Nusantara dalam Rangkaian Teror Bencana


Melimpah, itulah kekayaan alam yang terkandung di wilayah Nusantara. Bangsa Indonesia seyogianya pandai bersykur dengan anugrah besar tersebut. Tapi harus diingat, Indonesia juga kaya akan bencana.

Guncangan gempa dahsyat disertai tsunami mengancam setiap waktu. Gunung berapi yang tersebar dari ujung tanah Sabang, Pulau Sumatra sampai daratan Meraoke di Papua, juga siap memuntahkan isi perutnya kapan saja.

Bicara soal gunung, Indonesia boleh disebut pemegang rekornya. Ada 400 gunung berapi dan 130 di antaranya termasuk gunung berapi aktif. Sebagian dari gunung berapi ini terletak di dasar laut. Tanah yang kita pijak ini merupakan tempat pertemuan dua rangkaian gunung berapi aktif (ring of fire), selain terdapat puluhan patahan aktif.

Rangkaian gunung berapi terletak di jalur tiga lempeng bumi yakni Eurasia, Pasifik, dan Hindia Australia. Sekadar gambaran pada 1883 saat Krakatau meletus, energinya 13.000 kali kekuatan bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki. Suaranya menggelegar, terdengar seperdelapan penduduk Bumi.

Bagaimana dengan Gunung Tambora yang meletus pada 1815? Letusan gunung ini tercatat dalam sejarah dunia terdahsyat. Panas dari letusannya mampu melubangi atmosfer dan mengubah iklim dunia. Dampaknya, tidak ada musim panas pada 1816 di Eropa dan Amerika Utara.

Bukti sejarah akan danau vulkanik terbesar di dunia juga ada di Indonesia yang kita kenal sekarang Danau Toba. Abu dari letusan Gunung Toba ini sampai menutupi angkasa India, Samudera Hindia, Teluk Bengala, dan Laut Cina Selatan. Bahkan terjebak di lapisan es Greenland, Kutub Utara.

Kenyatan berada di dalam aktivitas lempeng dunia ini membuat Indonesia menjadi negara rawan gempa dan tsunami, karena aktivitas tektoniknya yang terus aktif. Ternyata, selain di Kabupaten Kepulauan Mentawai yang baru-baru ini disapu gelombang tinggi, masih ada 175 daerah terdeteksi memiliki potensi tingkat kerawanan bencana tsunami tinggi.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Januari-September 2010, dari total 354 daerah yang rawan bencana, daerah berpotensi tsunami tingkat tinggi sebanyak 175, dan 179 daerah tingkat tsunami sedang. Bahkan BNPB mencatat sejak 1629 hingga 2010 ini atau dalam kurun 381 tahun, tsunami sudah terjadi sebanyak 171 kali di Indonesia.

Bagaimana dengan banjir? Jakarta, Ibu Kota Negara ini justru kian merana “dikunjungi” air bah. Diperkirakan, jika tidak ada penanganan serius dan terencana, Jakarta akan benar-benar tenggelam. Sementara di sejumlah daerah banjir dan tanah longsor seperti jamur di musim penghujan, sebagai dampak legal maupun ilegal logging.

Tak ayal, Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara rawan banjir. Urutan pertama dan kedua diduduki India dan China. Bencana banjir di Indonesia disebabkan beberapa faktor di antaranya kondisi curah hujan tinggi dan kondisi sebagian tanah tidak lagi mampu menyerap air dengan baik akibat proses perusakan hutan dan daerah aliran sungai. Data BNPB menunjukkan 84% kawasan Indonesia rawan bencana dan 80%-nya merupakan bencana ekologis.

Belum lagi ancaman bencana dari pencemaran lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam seperti barang tambang yang tidak ramah lingkungan karena mengabaikan analisis dampak lingkungan.Tsunami Mentawai dan letusan Merapi setidaknya memberikan gambaran nyata bencana memang lekat dengan kehidupan kita. Sedikit ke belakang, masih ingat dengan gempa Aceh 9,1 SR disusul tsunami yang menewaskan 230.000 orang di sejumlah negara.

Fenomena alam ini, dari generasi ke generasi telah merenggut banyak nyawa tak berdosa, selain kerugian materi. Banjir bandang di Wasior, Papua, juga mengingatkan kita semua bila alam akan bercerita lain jika terlalu banyak tangan-tangan manusia yang membuat kerusakan di muka bumi.

Lalu apa yang harus dilakukan ketika kita hidup di tengah-tengah teror bencana alam?

Tak ada polihan lain, kita harus siap hidup dengan banyak bencana. Tidak ada seorang atau teknologi modern yang mampu memprediksi datangnya bencana. Namun alam kerap memberikan tanda-tanda bagi manusia akan datangnya satu musibah. Bencana adalah kehendak Tuhan, tapi manusia yang berakal tentunya bisa menyikapi bencana ini dengan bijak.

Alam, selain memberikan manfaat bagi kelangsungan umat manusia juga memberikan pelajaran berharga. Salah satunya dengan peristiwa bencana. Manusia dengan kelebihan akalnya akan mampu menangkap tanda-tanda sebagai bentuk proteksi dan adaptasi dari perubahan alam. Kadang kesombongan manusialah yang memperburuk dampak dari siklus alami ini.

Para pendahulu atau nenek moyang kita berhasil membaca sinyal alam ini menjadi satu falsafah hidup dan melahirkan nilai-nilai kearifan lokal (local genius). Namun manusia moderan yang mendewakan teknologi banyak mengabaikan warisan luhur ini.

Akhirnya, bencana pun menggulung, meluluh-lantakan semuanya. Menyisakan jasad-jasad bergelimpangan, rumah-rumah hancur, dan tangisan pecah dari mereka yang kehilangan anggota keluarga tercinta. Itulah gambaran amukan Gunung Merapi saat ini. Dari aspek ilmu pengetahuan, setidaknya untuk mengurangi risiko bisa dilakukan dengan persiapan mitigasi bencana, struktural, pengelolaan organisasi, serta menjaga kawasan hulu sebagai daerah resapan air.

Bencana sebagai daur ulang kehidupan manusia dan alam semesta dengan periode tertentu dapat berubah menjadi bencana yang menelan korban nyawa yang amat banyak. Karena itu, bencana alam harus mendesak manusia lebih memahami the power of nature. Selain itu, pembangunan yang merata diharapkan bisa diwujudkan oleh pemerintah. Sebab, banyaknya korban jiwa bisa juga dipengaruhi oleh banyaknya penduduk yang tinggal di daerah rawan bencana. Seperti di Merapi, misalnya.

Sulastri, salah satu pengungsi Merapi menuturkan, siap kembali ke rumahnya jika dirasa kondisi Merapi sudah “bersahabat” lagi. “Ya mau tidak mau, karena saya tidak punya tempat tinggal selain di sana,” ucapnya. Karenanya, pemerintah harus mulai memikirkan pembangunan yang layak bagi warganya, khususnya bagi mereka yang berada di zone merah bencana.

Bencana seyogianya membuat manusia semakin sadar pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi, sikap ramah lingkungan, dan kepekaan sosial. Lepas dari itu semua, bencana bukanlah suatu kebetulan. Seperti kelahiran, kematian, rezeki dan jodoh, semuanya tercatat di lauhul mahfudz.

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauhul mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.23. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS al-Hadid: 22-23)

Comments