Engkaulah Pelita dan Pahlawan dalam Hidupku

Namaku, Dini Melani. Seorang ibu rumah tangga yang sebelumnya berprofesi sebagai pengajar sebuah Sekolah Dasar Islam Terpadu di Kota Kembang. Aku memutuskan mejadi guru karena menyukai dunia anak-anak yang penuh keceriaan, kepolosan dalam keluguaannya bersikap, berbicara, dan bertindak. Namun di balik semua itu memang ada beban berat di pundak seorang pendidik karena menyangkut masa depan generasi penerus bangsa.

Sayang pekerjaan ini untuk sementara harus aku tinggalkan. Memang berat rasanya meninggalkan dunia sekolah yang selama ini lekat dengan keseharianku. Kehadiran si kecil, buah hati kami juga salah satu alasan berhenti mengajar, kemudian pindah dari Bandung mengikuti suami yang bekerja di Jakarta.

Tidak terasa kini usia pernikahan kami menginjak tahun ketiga. Anak kami yang semata wayang berumur dua tahun lebih. Sebelumnya, sedikit pun tak terpikirkan bakal memiliki pendamping hidup yang bisa dibilang sangat bertolak belakang. Dari sifat dan kepribadian, cara berpikir hingga profesi jauh berbeda. Tak heran ketika aku mengirimkan undangan pernikahan ke saudara, kerabat, sahabat dan, teman, semuanya bilang, “Kok bisa yah. Ketemunya di mana.” Apalagi orangtua sempat tidak yakin dengan pilihanku. Ada nada keraguan dari mereka atas pilihan yang sekali dalam hidupku ini. Tapi itulah jodoh, satu rahasia Tuhan. Misteri kebesaran Allah SWT yang menciptakan manusia ini berpasang-pasangan.

Alasan yang membuat semua orang heran adalah pekerjaan suami yang seorang jurnalis. Guru dan wartawan bersanding, itulah kami. Beda tapi sama. Samanya, sama-sama menyampaikan hal yang baik. Aku memberikan pelajaran kepada murid, sedangkan suami mengabarkan informasi kepada khalayak. Memang banyak perbedaan dalam diri kami, tapi itu bukanlah hambatan untuk merintis rumah tangga. Semua keluarga tentunya berharap bahagia, kami pun demikian. Tapi itu tidaklah mudah terwujud. Menyatukan karakter, kebiasaan, dan budaya yang berlainan bukan pekerjaan enteng, tapi tidak mustahil dari perbedaan itu lahir satu kekuatan harmoni.

Ibarat sebuah lukisan indah nan menawan yang tak lain hasil perpaduan beraneka warna. Dan hidup ini seperti lukisan itu, penuh warna-warni dan rasa. Ada suka-duka, ada senyum dan tangis. Ada kehangatan namun tak jarang berkecamuk pertengkaran. Suatu waktu raih sukses, tapi lain hari menjumpai kegagalan. Itulah yang kami alami dalam menjalani rumah tangga yang relatif muda ini, sehingga harus banyak belajar dan saling memahami satu sama lain.

Seiring roda kehidupan berputar, banyak hal yang sebelumnya aku tidak ketahui tentang sosok suami namun perlahan-lahan tersingkap. Suatu waktu menemukan kelebihan-kelebihan yang tidak terlihat selama massa perkenalan, sehingga membuatku kagum. Sebelum memutuskan menikah, kami berteman hampir empat tahun dan tidak melalui tahap pacaran. Kami saling menilai hanya dari hubungan pertemanan itu, atau sedikit cerita teman. Aku juga menemukan kejelekan yang selama ini mungkin ditutup-tutupi. Di sini suami-istri tentunya bukan memperlebar kelemahan dan mengungkit keburukan, namun saling mengisi dan memperbaiki kekurangan masing-masing.

Saat mengambil keputusan besar itu, aku sadar akan menentukan masa depan kelak seperti apa. Tapi aku yakin, Allah Maha Tahu siapa jodohku. Ternyata, suami memang sosok yang tepat untuk memenuhi semua kebutuhan baik lahir maupun batin. Aku bersyukur diberi suami yang bertanggung jawab, penyabar, jujur, pintar, disiplin, dan sederhana.

Jujur saja, ada kebanggaan bersuamikan seorang jurnalis. Karena profesi suami itulah, aku mendapatkan banyak cakrawala baru dan pelajaran hidup. Namun tak jarang muncul juga dalam hati keprihatin atas penilian sebagian masyarakat yang melihat sisi negatif para pekerja pers, tukang peras, bodrexlah, misalnya. Sudah menjadi rahasia umum, jika wartawan disegani karena tulisannya yang dapat berdampak luas. Bisa mempengaruhi opini publik, membawa angin perubahan, menyuarakan kebenaran, dan melawan ketidakadilan. Dalam beberapa kasus, tulisan wartawan dapat menaikan citra atau sebaliknya mengancam seseorang kehilangan kursi jabatan gara-gara pemberitaan buruk.

