Seandainya Nunun & Nazarudin Teroris


Nunun Nurbaeti, tersangka dugaan suapcek perjalanan terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang dimenangkan Miranda Goeltom pada 2004, masih misterius walau sempat terendus di Kamboja.

Meski statusnya sudah ditetapkan sebagai tersangka, paspor ditarik, dan masuk daftar buronan Interpol di 188 negara, hingga saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum mampu membawa pulang Nunun ke Tanah Air guna menjalani proses hukum.

Juru Bicara KPK Johan Budi berjanji terus mengupayakan pencarian istri dari mantan Wakapolri Adang Daradjatun itu, untuk meminta keteranga langsung karena posisinya sebagai saksi kunci dalam membongkar kasus tersebut.

Kerenanya, KPK belum perlu memeriksa Adang yang juga anggota Komisi Hukum DPR untuk mengetahui Nunun ada di mana. KPK, kata Johan, lebih mengutamakan Nunun, dari pada keterangan pihak keluarga. Terlebih, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, keluarga berhak melindungi anggota keluarganya.

Mungkin hal inilah yang membuat Adang bersikukuh tak mau menyebutkan keberadaan istrinya. Bahkan dia siap pasang badan dengan mengambil risiko bila perlindungannya terhadap Nunun dijerat pidana.

"Boleh saja. Saya kan ikut proses penegakan hukum. Saya kan masyarakat biasa yang kebetulan dipilih anggota DPR. Jadi kalau saya yang mau diminta keterangannya silakan, tapi melalui satu proses hukum," kata Adang.

Menurut dia, perlindungan kepada Nunun agar informasi keberadaannya tidak diketahui merupakan bentuk kasih sayang sebagai suami-istri. Lagipula, Adang berkeyakinan istrinya itu tidak bersalah dalam kasus suap yang menyeret banyak anggota DPR.

Setali tiga uang, kasus Nunun ini tak jauh bedanya dengan perkara yang membelit mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin. Mereka berdua, tengah dalam proses hukum terkait dugaan korupsi yang kini sama-sama di luar negeri.

Bedanya, Nunun pergi ke Singapura kemudian tersiar kabar ada di Thailand, dan terakhir di Kamboja, awalnya untuk berobat setelah mengidap sakit lupa ingatan berat. Sementara Nazaruddin terbang ke Singapura, tepat pada hari pengumuman pemecatannya sebagai bendum PD, atau sehari sebelum surat cegah keluar dari imigrasi.

Sampai detik ini status Nazaruddin masih saksi. Dua kali surat panggilan dilayangkan KPK, tapi tidak digubris. Adapun elit Demokrat justru ada kesan melindungi kadernya itu. Jadi baik Nunun maupun Nazaruddin keberadaannya masih misterius dan sama-sama mendapat perlindungan dari orang-orang terdekat, sehingga tak tercium jejaknya oleh penengak hukum.

Tapi ada sedikit bedanya. Ketua Umum Forum Studi Aksi Demokrasi (Fosad) Faisal Riza Rahmat melihat ada yang mempolitisir kasus Nazaruddin. Seakan-akan Nazaruddin terlihat lebih terhormat di bandingkan Nunun.

Karenanya, dia mempertanyakan kenapa ada kesan seolah-olah KPK terus menguber Nunun, sedangkan Nazaruddin justru tidak segera dijemput pulang padahal ada rekan yang menjenguknya.

Kaburnya mereka yang tersandung kasus korupsi ke luar negeri dengan dalih berobat ini bisa dibilang modus untuk menghindar jerat hukum. Dan kasus yang melibatkan elit partaia atau petinggi negara, cara ini mungkin untuk memutus mata rantai kasus. Tujuannya, aktor intelektualnya tetap aman.

Model Gayus

Masih ingat dengan pelarian Gayus Tambunan ke Singapura? Dengan intervensi Istana-Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, mantan pegawai pajak golongan III A Ditjen Pajak dibujuk dan berhasil diboyong pulang kembali ke Tanah Air. Meski banyak pihak mencurigai ada motif lain dalam sepak terjang satgas bentukan Presiden SBY ini, toh akhirnya Gayus dapat dimejahijaukan.

Dalam kasus Nunun dan Nazarudin, dimanakah Satgas Atimafia Hukum tersebut? Sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Denny Indrayana menegaskan, tidak ikut mengawal kasus Nunun Nurbaetie dan Muhammad Nazaruddin, seperti pada kasus Gayus dahulu. Kali ini, satgas memilih mengedepankan KPK dalam proses pemulangan dan peradilan Nunun-Nazaruddin.

Denny menilai, kehadiran satgas akan kurang efektif jika ikut menangani kasus Nunun dan Nazaruddin. Karena KPK telah menanganinya, dan memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat dibanding Satgas. Sementara di sisi lain, kata Staf Khusus Presiden bidang Hukum ini, posisi satgas yang dibentuk oleh SBY juga kurang efektif jika memproses kasus Nazaruddin.

"Sisi lain kami menghindari kontra produktif, karena satgas kan ditunjuk Presiden, sementara Presiden, (ketua) Dewan Pembina Demokrat. Nanti ada yang tidak enak terkait Nazaruddin," aku Denny.

Ala Densus
Kalau sudah begini, cara seperti apa untuk menjemput koruptor yang sembunyi di luar negeri? Mengingat korupsi adalah kejahatan luar biasa extra ordinary crime, maka langkah-langkah yang dilakukan juga harus tidak biasa. Sama halnya dengan penanganan terorisme.

Menjadi aneh, kenapa KPK, kepolisian, dan Kejaksaan Agung, tidak menerapkan pendekatan yang dilakukan Densus 88 dalam memburu jaringan teroris? Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane mengungkapkan dalam perburuan Nunun, KPK bisa merujuk pada yurisprudensi dalam penanganan kasus terorisme yang dilakukan Densus 88. Dalam kasus terorisme, Densus dengan cepat melakukan police line dan penggeledaan di rumah tersangka, selama berhari hari dan berkali-kali.

"Istri, anak, ayah, ibu, dan anggota keluarga tersangka dibawa Densus 88 ke kantor polisi untuk diperiksa berhari hari dan berkali-kali demi mendapatkan petunjuk dimana keberadaan tersangka," paparnya.

Yurisprudensi ini, kata Neta, harus dilakukan KPK jika Adang tidak koperatif. Sebab, kejahatan korupsi tidaklah lebih terhormat ketimbang kejahatan terorisme. KPK dan aparat penegak hukum tidak boleh diskriminatif. "Korupsi dan terorisme adalah kejahatan yang sangat meresakan di negeri ini dan perlu keseriusan dan ketegasan untuk menindaknya," tandasnya.

Comments