Jangan tunda, ayo lindungi ibu kota dari air bah

Masih ingat dengan bajir besar tahun 1996, 2002, dan 2007 yang nyaris "menenggelamkan" Jakarta? Nah, jika melihat dari siklusnya mungkin pada 2012 ancaman banjir besar bisa saja terulang kembali. Kendati secara imliah banjir lima tahunan ini tidak terbukti, tetap harus diantisipasi. Sehingga, kondisi Jakarta "lumpuh" akibat dikepung air bah tidak "mematikan" aktivitas warga kota. Sebenarnya apa penyebab Jakarta banjir? Banyak perubahan telah terjadi sejak tahun 1920-an. Kondisi alam Jakarta berubah drastis akibat pertumbuhan penduduk dan perluasan kawasan permukiman, serta industri. Jika sebelumnya curah hujan dapat meresap ke dalam tanah dan sisanya tersalurkan ke sungai, pembangunan masif telah menutupi wilayah resapan air. Akibat luas daerah yang tidak terbangun semakin lama semakin menyempit, curah hujan yang terjadi di Jakarta sekarang langsung tersalurkan ke sungai dan saluran-saluran air lainnya untuk kemudian dialirkan ke laut. Tak cuma itu, dampak perubahan iklim global pada Kota Jakarta adalah kenaikan paras muka air laut. Pemuaian air laut dan pelelehan gletser, serta lapisan es di kutub menyebabkan permukaan air laut naik antara 9-100 cm. Kondisi ini dapat mempercepat erosi wilayah pesisir, memicu intrusi air laut ke air tanah, dan merusak lahan rawa pesisir, serta menenggelamkan pulau-pulau kecil. Kenaikan tinggi muka air laut antara 8-30 cm akan berdampak parah pada Jakarta yang rentan terhadap banjir dan limpasan badai. Di Ibu Kota, masalah ini diperparah dengan turunnya permukaan tanah akibat pendirian bangunan bertingkat dan pengurasan air tanah secara berlebihan. Hasil penelitian dari Institut Teknologi Bandung (ITB) juga menunjukan, adanya kecenderungan kenaikkan muka air laut. Pada 1925, kondisi muka laut di Teluk Jakarta tercatat 51,19 cm. Pada 1950 atau 25 tahun berikutnya, muka laut bertambah 14,37 cm. Pada 25 tahun selanjutnya (1975), terjadi kenaikan muka laut 14,38 cm. Jumlah kenaikan muka laut Teluk Jakarta setiap 25 tahun berada di kisaran 14,37 cm, atau rata-rata kenaikan per tahun 8 mm. Berdasarkan asumsi tersebut, pada 2050 diperkirakan muka laut di Teluk Jakarta akan mencapai 1,23 meter. Seadainya itu jadi kenyataan, mengerikan bukan? Kalau sudah begini, lalu apa yang bisa dilakukan? Pemerintah DKI Jakarta sebenarnya punya agenda dalam pengendalian dampak banjir ini. Gubernur Fauzi Bowo dalam buku "Mengapa Jakarta Banjir" terbitan tahun 2000 menyebutkan, Jakarta tidak mempunyai pilihan kecuali bersinergi dengan alam. Kota ini dialiri 13 sungai dan 40 persen daratannya berada di bawah muka laut pasang. Laju penduduk Jakarta pun pesat sehingga tekanan pada alam Jakarta berdampak pada pengelolaan serta pengendalian banjir. Sinergi ini meminta semua pemangku kepentingan baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah di sekitar DKI Jakarta, untuk bekerja sama guna mengendalikan banjir. Menurut Foke-biasa disapa, ke depan targetnya adalah mengurangi banjir sebanyak 40 persen di tahun 2011 dan sebanyak 75 persen pada 2016. Ini bukan mimpi. Pemerintah DKI sudah membuat perhitungan. Yakni, peningkatan kapasitas daya tampung Kanal Banjir Barat dan pengerukan akan menyebabkan air bisa lebih cepat dialirkan ke laut. Meskipun demikian pencapaian target ini akan sangat bergantung pada masyarakat yang membantu dengan tidak buang sampah di