Ironi Prita dalam Skandal Pelarian Nazaruddin


DI SAAT publik disuguhi kasus Nazaruddin yang kian menggurita dan seputar pelariannya di luar negeri, kita dingatkan kembali dengan Prita Mulyasari. Gerakan "Koin Prita Mulyasari" kala itu sempat menggemparkan karena begitu luasnya dukungan masyarakat, tak cuma di jejaring sosial sebagai simbol perlawanan atas ketidakadilan hukum dan dominasi kepentingan kapitalis terhadap rakyat kecil.

Saat itu, Prita bebas dari tuntutan pidana berkat simpati masyarakat yang sudah muak dengan hukum yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Namun tanpa disangka 30 Juni 2011, kasasi jaksa atas putusan Pengadilan Negeri Tangerang yang memvonis bebas Prita, dikabulkan majelis hakim Mahkamah Agung (MA).

Prita digugat ke pengadilan oleh RS Omni dengan tuduhan pencemaran nama baik, karena mengeluhkan pelayanan rumah sakit tersebut melalui email dan tersebar luas. Dalam sidang di PN Tangerang, Prita dituntut enam bulan penjara, namun hakim menyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari dakwaan.

Kini publik dihadapkan pada kasus Prita jilid dua. Prita kembali terancam dibui, meski masih ada upaya peninjauan kembali (PK). Putusan MA ini tak hanya mendapat reaksi dari berbagai kalangan di dalam negeri, media asing pun turut menyorot.

Sangat menggelitik ketika masyarakat menanti para penegak hukum segera mengakhiri masa pelarian Nazaruddin atau Nunun Nurbaeti, justru datang vonis yang lagi-lagi mengusik rasa keadilan. Sampai saat ini Nazaruddin entah ada di mana. Terakhir, imigrasi menginformasikan mantan bendahara umum Partai Demokrat itu sudah meninggalkan Singapura pada 20 Juni lalu.

Kabar terbaru, kader partai binaan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menginjakkan kaki di Ho Chi Minh, Vietnam. Sayangnya, tak ada jaminan Nazaruddin masih berada di Ho Chi Minh, lantaran bisa jadi sudah "jalan-jalan" lagi ke tempat lain dan memilih hidup nomaden daripada memenuni panggilan KPK. Bagaimana dengan Nunun, ya setali tiga uang. Nunun seakan ditelan bumi.

Untuk menjerat Nazaruddin dan Nunun memang bukan pekerjaan mudah. Kedua orang ini bisa jadi mendapat perlindungan dari orang kuat. Apalagi Nazaruddin yang sepertinya tak ingin dirinya sendiri yang menanggung aib tersebut. Kasus Nazaruddin ini sudah menggoyahkan kekuatan dan soliditas Partai Demokrat sebagai partai penguasa. Begitupun dengan Istana, ikut terseret-seret dan citranya dipertaruhkan. Dari tempat persembunyiannya, Nazaruddin "bernyanyi" soal dana haram yang masuk ke Demokrat plus para petingginya.

Bagaimana dengan Nunun? Tak jauh beda. Nunun mendapat perlindungan dari suaminya yang juga mantan Wakapolri Adang Daradjatun. Awalnya, Nunun pergi ke Singapura untuk berobat sakit lupanya yang katanya kian akut. Tapi hingga kini tak tahu ia ada di mana,yang lama-lama publik pun mungkin akan melupakannya sejalan munculkan kasus baru yang lebih besar.

Dan perkara Prita jilid dua ini seolah-olah ingin mengalihkan perhatin publik yang selama ini terus tertuju ke Istana, yang tersandera isu-isu miring dan kedodoran dalam menanganinya. Pitra yang tak berdaya, tanpa bekingan orang kuat, nasibnya kian terombang-ambing dalam banyak kepentingan.

Anggota Komisi Hukum DPR Aboe Bakar menyayangkan adanya anomali pada penegakan hukum di Indonesia. "Hukum kita sedang sakit, tajam ke bawah tumpul ke atas, coba lihat kasus Prita ataupun kasus Randy Ipad, bandingkan dengan kasus surat palsu MK, mafia pajak ataupun Century," beber anggota Panja Mafia Pajak tersebut.

Menurut Aboe, putusan kasasi MA menciderai rasa keadilan masyarakat, karena hukum dirasa tidak dapat melindungi kepentingan pasien. "Secara perdata Prita menang, namun pada perkara pidana dia kalah. Sungguh aneh memang," jelasnya. Seharusnya, kata politisi PKS ini, MA melakukan harmonisasi atas kasus tersebut. Sebab, MA merupakan muara seluruh perkara. "Ini merupakan tugas MA, di sinilah ujung keadilan itu dicari," ujar Aboe yang menyarankan Prita segera mengajukan PK.

Hal senada dikemukakan Ketua Komisi IX DPR Ribka Tjiptaning. Kasus yang menimpa Prita tidaklah melanggar hukum. “Hukum di Indonesia memang tak memenuhi rasa keadilan. Soal Prita selalu dikejar-kejar, tapi soal Nazaruddin malah dilepas,” kata Ribka. Sebab itu, anggota dewan lainnya, Martin Hutabarat berharap Jaksa Agung menunda eksekusi terhadap putusan kasasi Prita Mulyasari. Penundaan ini dilakukan sampai dengan keluarnya putusan PK yang rencananya akan diajukan kuasa hukum Prita.

"Putusan MA yang menyatakan Prita bersalah merupakan anti-klimaks dan tidak peka terhadap rasa keadilan masyarakat. Tanpa bermaksud mencampuri kewenangan MA, Martin mengatakan, seharusnya putusan MA memperhatikan rasa keadilan masyarakat," terang anggota komisi hukum DPR itu.

Kecaman juga datang dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). "Putusan 30 Juni 2011 yang menjatuhkan pidana pada Prita Mulyasari mengoyak rasa keadilan masyarakat. Saya geram dan muak atas putusan Mahkamah Agung itu. Itu menodai komitmen penegakan hukum atas dasar keadilan,” kata Komisioner Komnas HAM Saharuddin Daming.

Sementara advokat senior Adnan Buyung Nasution menilai apa yang dilakukan Prita hanyalah bentuk pengawasan publik terhadap suatu lembaga. Karena itu, dia meminta agar Mahkamah Agung menangguhkan hukuman bagi Prita. “Ini bukti kalau MA tidak peka dengan teknologi maju. Pokoknya MA harus menangguhkan Prita,” tandasnya.

Prita sendiri meminta kepada MA menunda vonis hukuman penjara yang dijatuhkan kepadanya. "Saya mohon dengan sangat, vonis itu ditunda. Saya tidak siap meninggalkan anak-anak dan kembali menempati tempat yang tidak saya kenal dan pernah saya tinggalkan dulu," pintanya.

Comments