Hari ini 1 Januari 2011, hari pertama di tahun baru setelah tahun 2010 bergulir beberapa jam lalu dengan iringan pesta kembang api, konser musik, tiupan terompet, atau sekadar bakar jagung.
12 bulan telah kita lalui, banyak hikmah dan pelajaran dari satu tahun ke belakang. Sehingga, 2010 menjadi adalah tahun evaluasi, tahun pelajaran. Masuk 2011 menjadi tahun harapan di mana banyak hal yang harus dibenahi, diperbaiki, dan diselesaikan. 2011 menjadi tahun harapan karena ada tumpuan untuk lebih baik dari tahun sebelumnya.
Dari sekian banyak harapan itu, adalah bermula dari setumpuk pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Salah satunya menyangkut penengakan hukum yang hingga saat ini masih serampangan dan tebang-pilih. Maka tak heran, lemahnya supremasi hukum ini menyebabkan sepanjang tahun 2010 masih menjadi protret buram wajah hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.
Apa gerangan yang menjadi persoalannya? Selama 12 bulan ke belakang masih diwarnai dengan pembunuhan, pelanggaran hukum, tindakan kekerasan, atau penghilangan secara paksa, hingga penindasan atas nama hukum terhadap kaum lemah.
Kasus kekerasan, bahkan yang berujung pembunuhan terhadap awak pers masih tinggi. Banyak dilaporkan jurnalis yang dianianya gara-gara tulisannya yang kritis. Bahkan di antaranya berujung tragis, si wartawan ditemukan sudah tak bernyawa dalam kondisi sangat mengenaskan.
Selain kekerasan yang menimpa terhadap pekerja media, pelanggaran HAM pun menimpa warga sipil. Mirisnya, pelaku malah didominasi aparat penegak hukum. Hal ini terlihat dari laporan akhir tahun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), di mana Polri tercatat sebagai institusi yang paling banyak melakukan pelanggaran HAM di tahun ini.
Catatan pelanggaran HAM 2010 juga menyisakan kasus lama yang hingga kini masih berlangsung. Yakni, kekerasan terhadap anggota Jamaah Ahmadiyah yang masih terus berlangsung di sejumlah daerah.
Misalnya, terjadi di Manislor Kuningan, Cisalad Bogor, Lombok NTB dan penyerangan Masjid Ahmadiyah di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Kasus penyerangan jemaat HKBP Ciketing, Bekasi, juga menambah panjang lembaran kasus HAM bernuansa konflik agama.
Mengenai penuntasan kasus korupsi, lembaga penegak hukum yakni Polri, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi harus menyingsingkan lengan baju agar mampu membereskannya. Pasalnya, masih ada kasus Bank Century, dugaan rekening gendut para pati Polri, membongkar mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan, mafia peradilan dan praktik jaksa/hakim nakal.
Semua persoalan ini harus menjadi prioritas di tahun 2011. Masyarakat yang sudah geram dengan praktik korupsi masih mengharapkan lembaga penengak hukum menjalankan tugas dan fungsinya sesuai amanat undang-undang.
Khusus bagi Polri, dengan diberlakukannya kebijakan remunerasi diharapkan akan memotivasi lembaga Adhiyaksa ini melakukan reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan prima bagi masyarakat. Remunerasi harus menjadi penyemangat dan motivasi bagi anggota Polri untuk keluar dari tradisi suap atau "tukang peras," baik di jalanan maupun di kantor.
Pada akhirnya, untuk menciptakan keadilan dan kebenaran di bumi pertiwi ini harus dimulai dari abdi hukum itu sendiri. Tentunya, masyarakat dengan sendirinya akan mengikuti. Jangan paksa rakyat untuk taat hukum, sedangkan penengak hukumnya justru menginjak-injak kehormatan dan kepastian hukum. Jadikan hukum sebagai panglima agar Indonesia sejahtera dan terbebas dari belenggu korupsi yang menyengsarakan rakyat.
Comments
Post a Comment