JARUM jam di dinding tepat menunjukkan pukul 09.30 WIB. Setelah duduk di “kursi panas”, komputer dinyalakan dan aktivitas rutin pun dimulai. “Jakarta kembali ke fitrahnya, macet”.
Begitulah status di yahoo mesenger ditulis seorang kawan dengan nama bulzo_blackscorpio yang saban hari mengitari wilayah Jakarta untuk tugas liputan, muncul di layar komputer.
Ungkapan menggelitik ini menyiratkan suasana hati akan kondisi Jakarta. Tidak ada seorang pun yang bergelut dengan hiruk-pikuk kota yang dulu bernama Batavia ini tak mencicipi macetnya ibu kota negara Indonesia. Jakarta, tiada hari tanpa macet, bukan omongan belaka tapi fakta. Jakarta identik dengan macet. Kemacetan sudah menjadi bagian dari kehidupan kota yang paling diminati warga seantero nusantara.
Mungkin hanya tengah malam jelang si ayam jago berkokok atau saat hari libur nasional, ruas-ruas jalan di Jakarta terbebas dari antrean kendaraan yang mengular panjang. Sehingga, warga bisa leluasa bermain bola sekalipun di tengah jalan atau sekadar bersepeda ria. Jakarta sungguh lengang.
Memang kemacetan di Jakarta kian menggila, terutama pada saat orang berangkat kerja atau anak-anak pergi ke sekolah.
Ketika jam pulang kantor, kemacetan kembali merangkak. Ya, sama-sama pergi dan pulang, akhirnya berjamaah menikmati bermacet-macetan di jalanan plus menghisap udara kotor akibat polusi gas buang kendaraan yang sudah diambang mengkhawatirkan. Kalau hujan? Jakarta benar-benar dibuat lumpuh. Tapi sekarang tidak ada hujan, tak ada angin, mesti anak sekolah libur, macet menyebar di mana-mana.
Sekadar ilustrasi, penulis yang sesekali mengendarai sepeda motor dan memerlukan waktu hingga tiga jam untuk sampai ke kantor di bilangan Kebon Sirih dari arah Depok yang diperkirakan berjarak 30 Km.
Baru keluar dari Depok, kemacetan sudah membekap di kawasan Lenteng Agung, Pasar Minggu hingga masuk Pancoran. Apalagi kalau naik angkutan umum, dipastikan waktu tempuh kian panjang.
Namun saat pulang sekira pukul 00.00 WIB, perjalanan tersebut kurang dari 45 menit. Sementara rekan kerja yang tinggal di Ciledug, Tangerang untuk sampai ke rumah membutuhkan waktu 60 menit (1 jam). Itupun naik motor dan “mencuri” jalan dengan mengambil jalur yang berlawanan arah. Jika menelusuri jalur protokol waktu tempuhnya paling cepat 1,5 jam.
Yah, daripada setiap hari harus berjibaku dengan kemacetan, KRL Jabodetabek menjadi alternatif. Waktu tempuh lebih cepat dan bebas macet. Tapi tunggu dulu. Lagi-lagi, gangguan sinyal yang sepertinya menjadi langganan tetap saja membuat telat sampai kantor.
Belum dengan sesaknya penumpang di dalam KRL, meski bertuliskan expres AC, aspek kenyamanan masih jauh dari harapan. Kondisi luar biasa dengan KRL kelas ekonomi yang favorinya kalangan pekerja bawah, bejubel sampai meluber ke kiri-kanan hingga atap kereta ibarat lontong dikerubuti semut.
Bagaimana dengan jalan tol? Nasibnya pun nyaris sama. Jalan yang katanya bebas hambatan ini tak luput dari penumpukan kendaraan. Bisa Anda bayangkan. Sudah bayar mahal, macet pula. Inilah Jakarta.
Sebenarnya apa penyebab kemacetan di Jakarta? Kok masalah macet ini tak pernah kunjung teratasi. Banyak diskusi dan penelitian digelar untuk menemukan solusinya. Sejumlah proyek juga digagas Pemprov DKI, dari mulai busway, three in one yang kini diganti ERP, jalur khusus sepeda motor, penertiban parkir hingga wacana monorail, MRT dan waterway. Tetap belum membuahkan hasil, hanya kekecewaan padahal duit yang digelontorkan tak sedikit.
Saking akutnya kemacetan ini, Ketua Komisi Organisasi Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Ririn Sefsani, memperkirakan, pada 2011 kota Jakarta akan macet total!. Padahal, prediksi sebelumnya ruas jalan di Jakarta tak akan mampu menampung jumlah kendaraan pada 2014. Konsekuensinya, Jakarta akan menjadi kota yang tidak layak huni, dengan tingkat polusi yang sangat tinggi.
Lalu apa penyebab Jakarta macet setiap hari? Ketika pertanyaan ini dilontarkan, jawabannya pun akan beragam. Para ahli atau pakar bicara dengan pendekatan atau teori ilmiahnya. Kata mereka, macet disebabkan volume kendaraan yang tak sebanding dengan luas jalan atau dampak dari urbanisasi besar-besaran.
Beda dengan pandangan pengguna jalan. Pengguna kendaraan pribadi atau angkutan umum menuding pengguna sepeda motor yang meluber. Tapi dibanding bikers, malah pengguna mobil pribadi yang mewah dan ingin nyaman di jalan jadi biang kemacetan. Tuh, di tol juga macet, padahal tak ada sepeda motor.
Pemilik kendaraan pribadi justru menuduh sopir angkot, metromini, dan bus kota yang tak disiplin berlalu lintas karena sembarang menaikan dan menurunkan penumpang. Sopir angkot pun membela diri jalanan macet lantaran polisi tak mampu mengatur lalu lintas.
Berlainan dalih dilontarkan pihak pemerintah. Pejabat birokrat menyatakan selalu berupaya memecah kemelut kemacetan ini. Selain itu, perlu kajian mendalam dan koordinasi lintas instansi sampai uji coba berbagai proyek rintisan.
Melihat persoalan yang sedemikian kompleks dan rumit ini, apakah pemerintah DKI dan pusat harus tetap mencari satu solusi untuk memecahkan kemacetan ini? Atau biarkan kemacetan itu mencapai titik klimaks sehingga jadi alasan kuat untuk memindahkan Ibukota negara ke lokasi lain?
Comments
Post a Comment