Ribuan orang yang sebagian besar mengenakan jubah putih, bersorban, dan berpeci, mengepung sebuah gedung megah, selepas salat Jumat. Sambil mengacungkan poster, potongan besi, kayu, bambu, dan batu, massa memaksa para penghuni gedung itu segera hengkang.
"Allahuakbar, Bubarkan Ahmadiyah," pekikan suara itu membahana, memecah keheningan di sekitaran Kampus Mubarak di Kampung Udik, Kemang Parung, Bogor, pada 15 Juli 2005 lalu. Suasana kala itu sangat tegang dan mencekam. Di depan pintu gerbang, pagar betis dari ratusan polisi memblokade massa yang terus berupaya menerobos masuk, seraya berulang mengumandangkan kalimat salawat dan tauhid.
Setelah mendapat tekanan hampir sepekan dan diultimatum, akhirnya 800 pengikut Ahmadiyah dari seluruh penjuru Tanah Air yang tengah mengikuti pertemuan tahunan, terpaksa dievakuasi dengan empat truk polisi dan empat truk besar.
Bahkan ketika keluar dari kampus, kendaraan yang membawa mereka sempat dilempari batu, kayu, dan bambu. Kampus Mubarak pun disegel sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Kampus ini digeruduk massa yang berasal dari Gerakan Umat Islam Indonesia, karena menjadi pusat kegiatan Ahmadiyah di Indonesia. Serbuan dan aksi kekerasan itu dilatarbelakangi persepsi bahwa Ahmadiyah menyimpang dari ajaran Islam.
Tuntutan pembubaran Ahmadiyah yang kerap berujung rusuh tidak hanya berhenti sampai di situ. Sebelum dan setelah insiden penyegelan di Kampus Mubarok, hal serupa banyak terjadi di berbagai daerah. Teranyar, Minggu 6 Februari 2011, sedikitnya 1.500 warga bentrok dengan sekelompok jamaah Ahmadiyah di Desa Umbalan, Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.
Akibat penyerangan tersebut, tiga orang anggota Ahmadiyah meregang nyawa dan puluhan orang luka-luka. Dalam bentrokan ini, kemarahan massa terhadap Ahmadiyah memuncak. Hal ini bisa terlihat dari rekaman video saat bentrokan pecah. Terlihat seseorang yang mengenakan pakaian hitam dengan golok terhunus menangkis lemparan batu dari arah sebuah rumah. Pria yang mengenakan tanda pita biru ini berusaha masuk ke dalam rumah, namun gagal karena mendapat perlawanan dari anggota jamaah Ahmadiyah.
Selain melempari rumah yang diduga menjadi pimpinan Ahmadiyah dengan batu, massa juga melampiaskan emosinya dengan memukul, menendang, menginjak-injak korban yang sudah tak bernyawa itu. Sungguh pemandangan yang tragis dan mengerikan.
Keberingasan massa juga meletup di Temanggung. Tempat ibadah dan sekolah dibakar gara-gara tidak puas dengan tuntutan lima tahun bui bagi pelaku penistaan agama. Masih belum hilang dari ingatan, kejadian pada 12 September 2010, di mana umat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Indah Timur, Kampung Ciketing, Bekasi Timur, mengalami penusukan dan pemukulan ketika akan menunaikan ibadah.
Adapun pada 10 Agustus 2010, terjadi aksi perusakan di lokasi yang sama dengan alasan tidak memiliki izin pembangunan rumah ibadah. Tidak sampai di situ, kejadian sama menimpa Gereja Katolik Santo Albertus, di Perumahan Harapan Indah, Bekasi, yang dibakar sekelompok massa pada saat pembangunannya 17 Desember 2009.
Tak cuma gereja yang menjadi sasaran amuk massa, Masjid Syeikh Ali Martaib di Desa Lumban Lobu, Kecamatan Bonatua Tapanuli Utara-Sumatra Utara, sudah dibakar tiga kali dibakar. Dalam kejadian terakhir pada 27 Juli 2010, tepatnya Juma’t pagi menjelang subuh Masjid tersebut dibakar habis oleh orang tak dikenal.
Kehadiran sejumlah aliran sesat di Indonesia yang belakangan tumbuh subur, semakin menambah panjang catatan tragedi kemanusiaan tersebut. Paling menyita banyak perhatian adalah Lia Eden dengan ajarannya ‘Taman Eden’. Di susul kemunculan aliran serupa, yaitu ajaran Surga Eden’, pimpinan Ahmad Tantowi di Cirebon.
Sementara aliran Brayat Agung yang bermarkas di Desa Gelung, Kecamatan Panarukan, Situbondo, melarang pengikutnya untuk membaca Alquran, salat, serta berpuasa. Kontan saja munculnya aliran sesat yang dipimpin seorang pria bernama Agung itu membuat resah warga. Buntutnya, tak jarang para pengikut ajaran sesat ini mengalami penganiayaan dari warga yang marah. Dikejar-kejar, dilempari, bahkan diusir dan rumahnya dibakar.
Gambaran di atas hanyalah sebagian kecil dari kasus-kasus yang terjadi sepanjang masa di bumi pertiwi ini, dan tidak menuntup kemungkinan muncul di kemudian hari apabila penangannya tidak tepat dan tuntas.
Dalam hal ini, patut disesalkan sikap pemerintah dan aparat penegak hukum yang sepertinya tanpa daya menyaksikan setetes demi setetes darah anak bangsa tumpah di bumi Indonesia. Banyak di antara kasus tersebut yang kemudian menguap tanpa proses hukum yang jelas. Atau sekalipun diproses secara hukum, kekerasan tersebut hanya dianggap sebagai tindak kriminal biasa yang sulit membuat efek jera. Sampai kapan kekerasan atas nama agama ini terus menghiasi perjalanan bangsa ini?
Pada akhirnya, bahasa kekerasan masih menjadi gaya penyelesaian konflik yang berlatar SARA di negeri yang katanya sangat menyanjung kesantunan dan kerukunan itu. Keberingasan massa semakin menemukan bentuknya dalam situasi supremasi hukum yang lemah akibat kinerja aparat hukum yang tidak profesional.
Comments
Post a Comment