AHMADIYAH


Setelah terjadi pengepungan massa umat Islam terhadap Pusat Ahmadiyah di Kampus Mubarok di Parung Bogor Jawa Barat ba’da Jum’at 15 Juli 2005M/ 8 Jumadil Akhir 1426H, dan berakhir dengan keputusan Pemda Bogor untuk menutup pusat aliran sesat Ahmadiyah itu, maka orang-orang Ahmadiyah di dalamnya dievakuasi dengan 4 bus dan 4 truk polisi.

Bentrokan massa antara Muslimin anti aliran sesat Ahmadiyah dengan orang Ahmadiyah di pusatnya itu sudah sejak berdirinya sarang Ahmadiyah itu tahun 1980-an, setelah adanya fatwa Munas II Alim Ulama MUI 1980 yang memfatwakan Ahmadiyah adalah di luar Islam, sesat menyesatkan. Juga telah adanya surat edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen Agama, agar ulama menjelaskan sesatnya Ahmadiyah.

Ahmadiyah dan Muhammadiyah dalam sejarah

Ahmadiyah sendiri menyusup dan datang ke Indonesia sejak 1925, semula digandeng oleh Muhammadiyah karena dianggap sebagai pembaharu, namun di tahun 1930-an kemudian Muhammadiyah baru tahu bahwa Ahmadiyah itu lain, bukan pembaharu sebagaimana yang semula difahami. Maka Muhammadiyah tidak lagi menjadikan Ahmadiyah sebagai kawan sejak 1930 itu.

Menurut sejarah, ada tokoh-tokoh Muhammadiyah yang masuk ke Ahmadiyah dan kemudian mendirikan organisasi Ahmadiyah. Berikut ini kutipan dari seorang dari LIPI:

Tahun 1928, tokoh Muhammadiyah Raden Ngabehi HM. Djojosoegito, saudara sepupu dari Hasyim Asy’ari -kakek Abdurrahman Wahid (Gus Dur)- dan Wahab Chasballah, mendirikan Ahmadiyah Indonesia. Hasyim Asy’ari dan Wahab Chasballah yang juga bersaudara sepupu adalah pendiri NU (Nahdlatul Ulama) tahun 1926. Tahun 1930, pemerintah Hindia Belanda mengakui Ahmadiyah. Selain ketua Djojosoegito, terdapat nama Erfan Dahlan sebagai pengurus. Erfan Dahlan adalah putra H Achmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) yang belajar tentang Ahmadiyah di Lahore dan kemudian mengembangkan aliran tersebut di Thailand. Selain Erfan Dahlan, ada beberapa pemuda lain yang juga belajar tentang Ahmadiyah di Lahore. Yang satu setelah kembali ke Indonesia bergabung dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Yang lain, Maksum, keluar dari Muhammadiyah, bergabung dengan Persatuan Islam (Persis) yang dipimpin A. Hassan di Bandung.
Polemik Panjang

Seperti kita ketahui, polemik panjang mengenai ajaran Islam juga terjadi antara A. Hassan dan Soekarno. Maksum beberapa puluh tahun kemudian ikut gerakan DI/TII yang dipimpin Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. Djojosoegito kemudian memindahkan kegiatannya ke Purwokerto dan di kota ini didirikan masjid pertama Ahmadiyah di Indonesia. Hubungan antara Ahmadiyah dan SI (Sarekat Islam) pada mulanya cukup erat. Pemimpin SI, HOS Tjokroaminoto, menerbitkan tafsir Alquran pada 1930. Kata pengantar diberikan pimpinan Ahmadiyah di Lahore, India. Ketika ketepatan terjemahan kitab suci itu banyak dikritik, terutama dari kalangan Muhammadiyah, dukungan diberikan pimpinan Ahmadiyah. Namun, hubungan Ahmadiyah dengan SI kemudian menjadi renggang karena sikap politik SI yang radikal terhadap penjajah Belanda. Sedangkan Ahmadiyah tetap loyal kepada pemerintah. HOS Tjokroaminoto yang menjadi mertua Soekarno, menurut KH Abdurrahman Wahid, sebetulnya juga saudara sepupu dari Hasyim Asy’ari dan Wahab Chasballah.

