Hidup Terapung di Kampung Halaman yang Tenggelam


Jakarta yang dipenuhi dengan gedung pencakar langit, pemukiman mewah, dan pusat perbelanjaan membuatnya menjadikan salah-satu kota metropolitan terbesar dan terpadat di dunia.

Namun di balik semua itu, ternyata masih banyak warganya yang hidup jauh dibawah garis kemiskinan. Di tengah terbatasnya lahan yang hancur akibat banjir yang tidak kunjung surut, sebuah kampung berdiri di atas permukaan air.

Lain halnya dengan kampung apung di Kalimantan Timur yang memang sejak awal terapung di aliran Sungai Mahakam. Kampung Apung di Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat ini, berdiri di atas genangan air banjir setinggi hampir dua meter, menyerupai rawa yang mirip danau.

Siang itu udara cukup panas, warga di kampung ini lebih berdiam diri di dalam rumah. Menelusuri Kampung Apung butuh kewaspadaan ekstra. Jika Anda kurang berhati-hati, nyawa bisa menjadi taruhannya.

Sebuah jalanan setapak yang dibangun dari kayu yang sudah mulai lapuk membentang di atas genangan banjir yang terperangkap dan tak pernah surut sejak belasan tahun lalu. Di kanan kiri jalan, hamparan eceng gondok dan tanaman air lainnya menghijaukan pemandangan meski ternodai dengan tumpukan sampai yang mengampung di permukaan air yang takpak keruh dan kotor.

Lautan sampah tersebut menyambut kedatangan okezone, baru-baru ini saat menyambangi pemukiman ini. Bahkan sampah yang mengunung menjadikan jalanan alternatif di atas permukaan air. Nyamuk-nyamuk pun tidak mau ketinggalan memberikan ucapan selamat datang.

Kedalaman air di Kampung Apung sudah menjadikan zona bahaya bagi masyarakat yang melintas. Kedalamannya bisa enam meter. Untuk bisa memasuki rumah di Kampung Apung, warga membuat jembatan yang dibangun dengan balok kayu ala kadarnya. Tentunya, untuk melintasi titian dari jembatan lapuk tersebut, mata harus selalu waspada.

Selain jebakan lubang di jembatan, paku-paku bisa menusuk telapak kaki. Warga sekitar sudah hapal betul dengan kondisi di sana. Selain itu, sepatu bot adalah hal yang wajib digunakan jika berkunjung ke sana. Ketinggian air bisa mencapai leher orang dewasa jika musim hujan tiba. Belum lagi bahaya yang datang jika tercebur ke dalam air.

Tepat di depan Kampung Apung, sebuah jalan raya yang setiap hari dilintasi truk dan kendaraan besar membuat pemukiman tersebut terlihat padat. Sangat ironis jika kita keluar dari Kampung Apung. Tidak jauh dari sana, beberapa pusat perbelanjaan dan pemukiman mewah berdiri kokoh.

Hal ini telah memicu kecemburuan sosial yang tinggi. “Warga sini umumnya hanya tamatan SMP, mereka bekerja menjadi buruh pabrik,” ujar Juhri, Ketua RW 1 Kelurahan Kapuk kepada okezone. Menurutnya, sebagian warga juga sudah bisa menerima keadaan tersebut.

Potret Kampung Kapuk menjadi bukti penataan tata ruang kota di Jakarta yang tidak mempedulikan rakyat kecil. Penurunan muka air tanah dan air pasang atau lebih populer dikenal rob di kawasan pesisir utara Jakarta menenggelamkan sebagian wilayah, salah satunya Kampung Kapuk.

Pola pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan mengakibatkan penurunan muka tanah. Rata-rata penurunan muka tanah di Jakarta berkisar 0,87 cm per tahun. Keberadaan gedung-gedung pencakar langit yang menghujam tanah Jakarta dituding sebagai salah satu biangnya.

Belum lagi dampak pemanasan global mengakibatkan naiknya muka laut. Prakiraan kondisi Jakarta tahun 2050, wilayah Tanjung Priok, Ancol, dan Pantai Indah Kapuk akan tenggelam. Lalu apa yang harus dilakukan? Apakah membiarkan Jakarta perlahan tenggelam?

Ya, wilayah Jakarta tenggelam bukan lagi ancaman yang isapan jempol. Tapi sudah menjadi kenyataan yang harus diwaspadai. Terbukti, wilayah pesisir utara Jakarta mengalami penurunan muka tanah yang signifikan, bahkan bisa dibilang tertingi di dunia yakni per tahun rata-rata berkisar 0,87 cm.