kali. Kendati demikian, usaha-usaha ini tidak sepenuhnya menjamin Jakarta akan bebas dari banjir, jika dalam implementasinya tidak sesuai terget. Terlebih, ancaman banjir Jakarta ini bukan hanya imbas curah hujan tinggi, tapi air pasang atau rob, dan abrasi yang menyebabkan penurunan permukaan tanah. Masih ingat dengan ambrolnya Jalan RE Martadinata. Jalan penghubung Ancol-Tanjung Priuk ini ambrol sedalam 7 meter dan lebar 100 meter. Atau penurunan permukaan tanah di wilayah Jakarta Utara, tepatnya di Dermaga Lama (Ujung) Muara Angke, seluas 400 meter persegi, sedalam 20 cm. Penurunan tanah ini diakibatkan abrasi. Jika tak ada upaya serius, kejadian serupa bisa menimpa wilayah lainnya yang rawan abrasi. Untuk membentengi pantai di Jakarta dari abrasi, Gubernur Fauzi Bowo sudah mencanangkan Sabuk Hijau Restorasi Hutan Lindung di Angke, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, 2 Agustus 2009 silam. Kegiatan ini dilakukan bertepatan dengan hari lingkungan hidup sedunia dan ulang tahun ke-482 Jakarta. Kawasan restorasi hutan Muara Angke yang berada di utara Jakarta, terdiri dari suaka margasatwa, hutan lindung serta taman wisata alam ini merupakan satu-satunya benteng penyelamat kota Jakarta atau sabuk hijau (green belt). Kawasan hutan bakau ini merupakan lahan basah sekaligus ekosistem yang melindungi keanekaragaman hayati pesisir yang masih tersisa di Jakarta. Selain itu, keberadaan mangrove di kawasan itu juga berfungsi untuk melindungi pantai dari abrasi air laut. Program ini merupakan bagian dari program jangka panjang rehabilitasi/restorasi hutan mangrove dalam konteks Program Revitalisasi Pantai Lama Pantura Jakarta. Sabuk hijau seluas 334,7 hektare ini juga tersebar di beberapa wilayah, yakni kawasan Hutan Lindung Angke 44,76 hektare, Taman Wisata Alam Angke 99,82 hektare, Kebun Bibit Angke 10,51 hektare, Suaka Marga Satwa Muara Angke 25,02 hektare. Termasuk juga kawasan Transmisi PLN 23,7 hektare, kawasan Cengkareng Drain 28,39 hektare, Jalan Tol Sedyatmo dan Jalur Hijau 95,50 hektare dan Ecomarine Tourism Muara Angke seluas 7 hektare. Dengan program ini, Pemprov DKI Jakarta bertekad memperbaiki kualitas pesisir di kawasan barat Pantai Utara Jakarta. Kegiatan ini melibatkan berbagai stakeholders mulai dari masyarakat nelayan, lembaga pendidikan, pemerintah pusat dan daerah, hingga lembaga swadaya masyarakat, dan swasta. Peran swasta Selama setengah abad terakhir ini, dunia bisnis telah menjadi institusi paling berkuasa. Setiap institusi yang paling dominan di masyarakat manapun harus mengambil tanggung jawab untuk kepentingan bersama, sehingga setiap keputusan yang dibuat oleh institusi, dan setiap tindakan yang diambil haruslah dilihat dalam kerangka tanggung jawab tersebut. Pada dasarnya, tindakan korporasi membawa dampak terhadap kualitas kehidupan manusia, terhadap individu, masyarakat dan seluruh kehidupan di bumi ini. Fenomena inilah yang kemudian memicu munculnya wacana tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility–CSR). Pelaksanaan CRS tidak hanya pada perusahaan industri yang menghasilkan dampak negatif pada lingkungan dan masyarakat, tetapi juga sektor-sektor lain seperti: jasa, asuransi, komunikasi, lembaga keuangan bank, dan bukan bank. Sektor perbankan diharapkan tidak hanya melaksanakan tugas-tugas utama perbankannya melainkan juga diminta untuk tetap memiliki kepedulian