Ambisi “Humanisme” sebuah Panduan Menghadapi Wartawan


SHEIKA
Lulusan Program Pascasarjana Studi Asia dengan spesialisasi Komunikasi Politik
PARIS, PERANCIS
Data buku
Judul buku: 69 Panduan Humanis
Menghadapi Wartawan
Pengarang: Devie Rahmawati
Penerbit: Lintas Batas
Tebal: xiv + 138 hal
Cetakan pertama: Januari 2011

Buku kecil ini punya gagasan yang besar. Sebagai sebuah panduan bagi para humas untuk menghadapi wartawan, buku ini mengangkat urgensi perlunya memanusiakan rekan-rekan wartawan dalam berhadapan dengan mereka.
Media massa dan wartawan memiliki arti yang penting bagi para staf public relation di bidang apapun, di belahan dunia manapun. Ambillah contoh dalam dunia politik, media massa memiliki kekuatan yang luar biasa dalam membentuk citra suatu lembaga atau tokoh politik. Marketing politik dengan sendirinya menjadi kegiatan yang identik dengan bagaimana menghadapi wartawan secara luwes.
Dalam buku 69 Panduan Humanis Menghadapi Wartawan, Devie Rahmawati, penulis buku ini dengan implisit namun tegas menyampaikan, fungsi yang penting itu tak seharusnya mereduksi keberadaan wartawan sebagai seorang manusia. Penulis berusaha untuk membagi pengalamannya menghadapi wartawan selama satu dekade, lewat paparan kasus-kasus (situasi-situasi persoalan) yang unik namun menyehari, dan panduan bagaimana menghadapinya dengan jernih.
Ketika kita memasuki halaman-halaman pertama, buku Devie Rahmawati langsung menyapa kita dengan sebuah ungkapan dengan font berukuran besar, “Mas, besok beritanya naik di halaman berapa?” Penulis lantas menjelaskan, ini adalah pertanyaan yang haram dan sangat dibenci oleh wartawan. Di halaman setelahnya, ada kartun yang memotret secara jenaka seorang wartawan yang jengkel ditanyai kapan beritanya dimuat oleh seorang humas.
Di halaman tiga buku ini, terpampang kembali sebuah tulisan besar “Kalau gak boleh ambil gambar, ngapain kita diundang?” Penulis kemudian menjelaskan, “a picture says a thousand words”. Wartawan, dijelaskan, akan merasa tidak nyaman dan kontraproduktif bila diharuskan menanggalkan alat perekam visualnya. Gambar merupakan aspek yang amat penting dalam setiap liputan media.
Lewat poin-poin pembabaran yang terang dan lugas, serta dikemas dengan nada yang penuh humor, penulis boleh dikatakan sedang membangun konsepsi wartawan yang utuh di benak pembacanya. Dalam poin “Dihubungi jam lima sore sudah tidak diangkat teleponnya” (halaman 78), kita diajak untuk peka terhadap sistem dan persepsi waktu seorang wartawan.
Seorang humas yang memegang tanggung jawab untuk berkorespondensi dengan wartawan perlu menyadari bahwa saat orang-orang pada lazimnya pulang kantor, wartawan justru memasuki jam-jam tersibuk mereka. Di halaman setelah ini, kita bahkan memasuki poin “Kok malah marah ditelpon jam 11 malam?” (halaman 79). Konsepsi waktu seorang wartawan memang berbeda dengan orang pada umumnya sampai sejauh itu. Singkat kata, penulis sedang merangkul pembacanya untuk memahami dunia dari balik mata seorang wartawan.
Cara komikal yang digunakan untuk mengartikulasikan pesan penulis, agaknya, pada satu sisi, bisa memperlemah buku ini. Gambaran-gambaran, narasi maupun kartun, yang terlalu konyol bisa saja mengaburkan apa yang hendak disampaikan penulis. Contohnya, di halaman tujuh, ada kartun di mana seorang wartawan memprotes humas “Apa?!! No photo? Lah terus buat apa ngundang kita?!” Sang humas lalu menjawab “Buat fotoin kita-kita dong, Mas!” Kartun tersebut memang jenaka, tetapi pada satu titik barangkali terlalu berlebihan. Kita pastinya tidak akan menjumpai realitas yang semacam itu.
Namun, saya mengakui, pada titik-titik tertentu gaya penuh canda buku ini menambah kelenturan pesan-pesan yang hendak disampaikan penulis. Maksudnya, ia membuat pengalaman-pengalaman yang dialami oleh seorang awak humas, suatu profesi yang khusus, bisa dengan mudah dipahami oleh pembaca luas. Pembaca awam bisa saja menangkap sepintas-sepintas pesan “memanusiakan wartawan” sambil mengulum senyum.
Hal terpenting yang diketengahkan 69 Panduan Humanis Menghadapi Wartawan, dan perlu saya tekankan agar mereka yang hendak membaca buku ini tidak hanya memperoleh tawa, adalah urgennya filosofi humanis dalam berhubungan dengan pekerja media massa. Bahkan kartun paling konyol dalam buku ini sekalipun nampak punya tujuan yang sama; mengilustrasikan bahwa kesalahan-kesalahan fatal humas pada dasarnya dikarenakan si pelaku mengabaikan perasaan wartawan.
Pada halaman 34-35, contohnya, wartawan terkadang dianggap oleh humas sebagai tukang sound system karena pakaian mereka yang seadanya. Padahal, para wartawan didorong untuk berpakaian seadanya oleh kebutuhan mereka untuk bergerak secara dinamis dari satu titik berita ke titik berita lainnya. Titik-titik paling menggelikan dalam hubungan di antara awak PR dengan para pekerja media merupakan imbas dari ruang hampa di antara keduanya, keacuhan satu terhadap yang lainnya, hubungan yang terlampau mekanistik dan fungsional.
Di belakang jabaran panduan menghadapi wartawan yang dicoba ditampilkan penulis dengan memikat, santai, gamblang, dan tajam, ada ambisi yang cukup besar untuk mengaplikasikan “humanisme” dalam meneroka pertalian di antara dua profesi yang akan selalu terikat erat ini. Saya sendiri menilai niat tersebut mungkin berhasil terwujud sekitar 60 persen. Ada beberapa kendala seperti kelucuan yang berlebihan yang menghalaunya mencapai nilai yang lebih baik. Selain itu, panduan ini agaknya baru mencakup sebagian dari berbagai kasus yang umumnya dialami humas.
Namun itu penilaian saya. Pembaca tentu dapat menilai sendiri.

