Indonesia Butuh Kadi dalam Cerita 1.001 Malam


DALAM cerita Abunawas 1.001 Malam, kita mengenal adanya kadi yang menjadi hakim dalam memutus perkara. Dalam setiap memvonis, sang kadi ini selalu adil sehingga keputusannya dapat diterima masyarakat.

Para kadi ini tidak pernah berbuat nakal. Mereka adalah orang-orang tua yang berprilaku baik, taat beragama, bijak, selain sangat berpengalaman di bidangnya meski tidak bergelar sarjana hukum. Oh, indahnya negeri itu karena hakim dapat memberikan keadilan bagi masyarakat sesuai hukum. Karena, hakim dalam kehidupan masyarakat dipandang sebagai pemberi keadilan.

Masih banyak hakim yang terjerat kasus korupsi menjadi fenomena gunung es di Indonesia. Hanya sebagian kecil skandal suap para pengadil hukum ini terbongkar ke publik. Ada hakim yang melakukan kejahatan adalah wajar, karena hakim juga manusia biasa.

Dari catatan Komisi Yudisial (KY) saja terdapat 1.414 laporan dari masyarakat tentang dugaan pelanggaran hakim nakal telah diterima oleh KY, selama Januari hingga April 2011.

Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin Andi Tumpa mengaku kesulitan mengawasi kinerja hakim di seluruh Indonesia yang jumlahnya ribuan. Akibatnya, tidak sedikit hakim yang terjerumus tindakan melawan hukum. Kendati demikian, MA terus berupaya melakukan evaluasi terhadap maraknya oknum hakim yang kedapatan terkena kasus korupsi.

"Kita juga mempunyai keterbatasan-keterbatasan dan ini seperti yang selalu saya katakan pembinaan 35 ribu personil tidaklah mudah dan gampang. Ibaratnya sebuah pohon, katakanlah mangga, dia berbuah manis dan utuh tentu satu dua busuk atau dimakan kelelawar," papar Harifin.

MA, kata Harifin, sudah berusaha melakukan fungsi pengawasan terhadap ketua pengadilan di tingat pertama maupun tingkat banding. "Institusi yang kecil saja yang pegawainya tidak sampai seribu terjadi juga masalah-masalah seperti itu. Kita sudah berusaha untuk lakukan hal-hal seperti itu (pengawasan). Di samping pengawasan terpusat, juga mendelagasikan pengawasan kepada ketua pengadilan tingkat banding dan ketua pengadilan di tingkat pertama," tambahnya.

Peneliti ICW Donal Fariz menilai, persoalan oknum hakim nakal yang menyalahgunakan kewenangannya banyak terjadi di pengadilan daerah. Pemantauan yang minim dari media menyebabkan persoalan itu luput dari pandangan pemerintah.

Donal mengutarakan sepanjang 2009 hingga 2010 ada peningkatan 30 persen oknum hakim bermasalah. Hal itu disebabkan minimnya pengawasan internal maupun eksternal terhadap kinerja hakim. "Dari tahun 2009-2010 ada cacatan peningkatan 30 persen oknum hakim yang bermasalah. Khususnya di daerah yang minim pemantauan belum terungkap ke publik," kata Donal.

MA seharusnya memiliki rekam jejak hakim sebagai dasar pemberian hukuman atau penghargaan sesuai prestasi dan kapasitasnya. MA seyogianya menempatkan KY sebagai partner yang tangguh untuk mengawasi hakim-hakim di seluruh Indonesia. Sebab, jika pengawasan itu munculnya dari MA, dikhawatirkan malah memicu konflik kepentingan.

"Oleh karena itu dibutuhkan sebuah disain dari luar. Dibutuhkan pengawasan dari luar. Konstitusi memberikan kesempatan itu, tapi yang ada justru MA resistensi untuk diawasi," tambahya.

Terkait masalah ini, KY akan memperkuat pengawasan terhadap hakim sesuai amanat revisi UU No.22 Tahun 2004 tentang KY. Komisioner KY Taufiqurrahman Syahuri berharap, lembaganya bisa bertaring tajam dalam penjatuhan sanksi kepada para hakim.

"RUU akan memberikan KY kewenangan penyadapan, karena selama ini kelemahan di KY, antara pihak ketemu hakim itu cuma empat mata banyak dilakukan. Tetapi dia diundang oleh panitera pun tidak mengaku, jadi terputus, secara insting pasti iya tapi kan enggak bisa. Jadi begitu ada laporan, kita bisa pasang sadap. Ini baru diusulkan oleh DPR, tapi pemerintah belum jawab," katanya.

Selain itu, KY kata Taufiqurrahman, diharapkan dapat melalukan pemanggilan paksa terhadap saksi untuk kelancaran pemeriksaan terhadap kasus dugaan pelanggran hukum oleh hakim. "Kemudian tentang pemanggilan paksa saksi juga belum dibentuk, padahal itu penting. Kita bisa melakukan pemanggilan paksa panitera kalau dia enggak mau. Saksi juga disumpah, seperti di ombudsman dan KPI," tandasnya.

Anggota Komisi III DPR dari fraksi PDIP, Eva Kusuma Sundari meminta Mahkamah Agung (MA) segera mengevaluasi pelaksanaan blue print reformasi kelembagaan. Hal tersebut penting dilakukan oleh karena MA dianggap tidak mampu mengikis kultur korup di kalangan hakim.

"Titik lemah dari reformasi termasuk pembenahan pengelolaan anggaran di MA yang belum memfasilitasi adminstrasi kesejahteraan para hakim daerah," kata Eva.

Profesionalitas pengelolaan anggaran tersebut lanjut Eva diharapkan memperlancar remunerasi para hakim daerah dengan pemenuhan kebutuhan remunerasi yang masih harus dipenuhi Depkeu 30 persen. "Sehingga jangan hanya hakim ad hoc yang makmur tetapi juga hakim daerah termasuk yang adhoc," katanya.

Eva menambahkan, kewenangan KY perlu diperkuat, namun arahnya harus tetap pada pencegahan. "Dalam pembentukan revisi UU KY, DPR sudah menguatkan via pembentukan perwakilan KY di daerah plus penyadapan yang dalam pelaksanaannya harus bekerjasama dengan penyidik," tandasnya.

Dari uraian di atas, persoalan hakim nakal dalam jaringan mafia peradilan harus medapat perhatian besar dari semua pihak, karena menyangkut penengakan hukum, keadilan dan kebenaran. Hakim sebagai benteng terakhir keadilan, jangan sampai runtuh.

Selanjutnya, titik tolak dalam reformasi lembaga peradilan ini tidak sebatas memperkuat sistem pengawasan hakim, menaikkan gaji dengan kebijakan remunerasi. Namun dalam proses seleksi hakim juga harus benar-benar transparan dan akuntabel. Juga jangan dilupakan, tidak sekadar hakim pandai yang direkrut, tapi bermoral baik, bijak, taat agama seperti kadi model cerita Abunawas 1.001 Malam.

Comments