Teror Bom (Buku) dan Pseudo Intelektual


Empat bom buku sudah dikirim ke obyek/seseorang yang diinginkan untuk dimusnahkan. Berhasil tidaknya tujuan pembuat/pengirim bom karena memang belum dikehendaki yang Maha Kuasa. Artinya bahwa kehendak atau keinginan perancang aksi/perakit/pengirim bom tidak sama dengan kehendak yang Maha Kuasa. Ini seharusnya menjadi perenungan mereka pihak perancang aksi/perakit/pengirim bom yang bertindak sebagai hakim dan ‘tuhan’ bagi sesamanya.

Aspek menarik dari teror bom buku tersebut adalah pemanfaatan (ilmu) pengetahuan yang mampu memberi kemajuan dalam usaha melakukan teror. Perakit adalah seorang intelektual yang memungkinkan pemikiran menggunakan media buku dan ‘menggabungkan’ dengan rangkaian elektronik berpeledak. Intektual (intellectual) menurut Wikipedia adalah person who uses intelligence (thought and reason) and critical or analytical reasoning in either a professional or a personal capacity.

Perakit bom menggunakan kemampuan intelegensianya untuk merakit dan mengolaborasikan buku dan bom. Intelegensia (intelligence) adalah a term describing one or more capacities of the mind. In different contexts this can be defined in different ways, including the capacities for abstract thought, understanding, communication, reasoning, learning, planning, emotional intelligence and problem solving. Berdasarkan pengertian intelegensi tersebut, perakit bom adalah seorang intelektual yang memiliki intelegensia yang memadai untuk melakukan proses pembelajaran terhadap teknologi pembuatan bom.

Pertama, perancang aksi/perakit/pengirim bom mempunyai kemampuan mengabstraksikan pemikiran terkait dengan berbagai kemungkinan motivasi yang mendasari. Abstraksi pemikiran dilakukan terhadap reaksi terhadap situasi kekinian dan upaya pencapaian idealitas yang diyakini. Termasuk didalamnya olah pikir bagaimana menyesuaikan bom dengan kondisi yang pernah dilakukan dalam melakukan teror, yaitu teror ke gedung atau bangunan yang sudah sering diantisipasi oleh aparat negara. Olah pikir membentuk abstraksi untuk menciptakan bom yang sederhana dan belum pernah dilakukan di Indonesia.

Kedua, perancang aksi/perakit/pengirim bom mempunyai pemahaman yang relative utuh terkait dengan situasi yang melingkupi dalam perpolitikan Indonesia. Pemahaman terhadap situasi gerakan anti pluralisme yang menggejala dan ketidaktegasan pemerintah terhadap situasi keberagaman memancing pemikiran untuk ‘mengail di air keruh’.satu samppai dua bom yang dirancang untuk melakukan teror kemudian dilanjutkan dengan bom berikutnya untuk melakukan pengacakan motivasi pelaku. Pengacakan sekaligus pengalihan dari ide awal tujuan bom yang sesuai dengan ideology perancang aksi/perakit/pengirim bom.

Ketiga, perancang aksi/perakit/pengirim bom mempunyai kemampuan untuk membangun bahasa komunikasi yang efektif, yaitu pesan bahwa:

[1] Mereka, bom-phoria atau bom mania sedang berkomunikasi dengan (masyarakat/negara) Indonesia bahwa mereka masih ada atau tidak tenggelam dengan berbagai aksi heroik Densus 88.

[2] Jangan pernah bermain-main dengan pluralisme atau akan mendapat hadiah bom dari mereka. Dengan kata lain bahwa apabila ingin membangun pluralisme akan berhadapan dengan kelompok bom-phoria/bom mania.

Keempat, kemampuan berargumentasi juga dimiliki perancang aksi/perakit/pengirim bom. Terdapat berbagai alasan yang bisa dikemukakan sebagai dasar bagi mereka yang gemar dan bahagia melakukan teror. Dari alasan ideologis sampai dengan alasan materi semata, semua bisa dikemukakan untuk membela aksi teror yang dilakukan.

Kelima, kemampuan belajar. Mereka belajar dan mengalisis situasi, kemudian memanfaatkannya. Kemampuan mereka merakit bom sudah diakui dengan hasil karya yang sudah ‘dipublikasikan’. Bahkan mereka melakukan transfer of knowledge dengan tujuan agar ilmu merakit bom tidak punah dan dapat ‘melanggengkan’ aksi teror. Reproduksi teror sedang dilakukan ketika ada peralihan pengetahuan dari individu satu ke individu yang lain.

Keenam, kemampuan merencanakan. Perancang aksi/perakit/pengirim adalah perencana yang baik. Pilihan media buku untuk bom menjadi buktinya. Bahkan pilihan hari, sasaran, alamat, penggunaan kurir atau nomor hp merupakan hasil dari sebuah perencanaan matang. Kematangan perencanaan kemudian membuahkan hasil yaitu antara lain perhatian public tersita untuk mengkaji aksi mereka dan sampai saat ini aparat negara belum berhasil mengidentifikasi mereka.

Ketujuh, kemampuan intelegensi emosional. Kemampuan ini sedikit bisa dipertanyakan. Kemungkinan emosi mereka labil alias jiwa mereka mengalami gangguan, karena mereka hanya memikirkan pembalasan dendam. Atau sekedar melakukan teror untuk menimbulkan rasa takut bagi masyarakat dengan memberi kesan bahwa pemerintah gagal menjamin rasa aman.

Kedelapan, kemampuan memecahkan masalah. Dalam konteks pilihan media buku sebagai alat untuk menempatkan bom, perancang aksi/perakit/pengirim bom berhasil memecahkan masalah berkaitan dengan media yang sudah terendus oleh Densus 88. Bom buku adalah jawaban dari kesulitan melakukan teror bom dengan model ‘kuno’ seperti yang pernah mereka lakukan.

Berdasarkan kualifikasi diatas maka perancang aksi/perakit/pengirim bom adalah intelektual. Namun intelektual yang menggunakan pengetahuan dan kecerdasannya untuk melukai manusia lain. Pengetahuan dan kecerdasan yang tidak digunakan untuk mendatangkan kesejahteraan atau kebaikan bagi sesame atau kemanfaatan yang berwatak destruktif. Intelektual dengan kualifikasi adalah pseudo intelektual atau intelektual semu. Perancang aksi/perakit/pengirim bom mempunyai kapasitas intelektual namun mengandung watak semu atau samar sebagai intelektual. Pertama, kemanfaatan intelektualitasnya mendatangkan kerugian bagi sesama. Kedua, tujuan mereka tidak memberikan sumbangsih apapun selain korban jiwa atau ketakutan masyarakat.

Pseudo-intelektual bertindak seolah-olah seperti intelektual tetapi sebenarnya bukan. Ya, perancang aksi/perakit/pengirim bom bukan intelektual, meskipun mereka mempunyai kapasistas sebagai intelektual. Intelektual yang kebablasan, dimana penggunaan (ilmu) pengetahuan untuk menimbulkan rasa sakit bukan menyembuhkan rasa sakit, melahirkan kesengsaraan bukan memberikan kesejahteraan, menciptakan ketakutan bukan rasa aman.

Penulis: Yakub Adi Krisanto

Comments