artinya: betapapun besar kesalahan saudara atau sahabat, mereka tetap saudara kita, orang tua tentu dapat mengampuninya.
17) Kaciwit daging kabawa tulang
“tercubit kulit dagingpun terbawa”
Artinya: ikut tercemar karena perbuatan salah seorang sanak keluarga
18)Ulah mapay ka puhu leungeun
“jangan menyusur ke pangkal lengan”
Artinya: janganlah kesalahan anak membawa buruk kepada orang tuanya.
Manusia di muka bumi ini sesuai dengan ajaran agama diwajibkan saling hormat-menghormati, dan saling harga menghargai dengan sesama manusia, sesuai pula dengan sila Pancasila. Dalam masyarakat Sunda pun hal itu tercermin pada ungkapan berikut ini:
19) Wong asih ora kurang pangalé, wong sengit ora kurang panyacad
“orang pengasih tidak kurang pujian, orang yang jelek (pemarah) tidak kekurangan celaan”
Artinya: orang yang pengasih kepada yang lain akan disenangi, dan orang yang bengis akan dibenci.
20) Ana deleng dén deleng, anu rungu dén rungu
“ada penglihatan dilihat, ada pendengaran didengar”
Artinya: jika ada sesuatu lihatlah atau dengarlah dengan patuh, tetapi janganlah dilihat atau didengar dengan tujuan jelek.
Data ungkapan yang telah disajikan, yang merupakan pencerminan dari adanya hubungan antara manusia dengan sesama manusia dalam masyarakatnya sesuai dengan pandangan hidup orang Sunda, juga dengan folkwas, solidarity social, juga tentang fungsi keluarga dan tatasosial dalam masyarakat Sunda.
5. Bagimana pandangan hidup orang Sunda mengatur hubungan anatara manusia dengan Negara dan bangsa?
Hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya, menurut pandangan hidup orang Sunda, hendaknya didasari oleh sikap yang menjungjung tinggi hukum, membela negara, dan menyuarakan hati nurani rakyat. Pada dasarnya tujuan hukum yang berupa hasrat untuk mengembalikan rasa keadilan, yang bersifat menjaga
1. Kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mupakat ka balaréa.
“‘harus mengarah kepada hukum, mengarah ke kaki negara, bermupakat kepada orang banyak”
Artinya: harus menjungjung tinggi hukum, berpijak kepada ketentuan negara, dan bermupakat kepada kehendak rakyat.
Masyarakat Sunda memetingkan kerja sama dalam kekeluargaan demi kelangsungan dan kesejahteraan hidup masyarakatnya, sebagaimana tampak dalam ungkapan nomor 8 dan ungkapan berikut ini:
2. Bengkung ngariung bongkok ngaronyok
“melingkar/lengkung dalam berkumpul bungkuk dalam berhimpun”
Artinya: bersama-sama dalam suka dan duka.
Dalam hidup bermasyarakat, di dalam masyarakat Sunda kita dituntut agar dapat mengerjakan sesuatu itu lebih mementingkan masyarakat, bangsa, dan negara, sebagaimana tercermin dalam ungkapan berikut ini:
3. Kudu inget ka bali geusan ngajadi
“harus ingat kepada tempat kejadian”
Artinya: harus selalu ingat ke tempat dilahirkan/kelahira
4. Lain palid ku cikiih, lain datang ku cileuncang
“bukan hanyut karena air kencing, bukan datang karena air hujan”
Artinya: bukan hadir tanpa tujuan
5. Dén hormat maring pusaka, leluhur, wong atua karo, guru, lan ratu.
“harus hormat terhadap pusaka, leluhur, kedua orang tua, guru, dan raja”
Artinya: pusaka leluhur, kedua orang tua, guru, dan raja harus dihormati.
Masalah yang tidak kurang pentingnya dalam kehidupan masyarakat Sunda ialah bahwa kita harus menjungjung tinggi keadilan dan kebenaran. Seperti tercermin dalam ungkapan berikut ini:
6. Nyuhunkeun bobot pangayon timbang taraju
“memohon pertimbangan”
Artinya: memohon pertimbangan dan kebijaksanaan yang seadil-adilnya, memohon ampun.
7. Yén ana angin bolang-baling, aja gandulan wit ing kiara, tapi gandulana suket sadagori.
“ jika ada angin ribut, jangan berpegang pada kiara, tetapi peganglah tumbuhan sadagori”
Artinya: jika terjadi huru-hara, janganlah berpegang pada yang besar atau berkuasa, tetapi berpeganglah kepada sesuatu yang sering dianggap kecil, yakni kebenaran.
8. Sakunang ananing geni, sadom ananing baraya
“walaupun sebesar kunang-kunang adalah api, walaupun seujung jarum adalah senjata”
Artinya: sekecil apapun milik negara itu harus tetap dipertanggungjawabkan.
Dari hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya, kita dituntut agar taat dan patuh terhadap norma-norma dan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh agama atau pemerintah. Mengenai norma dan aturan dalam masyarakat Sunda dapat dilihat dalam ungkapan nomor 27 dan ungkapan berikut ini.
9.Aja nolak kandika pandita ratu
“jangan menolak perintah pendeta/raja”
Artinya: turutilah segala perintah/keputusan atau aturan ulama dan pemerintah.
Ungkapan pandangan hidup yang ada di atas jelas melambangan sebuah harapan agar masyarakat Sunda menjadi manusia yang baik secara individu maupun secara kelompok. Paribahasa atau ungkapan yang diuraikan diatas merupakan sebuah bentuk terjemahan dari arti “Sunda”. Namun yang jadi masalah sekarang adalah apakah arti nama dan pandangan hidup itu sudah dilaksanakan oleh masyarakat Sunda?
Pertanyan Besar ini tidak perlu di jawab disini, semua orang bisa menilai diri pribadi masing-masing. Kalaupun arti nama dan pribahasa itu belum di jalankan bukan salah orang-orang pendahulu memberikan nama, tetapi lebih kepada individu masing-masing.
Sumber:Sanghyang Mughni Pancaniti
Abdi sanes urang sunda, tapi ayeuna tiasa nyarios sunda. Naha ari sunda ayeuna teu aya nu tiasa deui nyarios sunda?
ReplyDelete