Insentif Kemalasan Itu Bernama Cuti Bersama


"PNS enak sih jadi anak emas, udah kerjanya nyantai banyak libur lagi," celetuk seorang kawan yang berkerja di bilangan Kebon Sirih, Jakarta Pusat.

Sebut saja, Adi Karyadi, karyawan swasta di sebuah perusahaan telekomunikasi itu terlihat agak ngedumel menanggapi rencana cuti bersama 3 Juni mendatang. "Cuti bersama hanya buat PNS malas aja," ujarnya lagi.

Apa yang dikemukan Adi, hanyalah ungkapan yang mewakili sebagian masyarakat yang sinis dengan dimanjanya PNS dengan cuti bersama. Memang cuti adalah hak bagi PNS yang diatur dalam undang-undang. Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat kembali memberikan cuti bersama kepada PNS pada Jumat 3 Juni 2011 mendatang.

Hal itu ditetapkan dalam keputusan bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, SBK Nomor: 03/2011,Ket.135/MEN/V/2011 dan SKB/02/M.PAN-RB/05/2011. Cuti bersama dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi, pelaksanaan hari kerja di dua hari libur. Selain itu cuti bersama menjadi momen untuk revitalisasi, rekreasi dan penyegaran bagi penyegaran dan keluarganya.

Kini pertanyaannya adalah apakah tujuan-tujuan tersebut sesuai dengan harapan? Artinya, produktivitas kerja PNS dalam melayani masyarakat membaik. Soal yang satu ini perlu ada penelitian yang lebih lanjut dan konprehensif. Pemerintah harus secara terbuka menjelaskan kepada publik, perhitungan untung rugi pemberlakukan cuti bersama.

Anggota Komisi II DPR, Ganjar Pranowo, menilai jika memang lebih banyak keuntungan yang bisa didapat publik, maka cuti bersama tidak masalah. Namun sebaliknya, jika cuti menurunkan produktivitas, maka harus dievaluasi. “Saya kira tidak apa-apa cuti, tapi kalau itu perhitungannya matang. Artinya, pemerintah punya pertimbangan dan perhitungan yang akurat mengenai keuntungan diberlakukannya cuti itu,” ungkap anggota Fraksi PDI Perjuangan ini.

Dia menjelaskan, pemberlakuan cuti di satu sisi dapat meningkatkan pendapatan di sektor pariwisata. “Belanja di sektor wisata akan meningkat,” imbuhnya seraya melanjutkan pegawai juga diuntungkan karena mereka dapat beristirahat. Hanya saja dia kembali menegaskan harus ada perhitungan yang rasional apakah peningkata di sektor wisata sudah sepadan dengan menurunnya produktivitas karena seluruh PNS libur.

Sejauh ini produktivitas PNS masih dipertanyakan, terlebih dengan kebijakan pemerintah yang gemar menetapkan cuti bersama. Banyak kritikan yang kerap terlontar agar pemerintah justru mengurangi cuti bersama.

Tanpa cuti bersama, produktivitas kerja di negara ini sudah sangat rendah. Studi Badan Pusat Statistik dan Lembaga Demografi Universitas Indonesia 2009 menyebutkan tingkat produktivitas pekerja Indonesia kalah jauh jika dibandingkan dengan pekerja di China. Di pabrik garmen, misalnya, seorang pekerja China mampu menghasilkan 90 celana per hari, sedangkan pekerja Indonesia hanya bisa menghasilkan 30-40 celana.

Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pada 2009 menempatkan Indonesia di urutan ke-83 dari 124 negara dalam produktivitas tenaga kerja. Salah satu akibatnya ialah rendahnya daya saing. Indonesia hanya menduduki peringkat 35 dari 75 negara yang disurvei International Management Development. Survei lain mengenai produktivitas bahkan menempatkan Indonesia di urutan ke-59 dari 61 negara atau ketiga terendah dari bawah.

Sementara laporan yang dilansir World Economic Forum pada 2009, menempatkan tingkat daya saing Indonesia di level 42 dari 57 negara. Hal ini mencerminkan buruknya kualitas daya saing. Pdahal untuk tingkat daya saing, Singapura telah jauh meninggalkan Indonesia dengan duduk di posisi 3, begitu juga Malaysia yang ada di posisi 18.

Dilihat dari level produktivitas seperti itu, kebijakan penambahan cuti bersama perlu dirumuskan kembali. Sejauh ini cuti bersama belum mampu memompa etos kerja dalam meningkatkan produktivitas. Cuti bersama sekadar insentif kemalasan yang mengerogoti produktivitas pekerja Indonesia, terutama PNS.

Terlebih cuti bersama ini ditetapkan secara mendadak, seperti kasus 16 Mei lalu. Alih-alih akan berdampak positif dalam mendongkrak angka kunjungan pariwisata, justru membingungkan dan mengganggu layanan publik. Cuti yang baik seyogianya menggugah inspirasi dan kreativitas, memacu vitalitas, serta mengembalikan spirit kerja.

Comments