Puncak perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan krimaks pada 17 Agustus 1945. Indonesia memproklamasikan sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia.
Sejalan dengan berdirinya negara, para founding fathers sebelumnya sudah mempersiapkan tim khusus untuk merumuskan bentuk dan fasafah bangsa. Maka lahirnya Pancasila, pada 1 Juni 1945 sebagai dasar negara.
Pancasila adalah kristalisasi nilai-nilai budaya Indonesia, yang digali dari nilai-nilai luhur bangsa sejak zaman dahulu kala, dan kemudian dirumuskan dengan susah payah oleh para pejuang nasional di dalam rumusan sebanyak Lima Sila. Masing-masing sila mempunyai makna filosofis yang dalam bagi kepribadian bangsa Indonesia, di tengah kepungan globalisasi budaya internasional, regional.
Namun dalam perjalanannya, setelah 66 tahun merdeka, Pancasila seakan-akan tidak relevan lagi dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Eksistensinya mulai diragukan akibat tergerus praktik-praktik yang tidak Pancasilais, jauh dari nilai-nilai luhur dalam falsafah berbangsa dan bernegara. Muncul pertanyaan, apakah Pancasila sudah tak relevan lagi di era globalisasi ini? Apakah bangsa Indonesia masih memerlukan Pancasila. Apa yang salah dengan Pancasila?
Dalam momen peringatan lahirnya Pancasila, 1 Juni, okezone berbincang singkat dengan Penulis Sejarah JJ Rizal, mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana Anda memandang Pancasila?
Pancasila merupakan tali cinta dari proses gerakan kebangsaan sejak awal abad ke-20. Ideal culture Pancasila yang meliputi, kerukunan umat beragama, keadilan sosial, kedaulatan rakyat, kemanusiaan dan kebangsaan, adalah nilai-nilai yang menolak semua yang berasal dari kolonialisme. Maka nilai-nilai dasar dasar Pancasila penting sekali diingat dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagaimana realitas Pancasila saat ini?
Kalau kita lihat ukuran sekarang dari nilai-nilai hitortis Pancasila, akan ada kekekecewaan. Pancasila jadi kambing hitam untuk melegitimasi kekuasaan Orde Baru. Mereka mengaku Pancasilais, tapi dalam sikap dan prilaku politik Orde Baru sangat tidak Pancasilais. Dan puncaknya adalah 1998, menjadi masa paling buruk bagi Pancasila. Hari ini pun kita kehilangan fasafah yang menjadi landasan dalam mewujudkan tujuan keindonesiaan. Inilah hari penghianatan terburuk terhadap Pancasila, tidak ada kebebasan, tidak ada persatuan, keadilan. Prilaku politik jauh dari semangat keindonesiaan. Di sini, bukan Pancasila yang salah. Tak ada yang keliru dengan Pancasila.
Indonesia terpuruk, apakah kerena sudah jauh melenceng dari Pancasila?
Pancasila merupakan rumusan politik karena negara ini terbangun dari konsesi politik. Karena itu, semua aktor politik harus menceminkan dasar-dasar yang ada dalam lima sila itu. Jadi pandangan hidup para penyelenggara negara termasuk politikus harus berlandaskan Pancasila. Nah, ini yang kini sudah tak sejalan. Tidak ada keadilan, yang ada justru nilai-nilai keburukan dari aktor politik yang hanya mementingkan kelompok atau partainya, bukan kepentingan bersama untuk persatuan. Yang muncul malah feodalisme, korupsi, neokolonialisme. Kalau semasa Orde Baru menjadi hari buruk Pancasila, maka di masa reformasi ini lebih terpuruk lagi. Ya, Orde Baru-baru, karena mentalnya masih Orde Baru. Orangnya masih sama, hanya ganti baju. Jauh lebih buruk dan ganas. Memerkosa Pancasila, menggunakan Pancasila untuk melegitimasi tindakan mereka.
Masih adakah yang peduli dengan Pancasila?
Saya menghargai dari rekan-rekan yang masih berupaya mencari dan menggali kembali nilai-nilai luhur Pancasila, sebagai landasan hidup. Tapi usaha yang dilakukan perlu dengan penghayatan dan kilas balik dalam wacana politik dan berkebangsaan. Ini penting dalam rangka mewujudkan cita-cita keindonesiaan yang sejatinya. Itu harus dilakukan dengan gencar oleh semua pihak, termasuk kalangan intelektual. Sebab, saat ini tak ada partai yang benar-benar mengaktualisasikan Pancasila. Hanya ruang kosong saja dalam doktrin-doktrin yang sempit. Kampus atau universitas harus membantu meluruskan landasan moral ini dengan menafsirkan ulang Pancasila sesuai dengan tujuan dan cita-cita sebagaimana para pendiri bangsa ini dulu. Tapi jangan seperti 98 yang terbawa eforia kebebasan. Semangat mengamandemen konstitusi justru merusak tatanan bangsa. Undang-undang dirusak otomatis rusaklah Pancasila. Contoh yang paling nyata adalah amandemen Pasal 33 UUD 1945 yang melanggar Pancasila dan tidak sesuai kehendak rakyat. Hilangnya asas ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi. Dalam amandemen pasal ini, sarat kepentingan dalam persaingan pasar bebas.
Kritisi terhadap lembaga pendidikan dalam mengkristalisasikan Pancasila?
Yang pertama kali harus dirombak adalah Pusat Kurikulum. Harus segera direformasi. Pengajaran tentang Pancasila hanya doktrinasi, bukannya mewacanakan penggalian nilai-nilai luhur Pancasila. Akibat doktrinasi, Pancasila sebagai falsafah tidak berkembang karena sebatas hapalan.
Hari ini Megawati, dan SBY menyampaikan pidato kebangsaan di MPR terkait peringatan lahirnya Pancasila. Tanggapan Anda?
Saya tak mau berharap kepada mereka. Saya tak menyimpan harapan kepada Mega dan SBY. Harapan kita ditaruh diluar dua orang itu. Mereka ini gerasi tua yang gagal. Mereka sudah berada di puncak tinggi kekuasan, tapi kenyataannya negara menjadi seperti ini. Kita berharap kepada kelompok muda, kaum intelektual yang kembali menggaungkan dan membumikan Pancasila.
keren mas..
ReplyDelete