KAMPANYE untuk mendudukkan Sri Mulyani sebagai RI-1 kian gencar
dilakukan. Salah satunya dengan peluncuran buku. Isinya pasti puja-puji
terhadap Sri Mulyani. Saya merasa gatal, dan membuka kembali file lama
tulisan saya.
Salah satu kelemahan Sri Mulyani selama lima tahun menjadi menteri keuangan (sejak 2005) adalah agresivitasnya dalam menjala dana dari mancanegara untuk menambal anggaran negara (APBN). Celakanya, dalam penerbitan global bond itu, Sri Mulyani selalu memberikan yield yang kelewat tinggi. Para pelaku
pasar tentu saja sangat senang dan sayang sama Sri Mulyani. Kelemahan
ini tidak pernah muncul ke permukaan, karena orang terpesona oleh
kehebatan “statusnya” sebagai Menkeu Terbaik Asia dan Dunia.
Mari kita lihat sepak terjang Sri Mulyani dalam menjaring dana asing
dari pasar global. Pada tahun 2008, Indonesia menerbitkan global bond di
New York (Amerika Serikat) sebesar US$ 2 miliar dengan tenor 10 tahun.
Yield yang diberikan 6,95%. Yield obligasi negara tertinggi yang
diberikan oleh negara ASEAN. Sebagai perbandingan, global bond yang
diterbitkan Malaysia cuma memberikan yield 3,86%, Thailand 4,8%. Bahkan
Filipina, yang selama ini dikenal sebagaiThe Sick Man in Asia, memberikan yield 6,51%. Logikanya, mestinya imbal hasil yang diberikan global bond Indonesia maksimal 5,5%, lebih tinggi dari Thailand tapi di bawah Filipina.
Penjualan obligasi negara dengan yield yang amat tinggi itu, karena premium 3% di atas T Bonds Amerika (obligasi berjangka waktu 10 tahun yang
dikeluarkan pemerintah AS), jelas sangat merugikan. Selain membebani
APBN biaya bunganya Lebih tinggi dari seharusnya, juga membuat
korporasi Indonesia mesti menawarkan yield obligasi yang lebih tinggi
lagi karena obligasi negara merupakan benchmark.
Yang lebih
gila lagi, tahun 2009, untuk menambal defisit APBN, pemerintah Indonesia
(tentu saja lewat Menkeu Sri Mulyani) kembali menerbitkan global bond
senilai US$ 3 miliar. Global bond itu terbagi dua: US$ 2 miliar
berjangka waktu 10 tahun dengan yield 11,75% dan US$ 1 miliar berjangka
waktu 5 tahun dengan yield 10,5%.
Artinya, untuk obligasi berjangka waktu 10 tahun, yield-nya 8,759% lebih tinggi dari T Bonds. Pada saat yang sama, Filpina menjala dana dari pasar
internasional sebesar US$ 1,5 miliar dengan yield hanya 8,5% saja! Yield
obligasi Indonesia hanya “kalah” oleh Pakistan yang 12,5% -- negara
yang kerap diguncang ledakan bom.
Kita bisa memaklumi jika
yield obligasi global negara Indonesia yang dijajakan di pasar
internasional pada tahun 2009 lebih tinggi dari tahun 2008. Sebab, saat
itu tengah terjadi guncangan di sektor finansial dunia. Tapi, lagi-lagi
yang tidak bisa dimengerti, kenapa Filipina bisa memberikan yield yang lebih rendah.
Padahal, pada tahun 2009 ekonomi Indonesia merupakan salah satu negara
yang perekonomiannya tumbuh positif (bersama China, India, dan Vietnam).
Negara ASEAN lainnya mengalami pertumbuhan negatif sebagaimana dialami
negara lain di seluruh dunia.
Dengan fundamental ekonomi yang lebih kuat, mestinya Indonesia bisa menawarkan yield obligasi global yang jauh lebih rendah ketimbang Filipina. Jadi,
di mana sebenarnya letak kehebatan Menteri Keuangan Terbaik Asia dan
Menteri Keuangan Terbaik Dunia yang disandang oleh Sri Mulyani versi
Euromoney?
Predikat Menteri Keuangan Terbaik Asia diberikan
harian ekonomi Emerging Markets pada 2008. Menurut Kepala Editor
Emerging Markets Taimur Ahmad, lembaganya setiap tahun mengadakan pemilihan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral terbaik berdasarkan komposisi kawasan benua. Penghargaan ini selalu
diberikan bertepatan dengan sidang tahunan IMF dan Bank Dunia. Menurut
Taimur, Sri Mulyani dipilih sebagai Menteri Keuangan Terbaik di Asia
berdasarkan kriteria seperti peningkatan ekonomi, pertumbuhan,
kepercayaan investor, rating, dan penilaian investor asing. Sumber
penilaiannya, berasal dari bankir, analis, dan investor.
Salah satu alasan utama anugerah Manteri Keuangan Terbaik Asia ini, menurut Emerging Markets, karena Sri Mulyani merupakan figur utama dalam
merelasasikan reputasi Indonesia sebagai outstanding borrower of the
year untuk kawasan Asia. Jelas, dilihat dari nara sumber yang diminta
pendapat, dan kriteria penilaian
yang ditetapkan, Sri Mulyani
menyandang Menkeu Terbaik Asia/Dunia karena bisa ”menyenangkan” pasar.
Bukan karena pertimbangan bagi perbaikan dan kemajuan ekonomi Indonesia.
Bagaimana dengan penerbitan obligasi negara di pasar domestik lewat SUN (Surat Utang Negara)? Dalam perspektif yang berbeda, sama saja merugikan,
karena tidak mendukung upaya penurunan suku bunga perbankan. Bayangkan,
ketika bank-bank papan atas seperti Bank Mandiri dan Bank BCA
menawarkan suku bunga berkisar antara 5,25% - 6,5% untuk jangka waktu 3
bulan hingga 24 bulan, pemerintah
nyelonong dengan tawaran bunga tetap 9,5% (SUN Seri FR0027, jatuh tempo 15 Juni 2015).
Yield SUN yang tinggi jelas merupakan disinsentif bagi penurunan suku
bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) yang kini hanya 6,5%. Juga
seakan-akan bersaing untuk rebutan dana dengan perbankan dalam
mengakumulasikan dana pihak ketiga. [**]
Oleh: Didin Abidin, Penulis dan Pemerhati Ekonomi
Comments
Post a Comment