SBY Tabuh Genderang Perang dengan Media


Kekuatan media massa memang tak bisa dianggap enteng. Sebagai kekuatan keempat, media massa bisa membuat orang yang sama sekali tidak dikenal mendadak naik ke puncak popularitas.

Pencintraan media telah banyak mengantarkan sejumlah pempimpin menduduki kursi kekuasaan. Tapi, karena media pula tak sedikit tokoh dan pemimpin yang jatuh ke titik nadir, kembali menjadi sosok yang tak berarti bahkan dibenci layaknya penjahat.

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tampil sebagai pemimpin nasional juga tak luput dari andil media massa yang membesarkan namanya. SBY yang saat itu masih menjadi pembantu Presiden Megawati Soekarnoputri, banyak mendapat dukungan dari media. Simpati publik pun mengalir deras kepada SBY, sehingga terbangun opini jika jenderal tentara ini menjadi pihak yang terzalimi oleh rezim penguasa saat itu.

Media yang mem-blow up perseteruannya dengan Mega mengantarkan SBY sebagai pendiri Partai Demokrat. Demokrat menjadi partai baru yang langsung meroket dan menduduki puncak kekuasaan tertinggi di negeri ini. Rayat dalam bilik-bilik pemungutan suara tak ragu menjadikan Partai Demokrat sebagai pilihannya yang dapat mengubah nasibnya.

Hubungan “mesra” pers dengan SBY ini terbangun pada masa-masa awal Demokrat bangkit, sebagai partai dengan platform baru untuk perubahan. Namun kini setelah berkuasa hampir dua periode, SBY seakan “alergi” dengan pemberitaan terutama yang menyorot Istana, Partai Demokrat, keluarga, dan kroninya.

Pemberitaan miring soal partai binaannya belakangan ini marak sampai membuat SBY harus angkat bicara. SBY menuding media massa kurang objektif dalam memberitakan konflik di tubuh Partai Demokrat. Sepertinya, SBY mulai menabuh genderang perang dengan pers. Sikapnya yang responsif terhadap media dinilai banyak kalangan kurang bijak sana, karena hanya mencari kambing hitam bukannya introspeksi diri.

Pembelaannya tersebut disampaikan SBY dalam jumpa pers di kediamannya di Cikeas, semalam, menanggapi pemberitaan dari kasus Nazaruddin yang terus menggurita dan menggelinding liar. SBY berpendapat, tidak sepantasnya media massa membuat berita yang bersumber dari pesan singkat (SMS) atau BlackBerry Messenger (BBM). Sebab, kata dia, data tersebut tidak bisa dipastikan kebenarannya.

“Banyak pemberitaan media massa termasuk media massa yang memiliki kredibilitas dan reputasi baik terus mendiskreditkan Partai Demokrat dari sumber SMS dan BBM. Saya tidak pernah paham dengan akal dan logika saya, berita dari SMS dan BBM menjadi judul besar dan tema utama yang menyolok,” ucap SBY.

Kritik SBY terhadap media tersebut dalam pandangan politisi Partai Golkar Bambang Soesatyo, tidaklah bijak sana. “Selama ini kita hanya penonton. Yang saling cakar dan saling jambak adalah diantara mereka sendiri. Jadi, sangat tidak bijaksana kalau kemudian menyalahkan pihak luar atau pihak lain,” ujarnya.

Sebagai mitra koalisi, kata Bambang yang juga anggota Komisi III DPR, pihaknya prihatin dan berharap masalah yang dihadapi Demokrat cepat berlalu. “Tidak bijaksana jika kemudian mencari kambing hitam atau menyalahkan orang lain. Lebih bijaksana jika segera dilakukan penertiban ke dalam,” jelasnya kembali.

Wakil Ketua DPR Pramono Anung bahkan mengingatkan jika SBY berhasil menjadi presiden karena topangan media massa. “Jangan lupa, Pak SBY menjadi presiden pertama dan kedua karena media yang membesarkan, jadi enggak perlu media disalahkan,” ujar politisi PDIP itu.

Hal senada diutarakan Ketua Dewan Pers Bagir Manan. Menurut Bagir, tidak ada yang salah dengan media massa belakangan ini yang memberitakan kisruh di tubuh partai pemenang di 2009 tersebut. Kata Bagir, wartawan selama ini masih on the track. “Kami berpendapat, pemberitaan soal Demokrat masih di dalam fungsi jurnalistik, karena berita itu semua berdasarkan fakta. Hanya barangkali ada perbedaan persepsi soal pengertian fakta,” katanya.

Mantan Ketua Mahkamah Agung ini fakta jurnalistik itu tidak harus secara materil dibuktikan kebenarannya, seperti yang terjadi dengan BBM Nazaruddin atau SMS Marzuki Alie. Sebab, lanjut dia, yang bertugas untuk mencari tahu kebenaran pesan elektronik tersebut asli atau tidak bukanlah tugas jurnalis, melainkan pihak berwajib. “Jurnalis juga tidak selalu harus ketemu dengan narasumbernya. Salah satu fungsi pers memang mengawasi politik seperti menyoroti kinerja wakil rakyat dan korupsi pejabat,” pungkas mantan Ketua Mahkamah Agung ini.

Comments