INFO TAMBAHAN TENTANG BUKU DEVIE:

Kekalahan TIMNAS dari Malaysia tahun lalu telah melukai hati masyarakat Indonesia. Salah satu pihak yang dipersalahakan ialah media, yang dianggap telah melambungkan jiwa para pemain dengan sorotan yang massif juga telah mengganggu konsentrasi pemain melalui padatnya jadwal wawancara.

Ketika mencuatnya perseteruan perihal PENETAPAN ATAU PEMILIHAN bagi pemimpin daerah Yogyakarta, lagi-lagi Media menjadi kambing hitam dari konflik politik antara penguasa pusat dan daerah. Media dianggap pihak yang bertanggung jawab memecah belah komponen bangsa, dengan pemberitaannya yang dianggap mengadu domba.

Bahkan hingga upaya pemakzulan daya nalar dan kreatifitas anak bangsa pun dianggap menjadi tanggung jawab media. Karena banyaknya berita atau tayangan yang dianggap menyesatkan publik seperti berita kekerasan, skandal, dan berbagai hal negatif lainnya. Apakah benar media memang telah melakukan banyak “dosa” bagi negeri ini?

Di sisi lain media dihujani berbagai puja dan puji, karena dinilai sebagai pilar keempat Demokrasi. Hal ini karena Media tidak hanya sebagai sumber berita, tapi sekaligus merupakan pembawa dan penyambung suara rakyat. Media memiliki kemampuan sebagai daya penekan bagi tiga pilar demokrasi lainnya (legislative, yudikatif dan eksekutif).