terhadap lingkungan sebagai wujud CSR-nya. Kepedulian kepada masyarakat sekitar atau relasi komunitas dapat diartikan sebagai peningkatan partisipasi dan posisi organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya kemaslahatan bersama bagi organisasi dan komunitas. Hal itulah yang mendorong beberapa bank di Indonesia untuk melaksanakan berbagai program atau kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan sosialnya. Seperti misalnya, PT Bank Internasional Indonesia Tbk (BII) yang memiliki kegiatan CSR-BII Berbagi. Presiden Direktur BII, Ridha Wirakusumah dalam siaran persnya mengatakan, CSR "BII Berbagi" fokus pada tiga bidang, yakni lingkungan dan kemasyarakatan, kegiatan mendukung hidup sehat, serta pendidikan dengan tetap memiliki kepekaan terhadap situasi yang terjadi di tanah air seperti jika terjadi bencana alam. Di bidang lingkungan dan kemasyarakatan, direksi, komisaris dan karyawan BII bersama Chairman Maybank Group, Tan Sri Dato Megat Zaharudin bin Megat Mohd Nor melakukan penanaman 750 pohon mangrove di Hutan Arboretum Angke Kapuk pada 14 Mei 2010. Ini merupakan langkah awal dari komitmen BII untuk menanam 7.500 pohon bakau di seluruh Indonesia yang dilakukan melalui Kantor Pusat BII beserta delapan kantor regional BII, yakni regional Sumatera, Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara serta kawasan timur Indonesia meliputi Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. "Komitmen untuk melestarikan kawasan pesisir pantai di Indonesia dengan menanam mangrove juga merupakan realisasi program BII Employee Engagement Survey, dimana setiap karyawan BII yang berpartisipasi dalam survei tersebut, berkomitmen untuk mendedikasikan satu pohon bagi pelestarian lingkungan hidup," jelas Ridha. Kantor Pusat BII beserta BII Regional II (Jakarta-Thamrin), Regional III (Jakarta-Juanda) dan Regional FV (Jakarta-Ekajiwa) dengan melibatkan 125 karyawan melakukan penanaman 400 pohon dalam 1 hektar area di atas ketinggian lebih dari 1.000 rn di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Jenis pohon yang ditanam adalah rasamala, manglid, kisireum dan puspa yang mempunyai fungsi ekologi tinggi untuk mengembalikan iklim setempat, menghasilkan oksigen, sebagai penyerap karbon, mencegah erosi dan banjir. Kegiatan ini merupakan realisasi dari "Program Adopsi Pohon" yang bekerja sama dengan Konsorsium Gedepahala. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dipilih karena merupakan habitat alami dari beberapa spesies yang terancam punah dan merupakan daerah penampungan air bagi 20 juta penduduk yang tinggal di kota-kota sekelilingnya, termasuk DKI Jakarta. Regional VD Surabaya juga melakukan program penanaman 1.500 pohon bakau di Pantai Timur Surabaya. Regional V Bandung menanam 380 pohon di antaranya rasamala, puspa, baros, manglid, dan surcn di Kawasan Konservasi Masigit Kareumbi (KMK) yang melingkupi tiga kabupalen yaitu Kabupaten Bandung, Sumedang, dan Garut. Pada akhirnya, kondisi ekonomi yang makin mengglobal, pemangku kepentingan sebuah perusahaan tidak hanya pemegang saham, lebih luas lagi, stakeholder adalah masyarakat dan lingkungan. CSR merupakan akar dari pengakuan bahwa bisnis merupakan bagian dari masyarakat dan mempunyai potensi untuk membuat kontribusi positif dalam mencapai tujuan dan aspirasi sosial, termasuk mendukung program penyelamatan lingkungan.

Comments