(selanjutnya dikemukakan):

Pada 1925, Haji Rasul, ulama terkenal dari Sumatera Barat, ayahanda HAMKA, mengunjungi putrinya, Fatimah, yang menikah dengan A.R. Sutan Mansyur, pimpinan Muhammadiyah di Pekalongan. Dari Pekalongan, dia singgah di Jogja dan Solo serta bertemu dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Ahmadiyah. Terjadilah perdebatan seru. Haji Rasul mengatakan bahwa keyakinan Ahmadiyah itu menyimpang dari ajaran Islam. Dalam kongres Muhammadiyah di Solo pada 1929, hubungan antara organisasi itu dan Ahmadiyah menjadi putus. Majelis Tarjih Muhammadiyah menyatakan bahwa barang siapa yang memercayai adanya nabi setelah Muhammad dianggap kafir, walaupun tidak eksplisit menyebut Ahmadiyah. Sebelumnya sudah ada larangan bagi warga Muhammadiyah untuk mendengarkan ceramah tentang ajaran Ahmadiyah.

Dr Asvi Warman Adam, sejarawan di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Jakarta. (Belajar dari Sejarah Ahmadiyah, Indo Pos, Kamis, April 24, 2008)

Meskipun tahun 1930 pimpinan Muhammadiyah sudah pidato resmi bahwa Ahmadiyah yang selama ini dijadikan teman ternyata bukan teman, namun sampai tahun 2000 masih ada petinggi Muhammadiyah, Dawam Rahardjo, yang mengatas namakan Muhammadiyah mengundang Khalifah IV Ahmadiyah, Thahir Ahmad, di London untuk hadir ke Indonesia di masa Presiden Gus Dur / Abdurrahman Wahid. Kedatangan penerus nabi palsu yang diundang oleh orang yang memalsu atas nama Muhammadiyah itu disambut pula oleh bekas ketua Muhammadiyah yang sedang jadi ketua MPR, Amien Rais dengan berangkulan di Gedung DPR/MPR. Sementara itu yang memalsu atas nama Muhammadiyah, Dawam Rahardjo, mengalungkan bunga kepada penerus nabi palsu Thahir Ahmad di Bandara Cengkareng. Semua itu kemudian disiarkan oleh media Ahmadiyah. Maka seorang pakar dari Pakistan, Manzhur Ahmad Chinioti Pakistani, penulis buku Keyakinan Al-Qadiani , sengaja hadir ke Indonesia kemudian berpidato di Masjid Al-Azhar Jakarta. Pakar dari Pakistan ini memprotes keras, agar Dawam Rahardjo diadukan ke pengadilan, karena telah mengatas namakan Muhammadiyah, mengundang penerus nabi palsu ke Indonesia. (Setelah Thahir Ahmad mati, maka kekhalifahan Ahmadiyah alias penerus nabi palsu itu digantikan oleh Mirza Masroor Ahmad Khalifatul Masih V sejak April 2003).

Ketika saya (Hartono Ahmad Jaiz) bersama Ahmad Haryadi mantan Ahmadiyah, Farid Okbah- Al-Irsyad, dan Abu Yazid- Persis masuk ke kampus Mubarok Parung Bogor saat Thahir Ahmad Khalifah Ahmadiyah ada di sana, saat itu kami ingin bertamu kepada teman Ahmad Haryadi, namun kami ditangkap. Lalu saya berbincang-bincang dengan sebagian mereka, ketika pihak keamanan Ahmadiyah sedang mengusut teman-teman saya yang bertamu tapi ditangkap ini. Saya tanyakan, kenapa Dawam Rahardjo datang ke London mengundang Thahir Ahmad? Dijawab, karena Ahmadiyah membiayai Dawam Rahardjo.