Begitu besarnya tanggung jawab yang harus dipikul oleh media, namun tidak banyak pihak bahkan stakeholder dari media sendiri yaitu kalangan kehumasan yang kurang bersungguh-sungguh mau memahami bagaimana media melakukan kerja demokrasinya bagi bangsa.

Buku ini mencoba merangkum berbagai mimpi, harapan dan hasrat dari awak-awak media untuk terjalinnya sebuah relasi sosial yang harmonis dan humanis. Adagium yang mengatakan bahwa BAD NEWS IS ALWAYS A GOOD NEWS for MEDIA, penulis berharap hal tersebut tidak menjadi sebuah mitos yang terus mengkristal. Justru penulis mengamati bahwa tidak banyak pihak baik individu maupun organisasi yang mampu bekerja sama dengan MEDIA untuk menyampaikan BERITA YANG BAIK, UNTUK KEMUDIAN DISALURKAN MELALUI MEDIA KEPADA PUBLIK.

Berbagai fenomena persinggungan antara media dan publik dalam buku ini, telah terjadi ratusan mungkin hingga ribuan kali, yang akhirnya mendorong penulis untuk membaginya bagi publik, dengan harapan hal ini tidak akan terulang kembali, sehingga, harapan yang tinggi bagi media dapat diwujudkan dengan paripurna oleh profesi yang mulia ini.

Sebagai informasi, 20 September 2010 lalu muncul sebuah berita tentang penggajian di Inggris, dimana gaji dari 9000 pekerja publik berada di atas gaji Perdana Menteri Inggris (£142,500), dan wartawan BBC salah satu diantaranya.

Yang menarik dari berita tersebut ialah, bagaimana Barat mengapresiasi berbagai profesi termasuk profesi wartawan. Potret kehidupan wartawan di tanah air, masih jauh dari harapan. Dari pendidikan, rekrutmen hingga standar kehidupan wartawan masih menjadi pekerjaan rumah bagi Negara, industri media dan public secara umum.

Buku ini merupakan hasil destilasi dari berbagai pengalaman kerja jurnalis dengan sumber berita yang telah disarikan menjadi 69 aporisma hubungan humanis dengan jurnalis. Bila dianalogikan dengan otak, jurnalis merupakan sel saraf satu dan sel saraf lainnya ialah sumber berita. Dan 69 aporisma dalam buku ini seperti sinapsi atau penghubung atau chemistry antar sel. Bila sinapsis ini tidak berfungsi dengan baik, meski hal tersebut hanyalah benda yang sangat mikro, manusia tidak akan mampu menjalankan tugas kesehariannya dengan baik.

Oleh karena itu, 69 panduan ini, meskipun hal yang sangat dasar, namun bila hal ini diabaikan, harapan untuk membangun peradaban yang lebih baik di masa datang, hanya akan menjadi sebuah ilusi sejarah. Mari memanusiakan hubungan,mari memanusiakan wartawan.

Buku Kecil dan Jenaka, Suara Para Wartawan
Ainin Dita Z.