Hasil penelitian Institut Teknologi Bandung (ITB) menunjukan adanya kecenderungan kenaikkan muka air laut. Pada 1925, kondisi muka laut di Teluk Jakarta tercatat 51,19 cm. Pada 1950 atau 25 tahun berikutnya, muka laut bertambah 14,37 cm. Pada 25 tahun selanjutnya (1975), terjadi kenaikan muka laut 14,38 cm. Jumlah kenaikan muka laut Teluk Jakarta setiap 25 tahun berada di kisaran 14,37 cm, atau rata-rata kenaikan per tahun 8 mm. Berdasarkan asumsi tersebut, pada 2050 diperkirakan muka laut di Teluk Jakarta akan mencapai 1,23 meter.

Pada master plan tata ruang Jakarta 1965- 1985 masih terdapat 37,2 % atau 241,8 km2 ruang terbuka hijau (RTH) dari luas Jakarta. Tapi dalam 2000-2010 luas tersebut berkurang jauh menjadi 13,94 % atau 96.6 km2 dari luas Jakarta 661.52 km2. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) memperkirakan DKI Jakarta akan terendam air pada tahun 2030. Banyak faktor yang menjadi penyebab di antaranya banjir pasang air laut atau rob akibat penurunan permukaan tanah serta banjir akibat hujan yang terus meluas di seluruh wilayah Jakarta.

Kampung Apung, di Kelurahan Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat, menjadi bukti penurunan tanah di wilayah tersebut. Masih ingat dengan heboh terputusnya akses ke Bandara Soekarno Hatta akibat genangan air beberapa waktu lalu, adalah menunjukan wilayah Jakarta secara perlahan tenggelam.

Walhi juga memprediksi Kampung Apung dan wilayah Cengkareng sekitarnya akan hilang di peta Jakarta pada 2020. “Daerah situ tanah sama rumah tergenang permanen, akibat curah air hujan dan air laut yang tidak dikelola dengan baik,” ujar Direktur Eksekituf Walhi Ubaidilah kepada okezone, baru-baru ini.

Walhi, kata dia, sangat prihatin karena sudah berlangsung cukup lama Kampung Apung terendam. ”Solusinya pemerintah harus menyediakan lahan baru untuk relokasi penduduk. Ini sebetulnya sudah dijanjikan sejak lima tahun terakhir, namun tak pernah terpenuhi,” katanya.

Akibat banjir yang tidak kunjung surut, dia mengatakan kejadiannya tentu berdampak sosial. ”Kalau lahan yang ditempati ilegal, tidak ada surat-menyurat tentu harus direlokasi. Tapi kalau legal pemerintah harus merevitaliasi dan melakukan perbaikan. Dengan membuat resapan air, perbaikan saluran, dan aliran sungai,” ujarnya.

Kata Ubaidilah, penurunan muka tanah di Kampung Apung disebabkan oleh berbagai macam dampak pembangunan di sana. ”Saya pikir penurunan tanah bukan hanya karena industri tapi karena kondisi tanah yang labil dan eksploitasi air tanah secara berlebih-lebihan,” ujarnya.

Menurutnya, akibat eksploitasi tersebut berdampak tanah di sekitarnya terus mengalami penurunan dan lambat laun bisa tenggelam. “Sisi pantai secara teknologi bisa dibuat tanggul atau secara tradisional ditanami bakau,” paparnya. “Kalau begini terus tidak ada jalan keluar, daerah Kapuk, Cengkareng, dan Kamal bisa tenggelam sebelum tahun 2030. Bahkan bisa jadi tahun 2020,” imbuhnya.

Menurut Ketua RT 10 RW 1 Kelurahan Kapuk Rudi Suhandi, tengelamannya pemukiman di Kapuk disebabkan maraknya pembangunan pusat perbelanjaan atau mal yang banyak terdapat di wilayah Jakarta Utara dan pendirian pemukiman mewah. “Imbas pembangunan menjadikan wilayah saya tergenang banjir,“ terang dia.

Rudi menceritakan, dulu wilayah sekitar Kampung Apung adalah dataran tinggi, namun akibat pengurukan menjadikan permukaan tanah turun dan amblas. "Di sekitar sini dulu ada rawa juga dataran tinggi, namun dengan banyaknya pengurukan untuk membuat mal, pemukiman mewah, pabrik, dan gudang sehingga mengurangi daerah resapan air,” bebernya.

Dia juga menambahkan, selain rawa wilayah Kampung Apung juga terdapat tambak. Namun saat ini sudah dijadikan pemukiman. Dari pantauan okezone, puluhan rumah di Kampung Apung hancur akibat terendam air sejak belasan tahun lalu. Yang tersisa hanya bagian atapnya. Bahkan kantor pemakaman umum Kapuk sudah hilang ditelan air. Untuk bertahan hidup, warga setempat mendirikan rumah apung. Rumah-rumah permanen lainnya dinaikan ke lantai dua untuk menghindari genangan air, sementara lantai dasar sudah tertutup air yang tak pernah surut.

Menyulap Kubangan
Memutar otak, begitulah yang dilakukan warga Kampung Apung, Kapuk, Kelurahan Cengkareng, Jakarta Barat, untuk bertahan hidup. Banjir dan genangan air yang tak pernah surut telah menenggelamkan tanah kelahirannya, sehingga memaksa warga yang masih bertahan tinggal di rumah panggung terapung, terbuat dari bambu dan kayu.

