RUU DIY Larang Sultan Berpolitik Praktis


Persoalan memanasnya RUU DIY kental dengan nuansa politik. Keistimewaan Yogyakarta memiliki legitimasi kuat dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

Pada RUU DIY yang dipegang Kementerian Dalam Negeri dan masih dalam pembahasan final mengatur soal pemilihan gubernur yang menyiratkan harus sejalan dengan sistem demokrasi, yakni pemilihan langsung. Padahal, selama ini Raja Jogya otomatis menjadi Gubernur DIY. Penetapan Sultan sebagai kepala daerah juga telah diamanatkan oleh Presiden Soekarno melalui Piagam Kedudukan Sultan HB IX & Paku Alam VIII.

Dalam RUU DIY muncul istilah Parardhya yang tak lain adalah Sri Sultan Hamengku Buwono dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Adipati Paku Alam dari Kadipaten Pakualaman yang bertahta secara sah.

Parardhya merupakan satu-kesatuan lembaga yang berfungsi sebagai simbol, pelindung dan penjaga budaya, serta pengayom dan pemersatu Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Isi Pasal 11 Ayat 2 RUU DIY menyebutkan, Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri atas Parardhya, Pemerintah Daerah Provinsi, dan DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pada Pasal 13 diatur mengenai wewenang dan Pasal 17 memuat hak Parardhya. Sementara dalam pasal 18 diatur tentang kewajiban Parardhya. Larangan pun tak luput dari bidikan RUU DIY ini. Pasal 19, Parardhya dilarang menjadi pengurus dan anggota partai politik, melakukan kegiatan bisnis yang terkait dengan kewenangannya. Selain itu, tidak diperbolehkan membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, atau golongan tertentu.

Pertanyaan apakah pencamtuman Pasal 19 terkait keterlibatan Sultan Hamengku Buwono X selama ini di kancah politik nasional? Wallahualambishshawab. Semua mafhum, Sultan masuk dalam kepengurusan Partai Golkar, bahkan sempat mendeklarasikan sebagai calon presiden pada Pemilu 2004.

Digulirkannya suksesi kepemimpinan di "monarki" Yogyakarta dalam RUU DIY ini mungkin untuk mengangtisipasi pengganti pemegang tahta di Keraton Kasultanan dan Puro Pakualaman. Terlebih, Sultan Hamengku Buwono X memiliki anak kandung laki-laki. Dalam sistem keraton, masa jabatan Sultan adalah seumur hidupnya dan berlaku turun temurun.

Sebab itu, muncul Pasal 21 ayat 3 berbunyi, pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dilaksanakan sesuai dengan tata cara sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Mengingat, praktik selama ini pemegang tahta di Keraton Kasultanan dan Puro Pakualaman secara otomatis akan ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur yang tanpa melalui pemilihan dan tanpa batasan masa jabatan.

Mengenai adanya kepentingan politik dalam penyusunan RUU DIY ini, diakui anggota Komisi II bidang Pemerintahan Arif Wibowo. "Kalau yang dipersoalkan adalah mekanisme pemilihan gubernur justru ini kepentingan politik pragmatis,” katanya.

Sebab itu, posisi Sultan tidak bisa dilihat sebagai entitas terpisah dari Kraton Yogyakarta yang notabene juga memiliki kekuasaan penuh secara politis, budaya dan wilayah. Arif juga tak setuju dengan draf Kementerian Dalam Negeri yang menempatkan Sultan dan Paku Alam sebagai Pararadya.

Sementara itu politisi Golkar, Gandung Pardiman menilai masalah ini lebih kepada perseteruan personal yang dapat menjadikan rakyat sebagai korban. “Perseteruan tersebut terkait masalah kecil yang menjadi besar diantara gengsi masing-masing pribadi,” ujarnya.

Dalam rapat kabinet terbatas Jumat 26 November lalu, SBY menyatakan pemerintah akan mencari format keistimewaan Yogyakarta agar tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan nilai-nilai demokrasi. Menurut Presiden, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan nilai-nilai demokrasi di Indonesia. Menanggapi pernyataan itu, Sultan menyatakan akan mempertimbangkan kembali jabatannya selaku Gubernur Yogyakarta jika posisinya dianggap mengganggu proses penataan provinsi itu.

Sultan pun mempertanyakan maksud sistem monarki yang disampaikan Presiden. Sebab selama ini Pemerintah Provinsi DIY menggunakan sistem yang sama seperti pemerintah provinsi lain, yakni berdasarkan UUD 1945, undang-undang, dan peraturan lainnya. Sultan sendiri menilai pemerintah belum menunjukkan sikap jelas karena hingga saat ini RUUK Yogyakarta belum juga diserahkan pada Dewan Perwakilan Rakyat

Kalau memang kepentingan politik pemantik polemik yang dipandang pengamat politik Universitas Indonesia Ibramsjah sebagai hal yang lucu, maka Istana dan Kraton harus duduk bersama dan menyudahi polemik ini.

Pasalnya, masih banyak urusan bangsa yang lebih besar, seperti nasib TKI dan kasus Gayus, penjualan saham PT Krakatau Steel, serta penanganan bencana, ketimbang memperdebatkan RUU DIY.

Comments