Ada Pemilik Modal di Balik Insiden Kebumen


Penembakan terhadap sejumlah petani oleh aparat TNI AD di kawasan Urut Sewu, Desa Sentrojenar, Kecamatan Bulus Pesantren, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah pada tanggal 16 April 2011, mendapat beragam reaksi.

Konflik warga Urut Sewu dengan TNI AD sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1982. Rezim militer Orde Baru ketika itu, meminta warga membebaskan lahan pertaniannya seluas dua hektar untuk didirikan kantor Dislitbang TNI AD, yang posisinya berada di sisi timur pintu masuk Pantai Bocor.

Dalam perjalanannya, TNI AD malah memperluas klaim area latihannya mulai 250 meter dari bibir pantai menjadi 750 meter dari bibir pantai. Panjang area latihan itu pun sangat panjang, dari Sungai Wawar sampai Luk Ulo sepanjang 22,5 kilometer. Total areanya mencapai 1.050 hektare.

Dalam rilisnya, Perhimpunan Rakyat Pekerja (KP PRP) menyebutkan, selain polemik areal pelatihan tersebut yang ditolak warga, ternyata tanah yang luas tersebut menyimpan pasir besi berkualitas sangat bagus. Maka tidak aneh, sepanjang pesisir pantai Selatan Kabupaten Kebumen memang dijadikan sebagai kawasan penambangan pasir besi.

Sumber pasir besi ini berada di 15 desa dan berada di tiga wilayah kecamatan, yakni Kecamatan Mirit, Ambal, dan Buluspesantren. Namun sejak tahun 2009, warga menentang rencana eksploitasi pasir besi ini karena hanya akan merusak lingkungan dan areal pertanian warga.

Bahkan penolakan terhadap rencana eksploitasi ini juga pernah dilayangkan oleh DPRD Kebumen di bulan Mei 2009. Alasan penolakan sebagian besar anggota DPRD Kebumen tersebut antara lain, penambangan pasir besi akan merusak pantai Selatan dan menimbulkan erosi sehingga mengancam budidaya pertanian lahan kering warga.

Selain itu, pesisir kebumen rencananya akan dihijaukan sebagai salah satu langkah untuk menahan tsunami dan gelombang laut tinggi. Menurut Ketua Nasional Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), Anwar Ma’ruf, sudah sejak lama, warga petani di daerah tersebut menolak keberadaan pusat latihan tempur dan kawasan penambangan pasir besi ini.

“Argumentasinya sederhana, dengan adanya pusat latihan tempur dan kawasan penambangan pasir besi, maka kawasan pertanian warga menjadi rusak, kerusakan jalan, serta tidak adanya jaminan kesejahteraan,” katanya.

Walaupun penentangan warga terhadap eksploitasi pasir besi di enam desa wilayah pesisir Kecamatan Mirit tersebut sudah dilakukan, namun pemberian izin eksploitasi pasir besi oleh PT Mitra Niaga Tama Cemerlang Jakarta, akhirnya dilakukan oleh Pemda Kabupaten Kebumen pada tanggal 31 Januari 2011.

Sebab itu, Anwar menduga tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI AD pada tanggal 16 April 2011, jelas sangat terkait dengan perlindungan yang diberikan TNI AD kepada perusahaan penambangan pasir besi tersebut.

Hal ini sekali lagi menunjukkan keberpihakan aparat keamanan beserta rezim neoliberal kepada para pemilik modal. Bahkan demi mengeruk keuntungan sumber daya alam yang dilakukan oleh pemilik modal, rezim neoliberal akan memberikan ijin eksploitasi. Walaupun pemberian ijin eksploitasi tersebut akan berdampak pada kerusakan lingkungan dan keselamatan rakyatnya.

“Maka dari itu, kami dari Perhimpunan Rakyat Pekerja menyatakan sikap mengecam keras tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI AD kepada para petani di Kebumen,” tandas Anwar.

Rezim neoliberal yang dipimpin oleh SBY telah melakukan kebohongan publik dengan menyatakan tidak pernah ada pelanggaran berat HAM pada masa kepemimpinannya. ”Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh rezim neoliberal, melalui aparatnya, merupakan salah bentuk tidak adanya jaminan keamanan dan keselamatan bagi rakyat Indonesia di bawah kepemimpinan neoliberalisme,” pungkasnya.

Sementara itu, Kapuspen TNI Laksamana Muda Iskandar Sitompul mengatakan, Lahan yang masih dalam status sengketa itu sudah digunakan oleh TNI sejak dulu. Sejarah mengatakan bahwa di Kebumen itu dari zaman Belanda tahun 1947 memang daerah pertahanan,” kata Kapuspen TNI Laksamana Muda Iskandar Sitompul, kepada wartawan, Selasa (19/4/2011).

Sebelumnya, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono belum mencium adanya kesalahan prosedur yang dilakukan oleh prajurit TNI terkait insiden bentrokan dengan petani. Seperti diketahui, tindakan kekerasan TNI ini telah menyebabkan sedikitnya 13 warga tertembak, dan puluhan orang lainnya mengalami luka-luka akibat disiksa di Kantor Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) TNI AD, Desa Setrojenar.

Peristiwa ini sendiri berawal dari penolakan warga terhadap rencana TNI AD membangun fasilitas Pusat Latihan Tempur (PUSLATPUR) di atas tanah yang dinyatakan oleh warga sebagai tanah ulayat. Telah berbagai unjuk rasa dilakukan oleh ara warga untuk mencegah pembangunan fasilitas PUSLATPUR tersebut, hingga puncaknya pada tanggal 11 April 2011, beberapa warga membangun blokade.

Pembangunan blokade ini merupakan sikap penentangan terhadap TNI AD yang mengadakan kegiatan latihan di tempat tersebut. Warga hanya ingin kawasan Urut Sewu sebagai kawasan pertanian dan pariwisata.

Comments