Pantaslah, di saat ada desakan dari umat Islam sekitar kampus Mubarok Pusat Ahmadiyah agar Ahmadiyah dan kampusnya dibubarkan, maka Dawam Rahardjo menjadi “pehlawan” kesiangan. Dawam berbicara di konperensi pers di PBNU yang diselenggarakan oleh Johan Effendi yang memang anggota resmi Ahmadiyah selaku ICRP yang didanai lembaga kafir The Asia Foundation berpusat di Amerika. Dawam mengecam MUI, FPI, dan LPPI. Masih kurang puas, Dawam pun menuils di Koran Indo Pos, berjudul Teror terhadap Ahmadiyah. Dawam tampak gusar, dengan dalih HAM (Hak Asasi Manusia) maka dia tudingkan telunjuknya yang sudah menua renta itu dengan berteriak bahwa FPI (Front Pembela Islam) dan LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) berada di balik terror itu.

Anak muda Muhammadiyah pun ada yang ketinggalan kereta, lalu tergopoh-gopoh mengadakan konperensi pers di kantor Pusat Muhammadiyah untuk membela Ahmadiyah. Sukidi yang memang kadernya Dawam Rahardjo ini dalam keadaan luka karena baru saja JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, nama Muhammadiyah ini diusulkan di Muktamar dilarang untuk dipakai JIMM) terjengkang di Muktamar Muhammadiyah di Malang 3-8 Juli 2005. Sebagaimana Dawam Rahardjo, Amin Abdullah, dan Abdul Munir Mulkan dan para tokoh liberal berfaham pluralisme agama alias menyamakan semua agama (kemusyrikan) telah terjengkang di Muktamar; maka Sukidi mengambil kesempatan untuk membela Ahmadiyah. Kontraslah. Muhammadiyah jelas sudah berpisah dengan Ahmadiyah sejak 1930, dan menyesali kenapa dulunya berteman; tetapi Dawam dan Sukidi masih berkasih mesra atas nama Muhammadiyah sambil mengecam-ngecam MUI, FPI, LPPI, dan umat Islam hanya dengan dalih HAM. Padahal justru yang telah mengoyak-koyak aqidah Islam dan Al-Qur’an adalah Ahmadiyah itu, yang bukan sekadar melanggar HAM tetapi menodai kitab suci Umat Islam sedunia. Benar-benar pahlawan kesiangan.
Kasus bentrokan

Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad di India. Mirza lahir 15 Februari 1835 M. dan meninggal 26 Mei 1908 M di India.

Ahmadiyah masuk di Indonesia tahun 1935 (mereka mengklaim datang ke Indonesia tahun 1925, hingga pada tahun 2000 masa Presiden Gus Dur mereka mendatangkan Khalifah mereka dari London, Thahir Ahmad dengan alasan 75 tahun Ahmadiyah di Indonesia). Kini sudah mempunyai sekitar 200 cabang, terutama Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Palembang, Bengkulu, Bali, NTB dan lain-lain. Basis-basis Ahmadiyah di Kuningan Jawa Barat dan Lombok telah dihancurkan massa 2002/2003 karena mereka sesumbar dan mengembangkan kesesatannya.

Kehadiran Khalifah Ahmadiyah Thahir Ahmad walau tidak langsung memicu bentrokan, namun diam-diam akan menumbuhkan gesekan yang sudah lama memanas. Apalagi ada rencana dari Ahmadiyah yang sangat mengentak.

Rencana Ahmadiyah Internasional di Indonesia

Sebagai sebuah gerakan keagamaan yang meng-internasional, Jemaat Ahmadiyah yang berpusat di India ini berencana ingin menjadikan Indonesia sebagai pusat Ahmadiyah Dunia di masa mendatang (Abad ini).

