Nazaruddin Tiru Siasat Nunun?


Nazaruddin yang bekas bendahara umum Partai Demokrat akhirnya ditetapkan menjadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan status tersangka ini, apakah Nazaruddin akan pulang ke Indonesia dari persembunyiannya di Singapura? Kecil kemungkinan Nazaruddin pulang dengan sukarela dan menjalani proses hukum sebai warga negara yang menghormati hukum. Pasalnya, tiga kali surat panggilan yang dilayangkan KPK, tak digubrisnya alias mangkir.

Apakah KPK harus melakukan pemanggilan paksa? Upaya ini bisa saja dilakukan. Namun untuk ke arah itu, KPK sepertinya harus "pandai-pandai" melangkahkan kaki. Bagaimanapun, Nazaruddin masih kader Partai Demokrat yang dididirkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden RI saat ini. Nazaruddin masih "anak buah SBY yang seharusnya ikut dalam gerbong pemberantasan korupsi di negeri ini.


Seperti diutarakan Wakil Ketua KPK M Jasin yang terkesan bingung melakukan upaya panggil paksa lantaran keberadaan Nazaruddin berada di luar wilayah yuridiksi hukum Indonesia. Kendati demikian, KPK masih memberikan harapan bisa menghadirkan Nazaruddin ke Indonesia melalui kerja sama dengan aparat hukum negara lain.

Cara panggil paksa ini apakah efektif? Ya, lagi-lagi tak jelas hasilnya. Ingatkan dengan kasus Nunun Nurbaiti yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.? KPK pun telah menarik paspor, mengeluarkan red notice dengan bantuan Interpol, tapi keberadaan istri dari mantan Wakapolri Adang Daradjatun tambah misterius seakan ditelan bumi.

Boleh jadi, politisi muda PD ini meniru gaya-gaya Nunun untuk mengelak jeratan hukum di tanah air dengan tinggal di "rumah aman" di luar negeri. Dalam hal ini, jika KPK tidak berhasil memboyong Nazaruddin, berarti ketidakberdayaan kedua kalinya setelah mulai "angkat tangan" memburu Nunun. Baik Nunun maupun Nazaruddin, sama-sama mendapat perlindungan dari "orang kuat."

Kalau sudah begini, cara seperti apa untuk menjemput koruptor yang sembunyi di luar negeri? Mengingat korupsi adalah kejahatan luar biasa extra ordinary crime, maka langkah-langkah yang dilakukan juga harus tidak biasa.

Dalam pandangan Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane, menjadi aneh, kenapa KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung, tidak menerapkan pendekatan yang dilakukan Densus 88 dalam memburu teroris.

Neta mengungkapkan dalam perburuan Nunun, KPK bisa merujuk pada yurisprudensi dalam penanganan kasus terorisme oleh Densus 88. Dalam kasus terorisme, Densus dengan cepat melakukan police line dan penggeledaan di rumah tersangka, selama berhari hari dan berkali-kali.

“Istri, anak, ayah, ibu, dan anggota keluarga tersangka dibawa Densus 88 ke kantor polisi untuk diperiksa berhari hari dan berkali-kali demi mendapatkan petunjuk dimana keberadaan tersangka,” paparnya.

Yurisprudensi ini, kata Neta, harus dilakukan KPK jika Adang tidak koperatif. Sebab, kejahatan korupsi tidaklah lebih terhormat ketimbang kejahatan terorisme. KPK dan aparat penegak hukum tidak boleh diskriminatif. “Korupsi dan terorisme adalah kejahatan yang sangat meresakan di negeri ini dan perlu keseriusan dan ketegasan untuk menindaknya,” tandasnya.

Comments