Busyro Muqoddas akhirnya terpilih sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui mekanisme voting di Komisi III DPR, kemarin.
Busyro mengalahkan empat kandidat lainnya, yakni Haryono, M Jasin, Bibit S Rianto, dan Chandra M Hamzah. Busyro menang telak dengan mengantongi 43 suara, Bibit 10 suara dan Jasin 2 suara, sedangkan Haryono dan Chndra, nihil suara. Jika tak ada halangan, mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) ini akan memimpin KPK hingga Desember 2011, karena kesepakatan di Komisi III masa jabatannya dibatasi hanya satu tahun.
Saat dilangsungkan uji kelayakan dan kepatutan, Busyro Muqoddas menegaskan bila dia terpilih sebagai pimpinan KPK, maka persamaan di depan hukum (equity before the law) akan ditegakkan, tidak terkecuali kepada korupstor dari partai politik. "Equity before the law, antidiskriminasi, bukan hanya politisi, tapi juga pengusaha," katanya Muqoddas.
Tekad dari mantan Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu juga ingin membenahi sistem di KPK, membangun capacity building dan membangun komunikasi yang sinergis dengan lembaga lain seperti Kepolisian, Kejaksaan Agung, PPATK, dan lembaga lain.
"Perlu inovatif dan inisiatif untuk membuat KPK maksimal. Semakin besar tantangan maka semakin besar tantangan bagi yang masuk nanti, perlu perbaharui komitmen command value, semua jajaran. Mengusung ideologi gerakan perlawanan korupsi yang lebih fokus," beber dia.
Selain itu, Busyro juga berjanji akan membongkar jaringan mafia hukum yang melibatkan oknum di lingkungan Mahkamah Agung. Apa yang dijanjikan eks anggota Dewan Etik ICMI Yogyakarta ini adalah harapan dari segenap bangsa Indonesia yang sudah jengah akan ulah koruptor. Korupsi menjadikan rakyat melarat dan mental birokrat anjlok.
Tentunya janji-janji tersebut bukan perkara gampang, semudah membalikan telapak tangan. Tak mungkin langsung terasa pedasnya saat melahap sambal dengan masa jabatan yang satu tahun. Melihat problem korupsi yang ditangani KPK selama ini berdasarkan aktor dan kerugian keuangan negara, tentu saja belum mampu menjawab harapan masyarakat.
Artinya ke depan, KPK diuji tajinya untuk menuntaskan kasus korupsi yang melibatkan pentolan penegak hukum atau elit parpol sebagaimana dia janjikan. Ada PR besar dalam megaskandal Bank Century yang kini tak jelas juntrungannya.
Masyarakat pun masih menunggu kejelasan isu rekening gendut para pati Polri yang juga tidak menutupkemungkinan kasus sama terjadi di petinggi tentara. Atau tindakan tegas dari KPK terhadap mafia hukum yang melibatkan birokrat, politikus, dan pengusaha tidak hanya slogan. Di sini janji Busryo yang akan menegakkan equity before the law kembali diuji, dan bukan sebatas life service.
Di samping itu, Busyro dan pimpinan KPK lainnya dituntut mampu mengoptimalkan peran dan tugasnya di tengah ancaman pelemahan terhadap keberadaan lembaga antikorupsi tersebut. Kasus Bibit-Chandra meski sudah berakhir dengan opsi deponeering, masih berpeluang bagi pihak-pihak tertentu mengungkitnya.
Sebab itu, KPK dalam kepemimpinan pria kelahiran Yogyakarta, 17 Juli 1952 ini harus mendesain kembali metode penanganan korupsi di Indonesia agar erektif. Tidak dipungkiri eksistensi KPK sedikit banyak memagari penyelenggara negara tetap dalam relnya mewujudkan prinsip good governance yaitu transparan, akuntabel, fairness, dan responsif.
Salah satu kendala sulitnya membongkar praktik korupsi di pemerintahan lantaran tidak adanya pemetaan. Ini menjadi tantangan yang patut dilakukan pimpinan KPK untuk mampu memetakan potensi korupsi di lembaga-lembaga pemerintahan tersebut. Hal itu penting guna mengidentifikasi pengembalian uang negara dari kasus kakap.
Memang harapan Indonesia terbebas dari jerat korupsi tidak mungkin hanya tertumpu di tangan Busyro. Korupsi dapat diberantas jika ada kemauan dan komitmen semua pihak, terutama penyelenggara negara, penegak hukum, dan elit politik. “Tegakkan hukum setegak-tegaknya. Adil dan tegas tak pandang bulu. Pasti kuangkat engkau menjadi manusia setengah dewa. Masalah moral, masalah akhlak, biar kami cari sendiri. Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu. Peraturan yang sehat yang kami mau.”
Itulah sepenggal lagu yang sarat kritik sosial buah karya seniman fenomenal Iwan Fals. Makna dalam lagu itu masih relevan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini. Salah satunya menyangkut soal penegakan hukum yang masih carut-marut dengan isu sentral korupsi
Comments
Post a Comment