Rencana besar mereka ini dipublikasikan dalam terjemahan Majalah Mingguan Ahmadiyah berbahasa urdu, “Al Fadl Internasional”, No. 7, tanggal 13 Juli 2000. Memuat tentang berbagai kegiatan dan aktifitas Hazrat Amirul Mukminin Khalifah Al Masih ke 4 Thahir Ahmad selama berkunjung ke Indonesia zaman Presiden Gus Dur tahun 2000.

Pusat Ahmadiyah di Parung Bogor Jawa Barat, mempunyai gedung yang mewah, perumahan para pimpinan/ pegawai di atas tanah seluas 15 ha. Terletak di pinggir jalan raya Jakarta Bogor lewat Parung.

Pusat Ahmadiyah di Parung Bogor Jawa Barat ini digrebeg umat Islam sekitar untuk kesekian kalinya sejak 1985-an, terakhir 3000-an massa umat Islam sekitar mendatangi lokasi yang dinamai Kampus Mubarok ini hingga terjadi bentrokan, Sabtu 9 Juli 2005. Massa umat Islam di luar pagar kampus Mubarok bentrok saling lempar dengan ribuan jemaat Ahmadiyah yang sedang mengadakan jalsah salanah (pertemuan tahunan) ke-46 secara nasional dan bahkan khabarnya mengundang pimpinan Ahmadiyah dari pusatnya di London.

Pertemuan tahunan secara nasional di pusat Ahmadiyah di Parung Bogor Jawa Barat itu menjadikan marahnya umat Islam sekitar, karena:

1. Sudah ada keputusan Munas Alim Ulama se-Indonesia tahun 1980: bahwa Ahmadiyah adalah kelompok di luar Islam, sesat dan menyesatkan. (Keputusan No 05/Kep/ Munas II/ MUI/ 1980 di Jakarta pada tanggal 17 rajab 1400H/ 1 Juni 1980M, ditandatangani olehKetua MUI Prof. Dr. Hamka dan Sekretaris sidang Drs H kafrawi MA, juga Ketua Dewan Pertimbangan MUI Menteri Agama RI Alamsyah R. Prawiranegara).

2. Surat Edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan haji Departemen Agama No D/B4.01/5099/84, tgl 20 September 1984, yang berisi penegasan supaya ulama menjelaskan tentang seatnya jemaat Ahmadiyah.

3. Adanya keputusan untuk melarang Ahmadiyah (Qodiyan dan Lahore) secara nasional tahun 1996, namun ditunda saat pelarangannya setelah pemilu (pemilihan Umum) 1997. Sampai pemilu telah selesai pun belum ada pelarangan, maka menurut sumber, MUI mengirimkan surat kepada Jaksa Agung RI, 6 Mei 1998, untuk melaksanakan keputusan 31 Oktober 1996 tentang pelarangan Ahmadiyah (Qodiyan dan Lahore) secara nasional.

4. Jangka waktu sudah sedemikian lama, sampai 2005 justru ahmadiyah tetap mengadakan kegiatan bahkan mengadakan jalsah salanah ke 46 (pertemuan tahunan) secara nasional di pusat Ahmadiyah di kampus Mubarok di Parung Bogor Jawa Barat. Padahal keberadaan pusat Ahmadiyah itu telah menimbulkan keresahan umat Islam sekitar bahkan bentrokan sejak 1985-an.

