Contohlah Australia, sapi pun dibela!

Pemerintah Indonesia sepertinya perlu berkaca dari sikap pemerintah negara lain yang sangat memedulikan keberadaan nasib warga negaranya di luar negeri. Tak terkecuali, warga negara tersebut berkasus atau terlibat tindak pidana di negara lain, tetap mendapat pembelaan dan perlindungan. Baru-baru ini seperti diperlihatkan pemerintah Australia, terkait kasus LM, remaja berusia 14 tahun asal New South Wales. Dia ditangkap polisi Indonesia, karena kedapatan membawa ganja seberat 6,9 gram. Penangkapan ini pun ramai diperbincangkan sejumlah media Australia. Bahkan Perdana Menteri Kevin Rudd turun tangan dalam upaya membebaskan remaja itu dari tahanan. Rudd langsung berkoordinasi dengan pihak Konjen Australia di Bali. Dikatakan, LM tengah depresi berat terus menangis karena ditahan pihak kepolisian Bali. Bahkan, Rudd sudah memerintahkan Kedubes dan Konjen Australia agar memprioritaskan penyelesaian dan secepatnya membebaskan anak tersebut, kata juru bicara Kementerian Luar Negeri, seperti dilansir News.com.au, pada Kamis 6 Oktober 2011. LM ditangkap petugas Direktorat Narkoba Polda Bali pada Selasa, 4 Oktober lalu, saat tengah berlibur bersama keluarganya di Pantai Kuta, Badung, Bali. Kini dia mendekam di tahanan Mapolda Bali. Informasi lain menyebutkan, LM ditangkap di Jalan Padma, Legian, Kuta, saat hendak kembali ke hotel. Barang haram itu disembunyikan di saku celananya. Kendati polisi belum bersedia merilis kasusnya, namun berita tersebut telah menyita perhatian publik Australia. Memang kontras jika membandingkan soal perlindungan warga negara yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan negara luar, seperti Malaysia, Amerika Serikat, atau Australia. Hal ini diakui Direktur Migrant Care Anis Hidayah saat berbincang dengan Sindonews.com, Jumat (7/10/2011). "Masih ada diskriminasi antara warga sipil biasa atau kaum buruh dengan pejabat atau mahasiswa ketika ada persoalan. Kalau yang bermasalah itu pejabat, cepat responnya, tapi buat TKI bisa Anda lihat sendiri, sampai tewas digantung seperti Ruyati," ungkapnya. Menurut dia, lemahnya perlindungan negara terhadap WNI yang berada di luar negeri, terutama buruh migran karena bebera persoalan. Anis merinci, pertama tidak ada kebijakan yang baik dan benar-benar memproteksi hak-hak WNI yang berada di luar negeri. Kedua, tidak didukung dengan good goverment yang baik. Sebab, selama ini kesan di birokrat itu lamban dan reaktif jika ada kasus WNI di luar negeri. Ketiga, lemahnya diplomasi Indoensia di mata negara lain. "RI belum bisa menunjukan diplomasi yang efektik dalam menyelesaikan kasus-kasus WNI di luar negeri. Kalau negara lain seperti Australia, dia langsung koordinasi, bahkan hingga perdana menterinya pun langsung turun tangan menangani. Indonesia semestinya seperti itu dalam membela WNI di luar negeri," paparnya. Keempat, soal penegakan hukum yang belum jalan. Aturan-aturan yang ada dalam praktiknya tidak dijalankan sepenuhnya. "Akibatnya kita terus melihat kasus-kasus WNI yang dipancung atau dianiaya di negara penempatan. Tak cuma itu, masih diskriminatif. Coba saat Libia tegang, evakuasi buat pejabat dan mahasiswa pakai pesawat, tapi untuk TKI pakai kapal," urai Anis. Selain itu, secara undang-undang kebijakan buruh migran di luar negeri masih bicara soal bisnis, penempatan TKI, bukan perlindungan menyangkut hak-hak dan jaminan-jaminan seperti mendapatkan gaji layak, memperoleh informasi memadai, dan sebagainya. Tak hanya dalam kasus LM, sebelumnya Australia memperlihatkan pembelaan yang gigih terhadap warganya. Bahkan langsung di depan Presiden SBY, Perdana Menteri Australia Julia Gillard membicarakan nasib warga negaranya yang terlibat kasus narkoba, Schapelle Corby. Gillard menyatakan dukungan terhadap upaya grasi yang diajukan warga negaranya. Schapelle Leigh Corby (33) adalah mantan pelajar sekolah kecantikan dari Brisbane, Australia, yang ditangkap membawa obat terlarang di dalam tasnya di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, pada 8 Oktober 2004. Di dalam tas Corby ditemukan 4,2 kilogram ganja. Corby divonis 20 tahun penjara, dan telah mengajukan grasi. “Saya sebagai Perdana Menteri Australia, juga berbicara hari ini kepada presiden tentang hal-hal yang melibatkan beberapa warga Australia, terutama Miss Schapelle Corby dan menunjukkan dukungan pemerintah Australia untuk permohonan pengampunan,” kata Gillard dalam jumpa pers bersama di Istana Merdeka, Jakarta, 2 November 2010. Gillard juga membela sembilan warga negara Australia yang kerap disebut Bali Nine. “Seharusnya penyelesaian proses hukum mereka disamakan dnegan warga Australia yang menghadapi hukuman mati. Pada titik itu, pemerintah Australia akan menunjukkan dukungannya untuk mendapatkan pengampunan,” kata perdana menteri wanita pertama Australia itu. Keseriusan dalam membela kepentingannya juga ditunjukan menteri pertaniaan Australia yang langsung memutuskan tidak mengekspor sapinya lagi ke Indonesia. Hal ini terjadi setelah melihat cara pemotongan tidak sesuai standard yang berlaku di negaranya. Soal binatang yang diperlakukan tidak sesuai standar negaranya, Australia protes keras, apalagi menyangkut warga negaranya. Yang jelas-jelas divonis bersalah oleh pengadila pun tetap dibelanya. Bagaimana dengan Indonesia? Semoga tak ada lagi Ruyati lainnya yang dipancung!

Comments