Ladang Pembantaian di Ibu Kota


Kedua bola matanya tertutup rapat. Tubuhnya tergolek dengan selang-selang penopang hidup membelit di sekujur tubuh pria plontos itu. Alat bantu pernapasan menempel di lubang hidung dan rongga mulut yang sedikit menganga. Jarum infus pun tertancap di lengan untuk mensuplai cadangan makanan. Sementara sejumlah alat lainnya langsung terpasang ke layar monitor dengan berbagai indikator.

Tubuh lemas tak berdaya itu tak lain Khairul Anwar (31), wartawan Global TV yang menjalani perawatan di Ruang ICU Rumah Sakit St Carolus. Khairul Anwar menjadi korban sopir Kopaja P20 jurusan Lebak Bulus-Senen yang ugal-ugalan. Warga Jalan Minangkabau Dalam II, RT 02 RW 06, Menteng Atas, Setia Budi, Jakarta Selatan itu, saat ditemui okezone, baru-baru ini kondisinya masih kritis.

Sabtu 12 Februari 2011 menjadi hari nahas bagi Khairul Anwar. Pagi itu dia pamit kepada sang istri untuk berangkat ke kantornya di bilangan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Sekira pukul 07.00 WIB, Aan, sapaan akrabnya, mengendarai Honda Megapro B 6309 SBD melintas di Gondangdia. Hanya, beberapa ratus meter dari kantor tempatnya bekerja.

Tiba-tiba, dia dihamtam Kopaja hingga tubuhnya terpelanting dan menabrak taksi. Aan pun lantas dilarikan ke rumah sakit. Dari hasil CT scan, korban mengalami penggumpalan darah di otak, patah tangan, serta menderita sobekan di pelipis kanan atas. Istri korban, Yuni Susilawati masih syok.

“Khairul Anwar adalah figur bapak yang bertanggung jawab, baik dan suami siaga. Tidak ada firasat apapun akan terjadi kecelakaan seperti ini. Biasa saja, sebelum berangkat saya cium tangannya, dia selalu cipika-cipiki,” tuturnya.

Khairul Anwar merupakan anak bungsu dari Sembilan bersaudara dari pasangan Badri dan Maesaroh. Dari hasil pernikahannya dikaruniai seorang putri bernama Nazwa yang baru berumur tujuh bulan. Menurut Yuni, kondisi Aan mulai bisa menggerakan kaki, organ jantung, dan lambung mulai stabil. "Suntikannya sudah distop, dari keterangan Dr Ramzi yang memeriksanya," tutur dia.

Kendati demikian, pihak keluarga berusaha tabah dengan kejadian itu sebagaimana diutarakan Arif Effendi, kakak kedua Khairul Anwar. “Keluarga tidak menuntut apapun dari pelaku. Keluarga menerima kejadian ini. Seandainya pelaku tabrak larinya pun ditemukan, tak ada pengaruh apapun bagi keluarga. Tapi proses pidana harus. Pelaku harus dihukum agar kejadian seperti ini tak dibiarkan begitu saja,” jelasnya.

Khairul Anwar adalah satu contoh dari tidak disiplinnya pengendara di jalan. Pengendara yang tidak bertanggung jawab dan peduli akan keselamatan nyawa orang lain. Banyak korban lainnya yang hingga kini terus berjatuhan. Tangisan pun pecah dari istri, suami, anak, ibu, bapak, atau saudara yang terkena musibah ini.

Gara-gara sopir ugal-ugalan, banyak nyawa melayang sia-sia. Kendati sebagian lolos dari maut, beban hidup yang tak kalah berat siap menghampiri. Hidup dalam kecacatan permanen membuat korban dan keluarganya berada dalam ruang penderitaan panjang sepanhang hayat.

Wajah transportasi di Jakarta masih menyeramkan. Jalanan di Ibu Kota ibarat ladang "pembantaian" manusia. Nyaris setiap hari tiga nyawa melayang akibat kecelakaan di jalan raya. Ironisnya, korban kecelakaan mayoritas kaum Adam berusia produktif antara 25-40 tahun.