Akibatnya, umat Islam berdialog dengan pimpinan Ahmadiyah dihadiri camat setempat dan para punggawa. Umat islam meminta agar tidak diadakan jalsah salanah, namun pihak Ahmadiyah ngotot. Tidak ada kesepakatan. Maka umat Islam menyatakan akan membela haknya, karena Ahmadiyah telah menodai dan memperlakukan kitab suci Al-Qur’an semau Ahmadiyah, yaitu dibajak-bajak, diputar balik di kitab suci Ahmadiyah yaitu Tadzkirah yang dianggap sebagai wahyu Tuhan kepada nabi mereka, Mirza Ghulam Ahmad. Karena Ahmadiyah telah menodai kitab suci al-Qur’an namun mengaku sebagai Muslim, bahkan yang tidak percaya kepada nabi mereka maka dinyatakan sebagai musuh dalam kitab Tadzkirah itu, maka umat Islam tidak terima. Hingga terjadilah sekumpulan massa ummat Islam mengepung kampus Mubarok pusat Ahmadiyah, Sabtu 9 Juli 2005. Aksi pengepungan itu terjadi bentrok saling lempar batu, hingga kedua belah pihak dari luar pagar dan dalam pagar masing-masing ada sejumah yang luka-luka. Sebagian bangunan di pinggir pagar rusak.

Aksi itu mengakibatkan jalsah salanah ditutup lebih awal, hari ahad 10 Juli 2005 tidak berlangsung lagi pertemuan itu. Meskipun demikian bukan berarti masalahnya selesai.

Jumat berikutnya, 15 Juli 2005, massa umat Islam dari 2 kecamatan sejumlah 5000-an orang mengepung kembali kampus Mubarok pusat Ahmadiyah, ba’da Jumat. Aksi ini dipimpin Habib Abdurrahman, diberi aba-aba jangan sampai merusak. Pimpinan itu menegaskan, kalau sampai jam 4 sore kampus itu tidak ditutup oleh pemerintah, maka massa tidak akan membubarkan diri. Akhirnya pihak Pemda Bogor disertai DPRD dan pihak keamanan mengumumkan ditutupnya kampus Mubarok Pusat Ahmadiyah di Parung Bogor ini. Dengan serempak para petugas keamanan merubuhkan plang-plang Ahmadiyah yang bediri di depan kampus Ahmadiyah ini. Kemudian massa pun membubarkan diri di saat hujan mengguyur saat itu. Jema’at Ahmadiyah yang berada di dalam kampus Mubarok ini dievakuasi dengan 4 bus dan 4 truk polisi. Di dalam kampus Mubarok Pusat Ahmadiyah ini terdapat senjata-senjata tajam. Menurut Koran Pos Metro, orang-orang Ahmadiyah yang telah dinyatakan sesat menyesatkan oleh MUI ini akan membantai umat Islam yang berdemo, namun karena kalah banyak jumlah massanya, maka tidak berani. Pos Metro menulis dengan judul Puluhan Senjata Ditemukan dalam Markas Aliran Sesat Ahmadiyah Parung. Di antara isi beritanya ketika terjadi pembubaran Ahmadiyah di Parung sebagai berikut:

…Sedangkan suasana dalam Gedung Tabligh Center Jemaat JAI (Jemaat Ahmadiyah Indonesia) yang terletak persis di tengah kampus, terlihat berantakan. Buku-buku, poster, batu kerikil, kelereng dan puluhan senjata tajam berupa pedang, clurit, pisau dan besi runcing masih berserakan.

Senjata-senjata itu menurut informasi sengaja ditimbun aliran sesat JAI. Senjata itu hendak digunakan untuk membantai warga yang mendemo markas JAI. Namun karena jumlah massa yang berdemo lebih banyak dan polisi lebih dulu mendatangi kampus, senjata itu tak jadi digunakan. (Pos Metro, Minggu 17 Juli 2005).
Ahmadiyah Dilarang di Berbagai Daerah

Di beberapa daerah, ajaran dan kegiatan Ahmadiyah telah dilarang, yaitu:

a. Kabupaten Subang (Jawa Barat) berdasarkan SK Kajari Subang No Kep. 01/1.2. JBK-1.312/PAKEM/3/1976 tanggal 8 Maret 1976.

b. Propinsi Sulawesi Selatan berdasarkan SK Kajati Sulsel No. Kep. –02/K.1.1/3/1977 tanggal 21 Maret 1977.

