Melongok Tren Musala di Mal


Sudah tiga hari ini umat Islam di Indonesia mulai menunaikan ibadah puasa Ramadan yang didahului dengan salat tarawih, semalam. Bagi Muslim, datangnya bulan suci adalah yang ditunggu-tunggu.

Ramadan adalah bulan berkah, bulan penuh ampunan, dan pahala berlipat ganda untuk setiap amalan yang diperintahkan Allah SWT. Di sambut dengan hati gembira untuk menyonsong kemuliaan diri di hari fitri, setelah sebulan penuh ditempa ibadah saum.

Nuansa Ramadan memang sudah terasa di setiap rumah-rumah Muslim, masjid-masjid, dan musala. Dalam tayangan televisi pun, marak dengan sajian khas tahunan dari mulai sinetron religi, ceramah agama, liputan khusus Ramadan, dan sebagainya.

Pusat perbelanjaan sepertinya tak mau kalah, terlebih kebutuhan konsumsi masyarakat jelang puasa sampai hari raya Idul Fitri dipastikan melonjak. Hukum pasar pun berlaku, kenaikan harga kebutuhan pokok selalu mengiringi momen ini.

Tak pelak, pemandangan di pasar tradisional sampai pusat perbelajaan modern atau mal ramai dengan warga yang berbelanja. Pesta diskon pun digelar besar-besaran di berbagai pusat perbelanjaan untuk menjaring pembeli sebesar-besarnya.

Keberadaan mal saat ini tidak lagi menjadi tempat untuk berbelanja, tetapi tidak dipungkiri juga telah menjadi tempat rekreasi baik bagi yang sudah berkeluarga ataupun yang sedang mencari keluarga. Adanya beraneka merchant dan tenant -mulai dari tempat belanja, makan, hiburan keluarga, dan lainnya menjadi salah satu faktor orang betah untuk berlama-lama di mal.

Mayoritas pengunjung mal, karyawan, dan tenant biasanya muslim yang harus melaksanakan kewajiban salat lima waktu. Salat adalah ibadah paling utama dalam ajaran Islam. Perintah salat bahkan diabadikan dalam peristiwa Isra' Mi'raj. Salat juga menjadi penentu semua amalan Muslim saat hari penghisaban di akhirat nanti. Nah, selama puasa, ibadah wajib ini juga sebaiknya menjadi perhatian utama semua pihak.

Karena setiap Muslim memiliki kewajiban untuk menjalankan salat di manapun berada, di tengah kesibukan sekalipun, maka masjid atau musola di pusat perbelanjaan adalah jawabannya. Sebagai fasilitas umum terlebih di negeri mayoritas penduduknya Islam, tentunya sebuah kesadaran dari pengelola mal atau pusat perbelanjaan menyediakan tempat ibadah bagi para pengunjungnya.

Pengunjung berhak memperoleh sarana umum dan kenyamanan, dan keamanan termasuk di dalamnya tempat ibadah, ketika banyak uang yang mengalir dari kocek pembeli. Selain itu, di negara Muslim ini tren musala di mal memang seharusnya terjadi. Mendirikan masjid atau langgar yang layak dengan manajemen baik adalah sebuah keniscayaan.

Karena sejatinya, manajemen mal ingin pengunjungnya tak perlu beranjak ke mana-mana dan menghabiskan uangnya di mal tersebut. Jika pengunjung keluar mal untuk menunaikan salat dan tidak kembali, bisa jadi ini kerugian. Apalagi dengan situasi lalu lintas Jakarta yang semrawut, tempat parkir penuh, keluar mal sama artinya dengan meninggalkan mal untuk selamanya.

Maraknya pembangunan pusat perbelanjaan di Ibu Kota dan sekitarnya, juga memunculkan fenomena musala ekslusif di mal-mal elit. Sarana ibadah di mal kalangan jetset ini memang patut diancungi jempol. Dibangun megah, eksklusiif, dan berkelas, sehingga menjadikan pengunjung nyaman dan betah.

Sayangnya, tak semua mal di Jakarta menyediakan musala yang membuat para penggunjung diistimewakan. Ternyata, masih banyak mal yang ala kadarnya menyediakan sarana ibadah. Bertolak belakang dengan kemegahan gedungnya, karena musala hanya sebatas pelengkap.

Lokasinya sulit dijangkau pengunjung. Tempatnya sempit dan sumpek lantaran berada di bagian paling bawah. Tepat berdampingan dengan are parkir. Pengelola menempatkan musala layaknya tempat buang hajat. Bahkan fasilitas pelepas hajatnya jauh lebih baik dari musalanya yang nyempil di pojokan gedung.

Keberadaan sarana ibadah di mal sudah seyogianya menjadi perhatian semua pihak terutama pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Pengelola gedung perbelanjaan juga harus sadar tempat ibadah adalah kewajiban yang harus diperhatikan demi kepentingan umum.

Sudah saatnya pengelola beranggapan keberadaan musala dapat menjadikan nilai tambah, jangan berpikir kapitalis yang mengejat keuntungan materi belaka. Semestinya keberadaan musala yang nyaman dapat menjadi bagian dari konsep corporate social responsibility dari mal tersebut. Selain itu, dalam jangka panjang hal ini justru akan meningkatkan image dari mal itu sendiri.

Dalam hal ini, Pemerintah DKI Jakarta dan pemerintah daerah sekitarnya, perlu mengeluarkan aturan khusus terhadap pengadaan sarana ibadah di mal dengan standardisasi. Harapannya keberadaan saran ibadah ini layak bukan sebatas pelengkap, tapi menjadi bagian pengelolaan mal itu sendiri. Menempatkan musala layaknya tempat hajat.

Di samping itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sejatinya memberikan pembinaan terhadap para pengelola masjid atau musala pada umumnya, dalam menjaga kebersihan dan kesuciaan tempat ibadah. Sebab, masih ada pengelola musala yang kurang mempedulikan kebersihan, apalagi pengunjung yang tak disiplin sehingga tampak kotor dan kumuh. Kesucian menjadi kunci utama dalam ibadah salat.

Comments