Hal ini tidaklah mengherankan. Ikhwalnya, Jakarta harus menanggung beban penduduk 9,5 juta jiwa, belum termasuk warga daerah penyangga. Sementara jumlah kendaraan di Jakarta jika siang hari bisa mencapai 9 juta lebih. Sebanyak 57 persen lebih adalah kendaraan milik warga luar Jakarta.

Mesin pembunuh, begitulah kira-kira sebutan untuk kecelakaan lalu lintas. Sayangnya, kematian akibat kelalaian berkendaraan ini nyaris luput dari perhatian. Meregang nyawa di jalan raya adalah insiden biasa sebagai takdir yang tak bisa dipungkiri.

Beda halnya dengan bencana alam, semisal Gunung Merapi meletus yang bikin heboh sampai-sampai presiden pun pindah ngantor ke Yogyakarta. Semua mata tertuju pada fenomena alam yang menewaskan penduduk dan meluluh-lantakan apa saja yang ada di kaki gunung itu dalam radius 10 km.

Publik pun nyaris tak ada bereaksi keras menuntut pemerintah membenahi sistem transportasi nasional terutama di Jakarta yang masih amburadul itu. Paling-paling, warga spontan mengejar lalu menghakimi ramai-ramai sopir mikrolet atau kopaja yang menggilas pengendara motor hingga tewas.

Setelah itu, warga pun lupa akan peristiwa tragis itu sampai ketemu lagi peristiwa sama di lain waktu. Parahnya, para pengguna jalan juga tidak jera meski kecelakaan tragis ada depan mata. Tetap saja ugal-ugalan, saling serobot dengan dalih mengejar waktu.

Problem transportasi di Jakarta memang sangat kompleks. Bukan sebatas kemacetan yang kini kian menjadi-jadi. Sampai detik ini transportasi di Jakarta belum nyaman, aman, bahkan cenderung membahayakan jiwa. Padahal isu transportasi sangat serius. Transporatsi adalah penggerak utama pertumbuhan ekonomi. Sektor transportasi juga menyita korban jiwa dan harta-benda yang tak sedikit.

Kecelakaan juga berbanding lurus dengan laju pertumbuhan penduduk. Pada sensus penduduk Mei tahun lalu, penghuni Jakarta mencapai 9.588.198 jiwa. Dengan laju pertumbuhan penduduk di atas, jumlah penduduk Jakarta akan mencapai lebih dari 10 juta jiwa pada 2014.

Sementara pada kepadatan penduduk Jakarta mencapai 14.476 jiwa/km2. Jakarta Pusat menjadi wilayah paling padat dengan kepadatan 18.675 jiwa/km2 meskipun jumlah penduduknya paling sedikit, yakni 898.883 jiwa. Wilayah Jakarta Timur memiliki penduduk paling banyak, yakni 2.687.027 jiwa dengan kepadatan 14.290 orang/km2.

Konsekuensinya mobilitas penduduk semakin tinggi yang mendorong semakin banyaknya sarana tranportasi yang dibutuhkan. Sarana transportasi secanggih apapun tidak akan memungkinkan bila hanya di atas tanah. Ini terbukti di Jakarta. Dua-tiga tahun ke depan jika tidak ada pembenahan dan populasi tidak diimbangi dengan penambahan infrastruktur jalan, maka kemungkinan Jakarta akan benar-benar lumpuh. Roda ekonomi akan tersendat akibat kemacetan total.

Pengamat perkotaan dari Universitas Tarumanegara, Darrundono mengatakan buruknya transportasi di Jakarta tidak terlepas dari amburadulnya pengelolaan tata ruang kota. "Tata ruang yang buruk berdampak pada transportasi publik. Laju pertumbuhan kendaraan tidak sebanding dengan pertumbuhan jalan, belum termasuk permasalahan polusi dan kemacetan," ujarnya kepada okezone, baru-baru ini.

Darmaningtyas, Direktur Institut Transportasi (Instran) dalam bukunya Transportasi di Jakarta, Menjemput Maut (2010), menyebutkan Pemprov DKI Jakarta tidak konsisten sehingga masih belum bisa mewujudkan transportasi yang nyaman dan aman.

Kalau pemerintah mau serius menekan angka kualitas dan kuantitas kecelakaan lalu lintas, seharusnya memberikan disinsentif bagi moda yang paling berisiko terhadap laka lantas, yaitu sepeda motor.

Comments