c. Kabupaten Lombok Timur (NTB) berdasarkan SK Kajari Selong No. Kep. –11/IPK.32.2/1-2-III.3/11/1985 tanggal 21 November 1985.

d. Kabupaten Sidenreng Rappang (Sulsel) berdasarkan SK. Kajari Sidenreng Rappang No. Kep.-172/N.3.16.3/ Dsk.3/2/1986 tanggal 25 Februari 1986.

e. Kabupaten Kerinci (Jambi) berdasarkan SK Kajari Sungai Penuh No. Kep. –01/ J.5.12.3 /Dks.4/4/1989 tanggal 1 April 1989.

f. Kabupaten Tarakan Kaltim berdasarkan SK Kajari Tarakan No. Kep. -11/M-4-12.3/Dks.3/12/1989 tanggal 11 Desember 1989.

g. Kabupaten Aceh Barat (DI Aceh) berdasarkan SK Kajari Meulaboh No Kep.-002/J-1.13/Dks.3/10/1990 tanggal 29 Oktober 1990.

h. Propinsi Sumatera Utara berdasarkan SK Kajati Sumut No, Kep. -07/0.2/Dsb.1/2/1994 tanggal 12 Februari 1994.
MUI dan Ormas Islam Desak Pelarangan Ahmadiyah Secara Nasional

Aliran sesat Ahmadiyah sudah banyak dilarang secara lokal/daerah, tetapi belum secara nasional. LPPI dan Majelis Ulama Indonesia serta organisasi-organisasi Islam tingkat pusat sudah mengirim surat kepada pemerintah cq. Kejaksaan Agung RI tapi belum berhasil dan masih memerlukan perjuangan yang lebih intensif lagi.

1. Surat dari Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) Nomor : 035/LPPI/6/1994 tanggal 10 Juni 1994, pada prinsipnya mengusulkan agar Jemaat Ahmadiyah Indonesia dilarang secara nasional.

2. Forum Ukhuwah Islamiyah Indonesia (FUUI) yang terdiri atas organisasi-organisasi Islam dalam lingkup nasional diantaranya Persatuan Islam (PERSIS), Muhammadiyah, Nadhlatul Ulama, Ittihadul Muballighin, Syarikat Islam (SI), Al-Irsyad Al-Islamiyah, Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) serta Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), dengan suratnya Nomor: 16/FUUI/X/94 tanggal 20 Oktober 1994, berkesimpulan sebagai berikut:

a. Ajaran dan faham Ahmadiyah tentang kenabian dan kerasulan Mirza Ghulam Ahmad adalah sudah keluar dari akidah Islamnya, dan karenanya sesat dan menyesatkan.

b. Ajaran dan faham Ahmadiyah ditemukan dalam berbagai kitab/terbitan Ahmadiyah ; di antara isinya menodai kitab suci Al-Quran dengan cara memberi tafsiran dan memutar balikkan serta menyisipkan di dalam kitab/buku tersebut kata-kata yang bukan Al-Quran sebagaimana terdapat dalam kitab “Tadzkirah, Haqiqatul Wahyi dan Al-Istifta serta kitab/buku lainnya”.

Dan meminta agar Jaksa Agung RI melarang kegiatan dan penyebaran ajaran Ahmadiyah dan kitab suci Tadzkirah di seluruh wilayah hukum Indonesia.

Kalau ditelusuri ternyata sudah ada keputusan untuk melarang Ahmadiyah (Qodiyan dan Lahore) secara nasional tahun 1996, namun ditunda saat pelarangannya setelah pemilu (pemilihan Umum) 1997. Sampai pemilu telah selesai pun belum ada pelarangan, maka menurut sumber, MUI mengirimkan surat kepada Jaksa Agung RI, 6 Mei 1998, untuk melaksanakan keputusan 31 Oktober 1996 tentang pelarangan Ahmadiyah (Qodiyan dan Lahore) secara nasional.

Sumber: Hartono Ahmad Jaiz

Comments