Alhamdulillah, sampai detik ini suamiku masih mampu memegang nilai-nilai kebaikan yang menjadi pedoman hidup. Aku belum mendengar atau melihat sesuatu yang fatal menyangkut suami akan profesinya. Aku paham betul risiko menjadi jurnalis. Terkadang muncul rasa cemas, khawatir saat suami bertugas di lapangan. Terlebih saat mendengar berita di televisi, radio, dan membaca koran ada wartawan yang dibunuh atau mendapat tindak kekerasan.

Ketakutan seorang istri akan kejadian buruk menimpa suami ketika meliput masalah sensitif, itulah yang aku rasakan selama ini. Oh iya, suatu waktu suami pernah cerita sempat dicari-cari preman gara-gara membuat berita soal penggusuran warga penggarap oleh pengembang, karena lahannya akan dijadikan pemukiman komersil. Atau ketika cerita soal tempat kerjanya yang diserbu massa setelah membongkar kecurangan dalam ajang Pilkada. Bahkan suami sempat kena pukul oleh massa yang mengamuk di kantor redaksinya kala itu. Itu hanya sebagian kecil kisah yang membuat jantung ini berdebar-debar.

Di tengah menjalankan rutinitas tugas beratnya untuk menafkahi anak dan istri, ternyata suami masih menyempatkan membantu tugas-tugas rumah tangga. Kadang, aku sendiri merasa malu sekaligus kasian melihat suami setiap hari mencuci pakaian. Tak cuma itu, suami juga memasak, membersihkan rumah, sampai menyuapi anak. Semua itu suami lakukan untuk meringankan bebanku sebagai istri yang tanpa pembantu. Cuma kalau memasak itu memang hobinya dari dulu. Kami tinggal di sebuah kontrakan. Selain satu anak perempuan kami, juga tinggal adik dari suami yang masih berkuliah. Maklum, suami adalah anak laki-laki pertama dari sembilan bersaudara di kampung, sehingga masih punya tanggungan untuk membantu biaya sekolah adik-adiknya. Terlebih, belum lama ini yang hanya berselang tiga bulan berturut-turut, kedua orangtuanya wafat. Sungguh berat ujian yang suamiku pikul.

Apa yang dilakukan suami sampai merambah urusan dapur tak terlepas dari kondisi anak kami yang harus mendapat perhatian ekstra. Karena anak pula, alasan dari suami minta aku tidak berkerja tapi fokus di rumah. Nyaris sejak lahir, anakku sakit-sakitan sehingga harus bolak-balik ke rumah sakit. Dari mulai alergi makanan akibat gangguan pencernaan, infeksi paru-paru bahkan dokter sempat mendiagnosa ada kelainan jantung. Yah, demi anak apapun kami lakukan agar si kecil baik-baik saja. Cobaan anak inilah yang membuat kami harus kuat menghadapinya, karena sampai saat ini belum yakin betul dengan kondisi kesehatannya. Sebab, perlu pemeriksaan lanjutan di rumah sakit yang peralatannya lebih canggih.

Aku sempat menitikan air mata saat memandangi wajah suami yang tertidur lelap karena kelelahan. Dalam sorot matanya pun tersirat satu pergolakan batin akan kerasnya perjuangan hidup. Sebab, selain dituntut dengan pekerjaan yang tidak ringan, masih di hadapkan dengan urusan keluarga yang tak kalah berat. Aku hanya bisa berdoa dan membesarkan hati suami, seberat apapun persoalan pasti ada jalan keluarnya. Sebagai insan yang beriman, Allah tidak akan memberikan cobaan melampaui batas kemampuan ciptaan-Nya. Aku bangga dianugrahi suami yang sayang dan tanggung jawab pada keluarga, kuat, dan berani dalam menjalani hidup. Aku sadar betul, suami belum bisa memberikan materi layaknya ibu-ibu yang kerap pamer kemewahan di arisan. Aku pun tidak menyesal ketika suami meminta keiklasanku, merelakan perhiasan dan cincin pernikahan kami dilego untuk membayar biaya kuliah adiknya. Aku tidak tega jika motor hasil kreditan satu-satunya milik suami yang harus dijual.

Dia pun berulang kali menyadarkanku, bersuamikan jurnalis jangan berharap bisa bergelimang harta-benda. Yah, cukuplah untuk bergaya sederhana dan bertahan dari beratnya beban hidup di kota besar. Aku pun baru tahu belakangan jika biaya dulu nikah tak lain dari jerih panyahnya, dapat rezeki dari memenangi beberapa lomba menulis dan membuat buku. Bahkan bisa ganti ponsel yang sedikit keren itupun hadiah lomba menulis. Kata suami, “Bisa sih kalau pengen bayak duit, ambil jalan pintas aja kayak si Gayus.” Sindiran itu sering berlanjut dengan ucapannya,” Mati pun kita tak akan bawa apa-apa.”

Karena itu, kami sadar untuk meraih kebahagiaan bukan semata-mata dengan uang. Kebahagian hadir karena ketenangan batin dan saling menyayangi. Semua itu hanya bisa dicapai dengan keimanan dan kepasrahan atas ketentuan Tuhan yang mengatur kehidupan di langit dan bumi, hingga akhirat nanti. Terima kasih suamiku, engkaulah pelita dan pahlawan dalam hidupku.

Comments