Buka halaman 34 buku 69 Panduan Humanis Menghadapi Wartawan ini. Anda akan menemukan potret seorang wartawan terbelalak, dicolek oleh seorang awak humas, disangka tukang sound system! Ah, komikal sekaligus menyakitkan.
Buka halaman 76, Anda akan menemukan wartawan yang kewalahan mengangkut dokumen setinggi separuh tubuhnya. “Ini siaran pers atau undang-undang?” ujar si wartawan. Sang jurnalis jelas akan kerepotan harus menyarikan rilis yang begitu panjang menjadi sepotong berita kecil, belum lagi deadline menanti beberapa jam lagi.
Hal-hal di atas adalah hal yang lazim menimpa seorang wartawan. Pengalaman yang payah, memang. Tetapi, adakah suatu kuliah yang menyiapkan para mahasiswa PR (Public Relation) menghindari kecerobohan-kecerobohan semacam ini dalam menghadapi media massa? Adakah sebuah panduan PR yang memberikan rambu-rambu berkendara dengan para wartawan? Jarang, agaknya. Terbenam di bawah teori-teori atau metode-metode buku teks komunikasi.
Nah, buku karangan Devie Rahmawati ini mencoba mengambil jalur yang berbeda dari buku-buku teks humas. Dibangun dari pengalaman empirik dan konkret menghadapi sekian ratus wartawan selama kurang lebih sepuluh tahun, buku ini menyajikan hal penting yang selama ini luput dari kurikulum PR: bagaimana menghadapi wartawan.
Kian menambah nilai lebih bagi buku ini, Devie mengajak kita untuk menghadapi wartawan lewat berempati kepada mereka. Dua kasus yang telah dikemukakan di paragraf-paragraf pertama memperlihatkan, penulis buku menyentil kecerobohan-kecerobohan yang amat rentan diperbuat PR dengan mengajak pembaca melihat dari sudut pandang wartawan. Dari perasaan para wartawan.
Contoh lain, pada halaman 79 Devie menerangkan, jangan marah bila dihubungi wartawan menjelang tengah malam—jangan naik darah lalu ngamuk-ngamuk seperti seorang PR yang diilustrasikan dalam kartun di halaman 80. Bayangkan hidup di balik meja redaksi media massa, menjelang dini hari justru merupakan waktu-waktu tersibuk mereka. Detik-detik dikejar garis kematian. Mereka bisa saja perlu mengkonfirmasi beberapa informasi kepada humas lembaga tempat mereka mendapatkan berita.
Buku ini tidak berpretensi untuk menjadi suatu pegangan yang teoritik, saklek, atau rujukan utama. Ia membabarkan panduan demi panduan secara lepas, jujur, bahkan jenaka dan menyindir secara cerdas. Kita akan dibuat tergelitik dengan berbagai gambaran “ada-ada saja” para humas. Contoh, di halaman 93, digambarkan bagaimana awak PR terobsesi memanggil CNN dan BBC untuk acara lokal. Di kartun digambarkan, acara tersebut adalah sunatan. Saya langsung terpingkal-pingkal ketika tiba di halaman tersebut.
Tiap panduan memang dibabarkan dengan singkat, tetapi memiliki pesan yang cukup panjang dan ampuh. Lewat kasus penggambaran awak humas memanggil CNN dan BBC untuk acaran sunatan, misalnya, Devie hendak meminta pembaca untuk memperhatikan bahwa berita memiliki nilai yang berbeda-beda bagi media lokal, nasional, maupun internasional.
Benang merah dari seluruh isi buku ini, barangkali, adalah upaya Devie untuk memanusiakan kembali para wartawan. Situasi-situasi konyol di antara humas dengan wartawan yang disampaikan Devie lewat buku ini merupakan gambaran ekses dari relasi PR dengan wartawan yang terlampau mekanistik, semata fungsional.
Wartawan memegang kedudukan yang tak tergantikan bagi humas. Wartawan, memang, merupakan saluran untuk berkomunikasi dengan khalayak luas, tetapi, adalah kesalahan untuk memandangnya sebatas alat. Kalau kita adalah humas, kita ingin tahu kapan berita tentang lembaga kita atau acara yang lembaga kita adakan tayang di suatu media dan di halaman berapa. Tetapi, seperti yang dijelaskan Devie di halaman 1, apakah kita pernah membayangkan betapa menjengkelkannya bagi seorang wartawan untuk ditanyai pertanyaan semacam itu?
Sebagian isi buku ini habis-habisan memperlihatkan potret-potret menggelikan dan menohok bagaimana humas salah kaprah memperlakukan wartawan. Di balik lebih dari seratus halaman panduan komikal bagi PR untuk menghadapi wartawan, buku ini adalah suatu ajakan untuk merenungkan kembali siapakah wartawan—secara mendasar dan fundamental. Dan Devie Rahmawati, dengan segenap penjelasan yang jitu, menegaskan, wartawan adalah manusia.

Comments