Nyanyi Sunyi Jurnalisme Perdamaian


Media massa di Indonesia pasca reformasi memasuki tahapan baru sebagai pers bebas, salah satu prasyarat untuk menjadi media yang profesional. Media massa di masa Orde Baru mengalami kendala untuk mewujudkan diri sebagai media yang profesional, karena salah satu syarat dasarnya belum terpenuhi, yaitu kebebasan untuk memperoleh informasi dan mewartakannya.

Kondisi di mana media berada di bawah kaki otoriterianisme kekuasaan, melemahkan media secara kuantitatif dan kualitatif. Pada masa Orde Baru, jumlah media massa masih bisa dihitung dengan jari, namun setelah reformasi 1998 seiring dengan lahirnya pemerintahan baru yang demokratis yang membebaskan penerbitan media, jumlah media langsung menggelembung. Namun sayangnya, kemajuan secara kuantitatif itu tak serta merta dibarengi dengan kemajuan kualitatif.
Bahkan banyak media yang menjadi penumpang gelap reformasi dan menyalahgunakan media. Mereka yang berselera rendah ikut-ikutan menerbitkan media yang menyajikan pornografi ringan sampai sedang. Banyak tabloid bergambar wanita cantik dengan busana setengah terbuka yang dijual secara bebas di tempat umum – yang memungkinkan anak-anak mengaksesnya.
Mereka yang beragama tetapi tak memiliki perspektif pluralisme menerbitkan media-media yang berisikan wacana keagamaan yang “mewartakan kebencian”. Media semacam ini ternyata pernah laku keras dan menduduki peringkat keterbacaan tinggi, bahkan lebih tinggi dari media seperti majalah Tempo. Media agama dari kalangan garis keras ini bisa dikategorikan pembonceng gelap kereta reformasi. Soalnya, mereka di masa Orde Baru tak pernah menampakkan batang hidungnya untuk berjuang dalam menciptakan pers bebas. Tapi begitu reformasi sukses, mereka bikin majalah yang bebas kebablasan.
Masih krisis
Pasca reformasi hingga sekarang, Indonesia masih mengalami krisis ekonomi yang mengakibatkan krisis multi dimensi. Kondisi itu juga menerpa dan mempengaruhi perkembangan media. Jumlah media memang banyak, tapi hanya sedikit yang sehat. Menurut laporan Aliansi Jurnalis Independen dua tahun yang lalu, di Indonesia hanya ada tiga media yang bisa dinilai sehat. Kriteria sehat yang dimaksud, mampu menggaji wartawannya dengan layak. Standar kelayakannya berapa, tak perlu dibahas di sini.
Kesejahteraan wartawan adalah salah satu prasyarat untuk membangun media yang profesional. Sekarang media di Indonesia masih berada dalam tahap membangun media yang profesional ini. Kebanyakan media masih berkutat untuk mampu menghidupi dirinya sendiri dan karyawannya. Mereka yang masih bisa bernafas termasuk beruntung, maklum karena gaji bulanan kalah kencang larinya dengan argo inflasi dan harga kebutuhan pokok.
Krisis ekonomi itu juga berpengaruh pada atmosfer kompetisi antar media. Masing-masing media tentu saja berpikir sebagai mesin industri. Dalam kacamata industri, pasar adalah segalanya. Pasar adalah raja yang selalu diintip seleranya. Banyak media yang menjadi budak pasar, dan hanya sedikit yang bisa mengkompromikan antara tuntutan pasar dan mempertahankan idealisme. Dan dari yang sedikit ini, mereka kadang-kadang tergelincir untuk bertindak tidak profesional, akibat manajemen yang buruk. Manajemen yang buruk biasanya akibat dari tipisnya dompet. Lagi-lagi krisis ekonomi penyebabnya.
Apa hubungan antara latar ekonomi dan “kebatinan” media tersebut dengan jurnalisme perdamaian? Tentu saja antara keduanya sangat berhubungan. Profesionalisme media — yang telah menguasai masalah ekonomi dan manajemen yang buruk sebagai akibat krisis ekonomi — menurut saya prasyarat untuk merambah ke jurnalisme perdamaian. Hanya media profesionallah yang mampu mengembangkan jurnalisme perdamaian.
Bagaimana tidak. Jurnalisme perdamaian — yang menuntut produk berita dari wilayah konflik atau perang tapi tetap berpihak pada kebenaran dan kemanusiaan — niscaya membutuhkan modal yang lebih bagi wartawannya. Modal yang lebih itu antara lain wawasan, kematangan pribadi, kesehatan yang prima, ketekunan dan kegigihan untuk memperoleh informasi yang berimbang dari banyak sumber dan lain-lain. Jadi, secara “biaya”, jurnalisme perdamaian tentu lebih mahal. Jurnalisme yang mahal ini hanya bisa diapresiasi oleh media yang profesional.
