Kajian Islam dalam Perangkap Istilah


Beberapa waktu lalu, seorang doktor bidang sosiologi agama dari Jepang datang kepada saya. Ia bermaksud melakukan penelitian tentang umat Islam di Indonesia.

Kata dia, banyak orang Barat salah paham tentang kelompok “Islam fundamentalis” di Indonesia. Karena itulah, dia ingin meluruskannya. Menurutnya, dia punya banyak teman *Islam Fundamentalis* di ndonesia, yang tidakseperti dipahami oleh para peneliti di Barat.

Ia menceritakan ada seorang dosen di sebuah universitas di Barat yang mempunyai tolok ukur dalam menentukan,apakah seorang Muslim pro pada demokrasi atau tidak, kemudian bagaimana sikapnya terhadap pornografi. Jika seorang Muslim masih menolak pornografi, maka berarti dia tidak demokratis.

Walhasil, peneliti asal Jepang ini tampaknya impatik terhadap Islam dan ingin meluruskan kesalahpahaman orang - orang Barat dan Jepang terhadap Islam. Sayangnya, sebagaimana banyak peneliti sosial lainnya, si peneliti ini juga sudah terjebak kepada kerangka kajian (framework) Barat dalam meneliti masyarakat Islam. Dia, misalnya, sudah terjebak pemikiran dikotomis: membagi masyarakat Islam Indonesia menjadi dua bagian besar, yaitu: *Islam Liberal* dan *Islam Fundamentalis*.

Ketika dia meminta saya menulis satu artikel untuk bahan penelitiannya, saya katakan padanya, bahwa saya bukan liberal dan bukan fundamentalis. Saya Islam, Tidak pakai embel - embel. Dia kebingungan. Dan akhirnya, saya menolak untuk menulis sesuatu untuk penelitiannya, karena dia telah memasang perangkap untuk penelitiannya, bahwa seorang Muslim dipaksa untuk memilih tempat: liberal atau fundamentalis.

Itulah contoh para peneliti masyarakat Muslim yang terjebak dengan *framework* Barat dalam melakukan penelitian terhadap masyarakat Muslim. Padahal Islam
memiliki konsep dan istilah sendiri dalam meneliti masyarakat Muslim. *Islam mengenal istilah - istilah mukmin, kafir, fasik, munafik dan sebagainya*.
Harusnya istilah - istilah itu yang digunakan ketika meneliti masyarakat Muslim.

Tapi karena framework* Barat yang digunakan, maka istilah dan makna yang dihasilkan pun berbeda. Misalkan dalam masyarakat Islam dikenal konsep dan istilah *fasik*. Dalam konsep Islam, orang *fasik*tidak boleh didengar begitu saja ucapan dan
kesaksiannya. (QS 49:6). Ada istilah kafir, yang juga memiliki konsekuensi dalam hubungan sosial, baik dalam soal perkawinan, waris, makanan, kekeluargaan, dan sebagainya.

Dalam konsep sosial Barat, tidak dikenal konsep dan istilah *fasik*, sebab bagi masyarakat Barat yang sekular, orang tetap dihormati masyarakat, meskipun tidak pernah menjalankan aturan agamanya. Banyak ilmuwan Barat yang tetap dipuja dan dihormati meskipun tidak pernah menyembah Tuhan dan rajin berzina.

Konsep masyarakat seperti ini sangat berbeda dengan Islam, yang menjadikan ilmu dan amal serta akhlak sebagai pedoman untuk menilai seseorang. Sepandai apa pun seseorang jika akhlaknya bejat, maka ia tidak boleh ditempatkan sebagai orang terhormat dalam masyarakat Islam, karena dia berlaku fasik. Karena itulah, para ulama Islam dikenal sebagai orang yang tinggi ilmunya dan sekaligus sangat
tinggi tingkat ibadah dan akhlaknya.

Konsep masyarakat Islam seperti ini sangat berbeda dengan konsep masyarakat Barat, sehingga para ilmuwan sosiologi agama seharusnya tidak menggunakan *framework* Barat saat mengkaji masyarakat Islam.
Kita misalnya, juga tidak bisa menggunakan istilah - istilah Islam untuk diterapkan pada kaum non - Islam. Kita tidak bisa menyebut bahwa George W. Bush adalah Kristen yang *mukmin*, *shalih*, *muttaqin* dll. Andaikan George W. Bush mati dalam perang di Irak, tidaklah patut dia diberi gelar syahid.

Untuk kaum Kristen seperti Bush [entah, bisa jadi Yahudi tulen] bisa digunakan istilah khas dalam masyarakat Kristen, seperti *Kristen* Fundamentalis* , *Kristen**Konservatif* , *Kristen Kanan*, dan sebagainya.

Tahun 2006 lalu, Litbang Departemen Agama mengadakan penelitian tentang perkembangan paham - paham liberal keagamaan di Indonesia. Sayangnya, para peneliti Litbang Depag ini juga menggunakan framework* Barat yang dikotomis, yakni membagi umat
Islam menjadi dua kelompok: *Islam Liberal* dengan *Islam Fundementalis* atau konservatif dan sebagainya.

Misalnya,peneliti Depag yang meneliti paham eagamaan liberal di lingkungan UIN Jakarta, menulis: Gagasan - gagasan keislaman liberal tentunya sangat berbeda dengan pemahaman keislaman fundamentalis sehingga menimbulkan forum pemusuhan antara kalangan undamentalis dengan liberal ketika duduk satu meja pada forum - forum diskusiyang melibatkan kedua pihak.

Peneliti Depag yang melakukan penilitian di lingkungan IAIN Surabaya juga menulis kesimpulan: "Konflik pemikiran antara kalangan muslim liberal yang menurut saya adalah Islam rasional dengan kalangan Muslim kerdil yang menurut saya adalah Islam irasional mungkin harus dipahami sebagai konflik pemikiran biasa,karena dengan itu akan lahir dinamika keagamaan yang sehat, yang penting tidak
ada konflik fisik."

Peneliti faham liberal di lingkungan IAIN Sumatera Utara menulis dalam laporannya: Faham yang eringkali bertentangan dengan faham liberal adalah doktrin
konservatif yang secara sederhana menyatakan dukungannya terhadap pemeliharaan *status quo*.

Cara penamaan dikotomis ala Barat semacam ini ebenarnya sangat menjebak. Dari berbagai contoh tersebut kita bisa melihat, bagaimana kuatnya engkeraman pola pikir dikotomis yang dikembangkan para ilmuwan Barat dalam memandang masyarakat Muslim. Istilah - istilah yang berasal dari fenomena masuarakat Kristen diBarat kemudian dipaksakan masuk ke dalam *khazanah*keilmuan dalam studi keislaman.

Sangatlah tidak mudah menjebol hegemoni penggunaan istilah - istilah Barat dalam pemikiran dan Studi Islam yang sudah terlanjur mencengkeram otak profesor,doktor, dan peneliti di kalangan akademisi Muslim dewasa ini. Tetapi, parailmuwan Muslim tidak boleh menyerah dalam soal ini.

Ketua Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia
Adian Husaini

Comments