Memang hidup dalam kawasan yang mirip kubangan raksasa penuh sampah, jauh dari kesan nyaman dan aman. Tapi, tak ada pilihan lain bagi sedikitnya 100-an KK warga Kampung Apung mencoba bersahabat dengan alam yang tidak bersahabat karena bahaya mengintai setiap saat.

Untuk menopang hidup, mereka terpaksa bekerja sebagai buruh pabrik yang banyak berdiri di sekitar tempat tinggalnya. Sebagian lainnya, menggantungkan hidup dengan menyulap kubangan-kubangan yang tepat berada di bawah dan di depan rumah apung menjadi kolam-kolam ikan lele. Dari berternak lele inilah, warga Kampung Apung belasan tahun menjalani hidup terapung.

Muncul juga keinginan menjadikan kawasan yang dulunya dataran tinggi ini sebagai rintisan wisata Kampung Apung. Mereka berharap jika impian ini terealisasi bisa membuat taraf hidup warga setempat meningkat, karena selama ini nyaris berada di garis kemiskinan.

Wisata Kampung Apung tidak seperti kampung apung di sepanjang aliran Sungai Mahakam, Kalimantan. Warga mengusulkan konsep wisata ilmu di Kampung Apung. “Kami setuju jika Kampung Apung dijadikan objek wisata, itu sangat bagus. Namun apa itu mungkin bisa?” ungkap Ketua RW 01 Kelurahan Kapuk Juhri kepada okezone, baru-baru ini.

Menurut Juhri, masyarakat sudah memiliki konsep dan tawaran yang ingin diajukan kepada pihak terkait. “Kalau kami punya konsep dan tawaran seperti wisata ilmu, tidak hanya wisata Kampung Apung saja,” tandasnya.

Juhri memaparkan, bagaimana konsep yang disodorkannya yaitu wisata ilmu, dengan cara mengembangbiakan ikan lele, mengelola sampah, dan lain-lain. Harapannya, Kampung Apung menjadi kampung percontohan yang peduli terhadap kondisi lingkungan yang rusak akibat dampak masifnya pembanguna.

Kampung Apung ini ibaratnya cekungan besar yang berada di tengah-tengah belantara bangunan beton yang menghujam ke bumi dan menjulang ke atas. Tak pelak air hujan dan luapan air banjir terperangkap lantaran tidak ada sistem drainasi. Sementara perumahan elit, pabrik, pusat perbelanjaan dengan sistem pompanya membebaskan kawasan tersebut dari ancaman banjir.

Salah satu warga yang berhasil membudidayakan ikan lele adalah Ade. Dia memanfaatkan air banjir di depan rumah dan hasilnya pun cukup memuaskan. Kata Ade, banyak tumpukan sampah yang membuat dasarnya kosong lalu dibuat kolam-kolam lele. “Lumayanlah buat penghasilan kami dari pada enggak ada sama sekali,” ujarnya.

Saat ini peternak ikan lele di Kampung Apung juga sudah membuat komunitas. Sudah ada 50 lebih kolam lele, milik dari tujuh belas warga. Masing-masing kolam berukuran 2x3 meter. Selain berkelompok, mereka membentuk komunitas petani lele. Warga bergiliran memberi makan, memanen lele, dan menjualnya ke pelanggan.

Menurut Ade, pendapatan dari ternak lele ini bisa mencapai hingga Rp1 juta dalam tiga bulan panen. Banyak warga yang ingin membeli lele dan datang ke sana. Selain lalat, nyamuk juga berkurang dengan adanya kolam lele ini. “Ada banyak nilai ekonomisnya, selain kesehatan jadi lebih baik lagi, banyak masyarakat yang tertarik,” ujar Ade.

Hal senada diutarakan Ketua RT 10 Rudi Suhandi. Menurutnya, dengan banyaknya warga yang beternak lele setidaknya dapat meningkatkan taraf hidup mereka. "Hasil yang didapat warga dengan membudidayakan lele dapat dijadikan salah satu penghasilan,” ujar Rudi yang juga pembina komunitas peternak ikan lele Kampung Apung.

Sukses dari berternak lele tidak hanya dirasakan warga Kampung Apung. Mereka juga menawarkan solusi ini ke kampung-kampung terapung di sekitarnya, yaitu warga di Kapuk Muara. Hasilnya, banyak masyarakat yang mencotoh komunitas peternak ikan lele Kampung Apung.

Ya, ternyata di balik musibah masih banyak hikmah yang didapat jika mau berbuat hal positif dari alam sekitar. Alam tergantung pada manusia itu sendiri, ramah pada lingkungan, alam pun akan memberikan berkah bagi kelangsungan umat manusia. Tapi sebaliknya, akan berujung musibah atau bencana jika tangan-tangan manusia merusak alam.

Comments