Secara paradigma, jurnalisme perdamaian hanya dilakukan oleh media-media yang berpikir “beyond” jurnalisme klasik. Dalam jurnalisme klasik, tugas wartawan adalah “melaporkan fakta apa adanya.” Fungsi media hanya menjadi cermin realitas. Bagi para pendukung jurnalisme perdamaian, pemaparan fakta-fakta saja tak mencukupi. Fakta-fakta itu membutuhkan cara pandang yang jernih (eyes bird view) sebelum disampaikan ke publik. Cara pandang yang jernih itu dihasilkan dari terkumpulnya data-data yang akurat dan memadai menyangkut akar konflik.
Dalam buku Jurnalisme Damai, Bagaimana Melakukannya karya Annabel McGoldrick dan Jake Lynch (Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 2002), jurnalisme damai – demikian istilah buku ini – didefinisikan secara umum: melaporkan suatu kejadian dengan bingkai (frame) yang lebih luas, yang lebih berimbang dan lebih akurat, yang didasarkan pada informasi tentang konflik dan perubahan-perubahan yang terjadi.
Sejarah
Adalah Johan Galtung, profesor studi perdamaian, yang pertama kali menggunakan istilah jurnalisme damai pada 1970-an. Galtung mencermati banyaknya jurnalisme perang yang mendasarkan diri pada asumsi yang sama seperti hanya wartawan meliput masalah olahraga. Yang ada cuma fokus tentang “kemenangan penting” dalam sebuah “permainan menang-kalah” antar dua belah pihak.
Johan Galtung kemudian mengusulkan agar jurnalisme damai lebih mengikuti contoh dalam liputan masalah kesehatan. Seorang wartawan kesehatan akan menjelaskan perjuangan yang diderita seorang pasien melawan sel-sel kanker yang perlahan-lahan menggerogoti tubuhnya. Wartawan ini akan menjelaskan kepada pembacanya tentang penyebab terjadinya kanker, termasuk gaya hidupnya, lingkungan sekitarnya, faktor genetik dan lain-lain – dan memberikan gambaran tentang kemungkinan penyembuhan penyakit tersebut dan hal-hal pencegahan yang bisa dilakukan sebelumnya.
Dari embrio Johan Galtung ini berkembang berbagai lembaga dan kegiatan yang mengembangkan jurnalisme perdamaian. Bahkan Universitas Sydney mulai 2002 membuka program master untuk bidang media perdamaian. Di Indonesia, menurut Rusdi Marpaung, direktur eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, jurnalisme perdamaian diperkenalkan melalui diskusi, lokakarya dan penerbitan buku sejak tahun 2000-an setelah banyak konflik lokal bernuansa agama muncul di Poso.
Harus diakui banyak media di Indonesia yang gagap melaporkan peristiwa konflik berbau agama seperti yang terjadi di Maluku sejak 1999. Maklum, konflik massif dan menjatuhkan banyak korban itu baru dialami Indonesia pasca reformasi. Di masa Orde Baru, konflik berbau agama semacam bisa diredam oleh militer di bawah suasana politik otoritarian. Ketika cengkeraman Orde Baru itu lepas, lepas juga konflik horisontal di masyarakat yang selama ini dipendam di bawah tanah.
Mantan Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta Prof. Azyumardi Azra dalam salah satu artikelnya mendorong agar media di Indonesia juga mulai menerapkan jurnalisme perdamaian, sebagai bagian dari upaya meredam konflik di masyarakat. Karena selama ini media, menurut Azyumardi, sering menyiarkan berita konflik dan analisis yang justru menyesatkan. Konflik dan kekerasan –apalagi yang membawa-bawa agama– lebih mendapatkan tempat dan prioritas daripada harmoni dan perdamaian, yang mereka pandang sebagai hal biasa yang tidak perlu lagi diberitakan. Sudah waktunya, media massa lebih mempraktikkan “peace journalism”, jurnalisme perdamaian, guna mengurangi konflik dan kekerasan, dan mewujudkan perdamaian. *

*) Artikel Kelik M. Nugroho ini pernah disampaikan dalam seminar jurnalistik damai yang diadakan Senat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Satya Negara Indonesia, Jakarta pada 14 November 2007. Secara pribadi, penulis diundang oleh Bambang Widyatmoko, dosen di kampus tersebut. Terima kasih mas Bambang dan panitia.

Comments