Perusahaan media semakin marak memperkerjakan jurnalis berstatus koresponden atau kontributor atau stringer. Tak hanya di daerah, praktik ini juga berlangsung di Jakarta.
Padahal dalam hukum ketenagakerjaan tidak dikenal istilah-istilah yang dipakai perusahaan media ini. Harusnya hanya dikenal pekerja waktu tertentu dan pekerja tidak tertentu.
Kondisi ketidakpastian ini terus dibiarkan. Dan perusahaan media kerapkali memanfaatkan ketidakjelasan status untuk mengingkari hak-hak pekerja yang diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan.
Yaitu pemberian upah layak, jaminan kesehatan, tunjangan melahirkan bagi pekerja perempuan dan tunjangan-tunjangan lainnya.
Dalam relasi perusahaan media dengan koresponden, koresponden ditempatkan dalam posisi lemah. Perusahaan abai terhadap kesejahteraan koresponden, sekalipun kinerja, produktifitas dan kualitasnya bagus. Seperti halnya yang terjadi pada koresponden Tempo di Malang, Jawa Timur, Bintariadi, yang tergolek sakit sejak November 2011 lalu.
Penyakit Meningitis (radang selaput otak) menggerogoti kondisi fisik jurnalis yang akrab dipanggil Bibin ini. Biaya pengobatan dan operasinya pada Desember lalu mencapai Rp 50 juta lebih. Sedangkan manajemen Tempo saat itu hanya memberi bantuan kesehatan sebesar Rp 1 juta.
Kondisinya kian memburuk setelah terjadi infeksi pasca operasi. Sehingga, pada Januari lalu Bibin pun kembali menjalani perawatan menghabiskan biaya sekitar Rp 28 juta. Perusahaan kembali memberikan bantuan sebesar Rp 10 juta.
Untuk melunasi tagihan biaya rumah sakit yang tak murah, keluarga menjual harta benda serta mengandalkan bantuan dari teman dan kawan seprofesi.
Hadiah atas karya tulisannya dari Pertamina sebanyak Rp 25 juta yang didapatnya pada Desember lalu pun ludes untuk membiayai operasi.
Masih dalam kondisi tak sadarkan diri (koma), kini bapak tiga anak ini harus menjalani perawatan di rumah karena keterbatasan biaya. Bahkan istri Bibin yang hanya guru honorer harus mati-matian menghidupi ketiga anaknya dengan pendapatan yang tak seberapa.
Seharusnya baik keluarga Bibin dan perusahaan tak terbebani membayar biaya pengobatan jika sebelumnya dia mendapat jaminan sosial tenaga kerja atau asuransi kesehatan.
Meski telah bekerja selama 11 tahun di Tempo, tak ada jaminan kesehatan buat Bibin.
Ia aktif dalam berbagai organisasi diantaranya pendiri dan mantan ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang, pegiat di lembaga swadaya perlindungan satwa (Profauna), pengurus rumah informasi publik di Malang dan kordinator Society of Indonesian Enviromental Journalist (SIEJ) simpul Jawa Timur.
Segudang prestasi pun dikantonginya. Mendapat penghargaan dan fellowship atas kerja jurnalistiknya. Diantaranya fellowship SIEJ untuk isu globalisasi dan fellowship AJI Indonesia tentang pengendalian tembakau dan perburuhan.
Meraih juara pertama penulisan jurnalistik Departemen Pertanian, juara ke dua lomba jurnalistik tentang sanitasi yang diselenggarakan AJI Malang dan juara pertama lomba jurnalistik Pertamina kategori energi terbarukan.
Mestinya, bulan ini Bibin mengikuti visit media ke BBC London, Inggris, hadiah dari Pertamina atas karya tulisannya. Namun, impian tersebut sirna karena sakit. Bahkan masa depan pengobatan pun tak jelas.
Berangkat dari kegelisahan tersebut, koresponden Tempo se-Indonesia menyatukan komitmen untuk membentuk serikat pekerja yang disebut Serikat Pekerja Koresponden Tempo (Sepak@t) Indonesia yang tercatat di instansi ketenagakerjaan.
Sepak@t merupakan serikat pekerja kali pertama yang dibentuk di Indonesia yang menaungi koresponden yang tersebar mulai Aceh hingga Papua. Sepak@t dibentuk dari keprihatinan atas perlakuan diskriminatif yang dialami koresponden di Tanah Air. Dan menjembatani kepentingan perusahaan dengan koresponden.
Sepak@t dibentuk sebagai alat perjuangan untuk mendapatkan hak-hak pekerja media. Harapannya, koresponden mendapat kesejahteraan yang layak.
Perusahaan pun mendapatkan keuntungan karena koresponden akan bekerja secara maksimal, loyal, dan semakin memberikan kontribusi yang besar. Sehingga koresponden akan lebih termotivasi menghasilkan produk jurnalistik yang berkualitas.
Salah satu poin dalam Resolusi Kongres Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, 2011, di Makassar adalah menentang perusahaan media mempekerjakan wartawan tanpa status tidak jelas, menentang status stringer dan mendesak pemilik media tidak tutup mata atas praktik ini. Poin lainnya juga meminta perusahaan memberikan upah paling tidak 50 persen di atas upah minimum provinsi.
Sepak@t berpendapat, tak mudah merealisasi kesejahteraan tanpa perjuangan kolektif koresponden.
Untuk itu, melalui deklarasi yang diselenggarakan di sekretariat AJI Jakarta, Sepak@t Indonesia menyerukan :
1. Meminta perusahaan media memberikan hak dan jaminan sosial terhadap koresponden seperti pekerja pada umumnya.
2. Meminta perusahaan media agar tunduk dan patuh terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan 13/2003.
3. Mendorong koresponden membentuk serikat pekerja di masing-masing perusahaan media untuk menjamin hak-hak pekerja.
4. Mengkampanyekan pekerjaan koresponden adalah pekerjaan pokok dalam perusahaan media.
5. Menolak bentuk outsourching dalam hubungan tenaga kerja di perusahaan media.
6. Wartawan wajib meningkatkan kapasitas dan patuh terhadap kode etik.
7. Mendesak perusahaan media tunduk pada UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 10 dan penjelasannya. Yang menyebutkan “perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.”
Hidup Koresponden Sejahtera !
Jakarta, 23 Februari 2012.
Sepakat Indonesia
Dini Mawuntyas (Ketua) Kontak 085230982662, sepakatindonesia@gmail.com
Eko Widianto (Sekretaris) Kontak 081233633744
Pito Agustin (Sekretaris Wilayah Yogja) Kontak 081328841619
Comments
Post a Comment